KPK vs Polri, Buaya vs Buaya

KEMPALAN: Perseteruan cicak vs buaya adalah persaingan antara KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) melawan Kepolisian, yang sudah terjadi beberapa kali. Istilah itu kali pertama muncul pada 2009, dan kemudian sering dirujuk lagi setiap kali muncul persaingan yang sama.
Sekarang ini perseteruan itu muncul lagi, setelah Ketua KPK Firli Bahuri terlibat silang sengkarut dengan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Sengkarut muncul akibat dua jenderal polri yang ditugaskan di KPK sudah tidak dikehendaki lagi oleh Firli dan dikembalikan ke KPK.
Dua jenderal itu adalah Irjen Karyoto, deputi penindakan KPK, dan Brigjen Endar Priantoro yang bertugas sebagai direktur penindakan. Kapolri mengirim surat kepada KPK untuk memperpanjang penugasan Endar yang berakhir 31 Maret. Alih-alih mengindahkan surat Kapolri, Firli malah memberhentikan dengan hormat Endar dari tugasnya di KPK.
Firli juga mengembalikan Irjen Karyoto ke Kepolisian dan oleh Listyo Sigit dipromosikan menjadi Kapolda Metro Jaya. Pengembalian dua jenderal polisi itu ke institusinya adalah buntut ketegangan dan beda pendapatnya dengan Firli Bahuri dalam kasus dugaan korupsi Formula E.
Investigasi Majalah Tempo menyebutkan bahwa Firli bersama komisioner KPK Alexander Marwata menghendaki agar kasus Formula E dinaikkan statusnya dari penyelidikan menjadi penyidikan. Tetapi, Karyoto dan Endar enggan mengikuti keinginan Firli karena tidak cukup bukti. Ketegangan itulah yang disebut-sebut sebagai sebab Firli mengembalikan mereka ke Polri.
Di masa lalu perseteruan KPK vs Kepolisian disebut sebagai cicak vs buaya, karena dua institusi itu dianggap beda kelas dan beda kekuatan. KPK diibaratkan sebagai cicak yang gampang ditelan oleh Kepolisian yang digambarkan sebagai buaya. Perseteruan itu melibatkan dua institusi yang berbeda, karena KPK ketika itu diisi oleh orang-orang di luar kepolisian. Kali ini kondisinya berbeda. Perseteruan ini lebih mirip buaya vs buaya, karena dua kubu yang berseteru itu sama-sama punya induk yang sama di kepolisian.
Perseteruan antara KPK dan Markas Besar Kepolisian RI pertama kali terjadi pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Di masa pemerintahan SBY pernah dua kali terjadi kasus cicak vs buaya.
Kasus cicak vs buaya pertama terjadi pada Juli 2009. Perseteruan tersebut berawal dari isu yang beredar adanya penyadapan oleh KPK terhadap Kabareskrim Mabes Polri saat itu, Komjen Susno Duadji. Susno dituduh terlibat pencairan dana dari nasabah Bank Century, Boedi Sampoerna. Susnolah orang yang pertama kali menyodorkan analogi cicak vs buaya. KPK diibaratkan cicak yang kecil, sedangkan Polri ialah buaya karena besar.
Puncak kasus cicak vs buaya jilid I terjadi ketika Bareskrim Mabes Polri menahan dua Wakil Ketua KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra Martha Hamzah. Penahanan dua komisioner KPK ini memantik reaksi keras dari aktivis antikorupsi.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun angkat bicara. Menurut SBY, ada sejumlah permasalahan di ketiga lembaga penegak hukum saat itu, yakni Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK. Karena itu solusinya adalah pihak kepolisian dan kejaksaan tidak membawa kasus ini ke pengadilan dengan tetap mempertimbangkan azas keadilan, namun perlu dilakukan tindakan-tindakan korektif dan perbaikan terhadap ketiga lembaga itu.
Tiga tahun kemudian kasus cicak vs buaya kembali terjadi pada awal Oktober 2012. Kasus ini dipicu oleh langkah KPK mengusut kasus dugaan korupsi simulator SIM yang menjerat mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo.
Puluhan anggota Brigade Mobile mengepung gedung KPK. Mereka berniat menangkap salah satu penyidik KPK, Komisaris Novel Baswedan yang dituduh terlibat aksi penganiayaan berat saat masih bertugas di Kepolisian Daerah Riau. Aktivis antikorupsi kembali beraksi atas aksi kepolisian yang mengepung gedung KPK tersebut.
Mereka membuat pagar betis di gedung KPK dan mendesak agar Presiden SBY turun tangan. Presiden SBY angkat bicara. Menurut SBY, apabila KPK dan Polri bisa memberikan penjelasan yang jujur dan jelas, kasus cicak vs buaya jilid II tidak akan terjadi.
Cicak vs buaya kembali muncul di era Presiden Joko Widodo pada 2015. Sebelas hari setelah KPK menetapkan Komjen Budi sebagai tersangka, kepolisian menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjajanto pada Jumat (23/1/2015). Setelah penangkapan Bambang Widjajanto, Presiden Joko Widodo memanggil Ketua KPK dan Wakapolri. Jokowi memberikan pernyataan singkat meminta institusi Polri dan KPK memastikan bahwa proses hukum yang ada harus objektif dan sesuai dengan aturan undang-undang. KPK yang didukung ratusan aktivis pro pemberantasan korupsi pun dengan lantang memprotes tindakan Polri tersebut. Konflik ini pun disebut sebagai cicak vs buaya jilid 3.
Sekarang muncul lagi persaingan itu, tetapi skalanya sudah bukan lagi cicak vs buaya, tapi sudah sama-sama buaya. Sejak 2019 ada upaya sistematis untuk menjinakkan KPK melalui amandemen UU KPK. Terpilihnya Firli Bahuri sebagai ketua KPK harusnya membuat Polri dan KPK seiring sejalan. Tapi, nyatanya tidak begitu.
Kali ini perseteruan muncul secara terbuka. Endar Priantoro yang dipecat dengan hormat mengaku kecewa dengan mekanisme internal di KPK. Ia melihat ada kejanggalan atas pemberhentiannya. Ia menegaskan akan melaporkan Firli Bahuri kepada Dewan Pengawas KPK.
Nuansa perseteruan kali ini lebih banyak didasari oleh situasi politik yang makin menghangat. Meskipun Firli Bahuri menjadi ketua KPK sebagai ‘’petugas kepolisian’’ (meminjam istilah petugas partai), tetapi terlihat bahwa Firli punya agenda tersendiri. Banyak yang menyebut bahwa KPK akan dijadikan alat politik untuk menggagalkan pencalonan Anies Baswedan sebagai presiden.
Perseteruan kali ini benar-benar cerminan dari persaingan buaya vs buaya yang sama-sama punya kekuatan besar. Publik akan melihat apakah ‘’buaya’’ Firli lebih unggul ketimbang ‘’buaya’’ Listyo Sigit. Akankah KPK menjadi alat politik untuk menggebuk seseorang? Kita tunggu. ()
