PKI, Indonesia, dan Chile

waktu baca 5 menit
Demo menuntut pembubaran PKI. (dok)

KEMPALAN: Setiap tahun di Indonesia menjelang akhir September perdebatan nasional memunculkan kontroversi lama mengenai kudeta 1965. Perdebatan panas tidak pernah selesai, apakah PKI (Partai Komunis Indonesia) bersalah atau tidak. Muncul dua kubu yang saling bertentangan. Perdebatan sangat tajam di antara kedua kubu.

Hampir 60 tahun sejak peristiwa kudeta yang dikenal sebagai G-30 S, bangsa Indonesia belum benar-benar pulih dari trauma. Sebaliknya, trauma itu makin berlarut-larut, dan upaya menuntaskan trauma itu tidak pernah benar-benar bisa memuaskan semua pihak. Pihak pertama menuduh–dengan penuh keyakinan–bahwa PKI seratus persen bersalah. Kelompok ini mendapat dukungan dari kalangan konservatif muslim dan kalangan nasionalis kanan.

Kelompok kedua yakin bahwa PKI tidak bersalah dan hanya menjadi korban persaingan kekuasaan politik antara elite-elite politik, yang melibatkan kalangan TNI (Tentara Nasional Indonesia). Kelompok ini percaya bahwa PKI menjadi korban persekongkolan elite politik yang mendapatkan sokongan dari kekuatan asing, khususnya Amerika Serikat. Kelompok yang berpendapat seperti ini adalah kalangan liberal kiri yang sekarang sedang naik daun di Indonesia di era Joko Widodo.

Isu-isu kecil menjadi sangat sensitif. Di masa lalu, peristiwa ini dikenal sebagai pemberontakan G 30-S PKI. Belakangan ada ‘’pelurusan sejarah’’ dan penulisan peristiwa itu hanya menyebut ‘’G 30-S’’ tanpa PKI. Bahkan, pemutaran film ‘’Pemberontaan PKI’’ pun menuai pro dan kontra yang panjang, karena kedua belah pihak berbeda pendapat mengenai versinya.

Pemerintah Jokowi menanggung beban untuk membalas dukungan kalangan liberal kiri yang menuntut rehabilitasi nama. Risiko yang ditanggung Jokowi dan rezimnya adalah tuduhan bahwa rezim ini dikuasai oleh PKI, dan bahkan Jokowi sendiri dianggap sebagai PKI. Tuduhan semacam ini terlalu keras. Tetapi dalam praktiknya banyak orator yang memakai ungkapan itu secara terbuka.

Upaya rekonsiliasi sudah dilakukan beberapa kali tanpa hasil. Terbaru, Jokowi mencoba melakukan rekonsiliasi dengan memberi konsesi kepada pelarian politik di luar negeri untuk kembali ke Indonesia. Banyak aktivis politik yang menjadi eksil di Eropa dan tidak berani pulang ke Indonesia karena takut dipersekusi karena afiliasinya dengan aktivitas politik kelompok kiri. Atas nama hak asasi, Jokowi mencoba memfasilitasi mereka supaya bisa balik ke Indonesia.

Kebijakan Jokowi ini ditentang keras oleh kelompok anti-PKI di Indonesia. Upaya itu dianggap sebagai bukti bahwa rezim Jokowi dekat dengan PKI, dan tuduhan kemunculan kembali PKI makin nyaring terdengar. Trauma politik PKI ini menjadi pergolakan sepanjang masa bagi Indonesia yang, tampaknya, belum akan bisa diselesaikan dalam waktu dekat.

Banyak negara yang mengalami trauma politik seperti Indonesia. Bedanya, negara-negara itu bisa menyelesaikan pergolakan itu dan sekarang bisa move on. Indonesia belum bisa meniru jejak negara-negara itu.

Sejarawan Amerika Serikat, Jared Diamond, mengungkap pengalaman 7 negara dalam menghadapi krisis nasional dan cara utuk mengatasinya. Dalam bukunya ‘’Upheaval: Turning Points for Nations in Crisis (2019), Diamond menelusuri sejarah pengelolaan krisis di negara Finlandia, Jepang, Chile, Indonesia, Jerman, Australia, dan Amerika Serikat. Masing-masing negara itu mengalami krisis nasional yang mengancam eksistensi. Tetapi negara-negara itu kemudian bisa mengatasi krisis itu.

Secara khusus Diamond mengulas krisis Indonesia dalam satu bab. Ulasan Diamond tentang Indonesia, tak lepas pengalaman subyektifnya sebagai peneliti. Diamond datang ke Indonesia pertama kali, 1979. Dia menginap di sebuah hotel yang dinding lobinya dihiasi lukisan kisah sejarah, peristiwa 35 tahun sebelumnya, Pemberontakan Komunis 1965.

Tapi, lukisan itu tentu tidak menyebutkan apa yang terjadi setelahnya: tragedi hilangnya nyawa setengah juta orang Indonesia atas dorongan Angkatan Bersenjata. Semasa Orde Baru hal ini tabu dibahas. Tetapi tidak demikian setelah Reformasi 1998.

Kasus Indonesia ini oleh Diamond disamakan dengan kasus Chile yang sama-sama menghadapi pertistiwa kudeta menggulingkan rezim kiri yang populis. Sukarno dari Indonesia dijatuhkan oleh rezim militer di bawah Suharto. Sedangkan rezim kiri Chile di bawah Salvator Allende dijatuhkan oleh rezim tentara di bawa Augusto Pinochet.

Kejatuhan dua presiden itu disebut-sebut sama penyebabnya, yaitu operasi intelijen internasional oleh Amerika Serikat melalui CIA. Kejatuhan dua pemimpin itu terjadi dengan pola yang sama yang kemudian populer disebut sebagai ‘’Jakarta Method’’ atau Metode Jakarta.

Indonesia dan Chile bernasib sama. Upaya kelompok kiri mengendalikan pemerintahan, diakhiri oleh kudeta militer yang kemudian memasang kediktatoran bertahan lama di bawah Pinochet dan Suharto.

Diamond mengulas konflik berdarah September 1965. Pada saat itu, kelompok komunis Indonesia melihat adanya masalah pada pemerintah yang membutuhkan reformasi segera. Di pihak lain, tentara Indonesia melihat adanya persoalan pada paham komunis dan reformasi yang diusulkannya.
Pihak komunis lantas meluncurkan kudeta dengan dalih takut oleh tekanan dari Dewan Jenderal yang antikomunis. Tindakan tersebut direspons dengan sikap tegas dari sisi militer Indonesia terhadap kelompok komunis. Terjadilah perburuan dan pembunuhan terhadap anggota dan simpatisan PKI.

Krisis di Indonesia mirip dengan Chile. Presiden Salvador Allende, yang dipilih dalam sistem demokrasi, digulingkan oleh kudeta militer Jenderal Augusto Pinochet pada 1973. Keserupaan pola kasus Indonesia di Chile terletak pada hasil akhirnya, yakni pihak militer membasmi pihak oposisi.

Dalam buku Upheaval Diamond menunjukkan bahwa cara sebuah bangsa mengatasi krisis membawa hasil yang kurang lebih sama. Finlandia dan Jepang menghadapi tantangan dari luar, dan kemudian menyelesaikannya dengan melakukan rekonsiliasi. Jerman dan Amerika juga pernah menghadapi krisis dalam negeri dan menyelesaikannya dengan rekonsiliasi.

Indonesia dan Chile menyelesaikan konflik internal dengan membasmi lawan politiknya. Itulah yang oleh Diamond dianggap sebagai salah satu penyebab Indonesia dan Chile tidak pernah benar-benar move on dari krisis di masa lampau.

Meskipun demikian, Diamond memberi apresiasi kepada Indonesia. Di tengah keterpisahan pulau-pulau, luas wilayah ribuan mil, ratusan bahasa asli, dan eksistensi agama-agama, Indonesia menemukan kebersamaan dalam filosofi ‘’bhineka tunggal ika’’. Delapan puluh tahun yang lalu, sebagian besar orang Indonesia tidak menganggap diri mereka orang Indonesia. Sekarang, orang Indonesia bangga dengan identitas Indonesianya

Pada awalnya Indonesia berisiko serius atas teritorinya. Tetapi Indonesia tidak hancur berantakan. Rasa identitas nasionalnya kuat, tumbuh secara spontan maupun oleh upaya sadar pemerintah. Basis penting identitas nasionalnya, adopsi cepat terhadap Bahasa Indonesia yang mudah dipelajari dan luwes, menjadi modal membangun identitas nasional.
Diamond tidak secara spesifik mencandra kondisi Indonesia kedepan. Tetapi dia melihat Indonesia punya pengalaman mengatasi krisis, dan hal itu menjadi modal berharga untuk mempertahankan eksistensinya di tengah berbagai gejolak dan tantangan. ()

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *