Antara Megawati dan Fatmawati

waktu baca 4 menit

Oleh Esti Lailatul Faizah,
guru yang suka pengajian dan tinggal di Tulungagung

KEMPALAN: Baru-baru ini Megawati kembali mengeluarkan pernyataan yang menyinggung perasaan kaum Muslimin. Ya, Megawati dengan nyinyir mempertanyakan kemanfaatan aktivitas pengajian ibu-ibu. Tentu saja pernyataan Megawati sebagai seorang “tokoh nasional” ini menimbulkan keresahan.

Mengapa Megawati tidak mengkritik ibu-ibu sosialita yang gemar pergi ke mall, atau mereka yang menghabiskan waktu mereka berjam-jam di depan TV menonton sinetron atau drama Korea? Mengapa Megawati tidak menyinyiri para mama yang asyik mengoleksi perhiasan, rajin ikut arisan mewah dan mempermak diri di salon-salon ternama?

Mengapa justru ibu-ibu pengajian yang ia singgung? Ada apa dengan Megawati?

Jejak Aktivis

Agaknya Megawati lupa dengan sosok ibunya, Bunda Fatmawati yang rajin mengaji. Ibu dia, putri seorang tokoh pergerakan Muhammadiyah Bengkulu.

Sang Bunda aktivis dakwah. Ingat-ingatlah, bahwa “Fatmawati pernah ditunjuk sebagai pembaca ayat suci Al-Qur’an pada pembukaan kongres Muhammadiyah di Palembang pada tahun 1936. Sejak remaja Fatmawati merupakan pelopor penggerak Nasyiatul Aisyiah di Bengkulu” (https://muhammadiyah.or.id/fatmawati-pahlawan-nasional-aktivis-nasyiatul-aisyiah/). Ternyata, Bunda Fatmawati seorang “Ahli Ngaji”.

Bagaimana dengan Sukarno, sang ayah? Ternyata, Sukarno juga suka pengajian. Sukarno banyak mengkaji Islam dari tokoh-tokoh pergerakan Islam seperti HOS Tjokroaminoto dan K.H. Ahmad Dahlan.

Sukarno muda, di Surabaya, sekitar tahun 1916 sering “nginthil” (mengikuti) K.H. Ahmad Dahlan dalam rangkaian dakwahnya di pergerakan Muhammadiyah. Sukarno juga menjadi anggota persyarikatan Muhammadiyah. Ini, artinya, ayah Megawati dulu juga suka pengajian.

Pendidikan, Pendidikan!

Lalu, mengapa Megawati tampak tak suka dengan ibu-ibu yang rajin hadir di pengajian? Mengapa dalam beberapa kesempatan Megawati menyinggung umat Islam dengan pernyataan-pernyataannya yang kontroversial?

Ada pertanyaan menggelitik di benak saya. Mengapa (setidaknya sebagian) anak-anak Sukarno tidak mewarisi ghirah keislaman orangtua dan kakek-nenek mereka? Misal, kita ingat juga bagaimana pada 2018 tulisan yang dibaca Sukmawati sangat menyakiti hati umat Islam saat mencibir jilbab dan adzan.

Kiranya, kita harus peduli kepada faktor pendidikan. Tarbiyah, menjadi kunci estafet kelangsungan visi dan misi hidup antargenerasi. Perhatikan, Q.S. Al-Baqarah 132-133. Di situ, dikisahkan bagaimana Nabiyullah Ibrahim As dan Ya’qub As. sebelum wafat. Keduanya mewasiatkan visi dan misi dakwah ilahiyah kepada anak-anaknya.

“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): ‘Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam’.” (Q.S. Al-Baqarah 132).

“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: ‘Apa yang kamu sembah sepeninggalku?’ Mereka menjawab: ‘Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya’.” (Q.S. Al-Baqarah 133).

Dari kedua ayat di atas terlihat jelas bagaimana seorang ayah dengan istiqomah menjaga kelangsungan dan kemurnian aqidah keturunannya. Si orangtua menjaga kecintaan anak-anaknya kepada agama yang sudah diridhai Tuhan mereka.

Nabiyullah Ya’qub As tidak mencemaskan kebutuhan hidup anak-anaknya. Bukan “maa tak kuluuna min ba’diy” (apa yang kalian “makan” sepeninggalku?). Tapi, yang dicemaskan “maa ta’buduuna min ba’diy” (siapa yang kalian sembah sepeninggalku)?

Teruslah Mengaji!

Sungguh, menjadi kewajiban setiap keluarga Muslim untuk menjaga kelangsungan pendidikan Islam bagi putra-putrinya. Hal ini, karena dengan tarbiyah inilah, dengan budaya mengajilah, dengan mencari ilmulah, keshalihan orangtua akan diwariskan kepada putra-putrinya. Hanya dengan gigih mengkaji dan mendakwahkan Islam, pewarisan nilai-nilai akan terus berlangsung antargenerasi.

Simaklah, Allah memerintahkan dalam Q.S. Muhammad ayat 19: “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah”. Maka ilmuilah, kajilah, bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.

Cermatilah pula Q.S. Al Mujadalah 11: “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”.

Maka, teruslah mengaji ibu-ibu shalihah. Dari rahimmulah insya Allah akan lahir generasi yang mengenal Tuhan-Nya dan mencintai Rasul-Nya. Dari mengajilah putra-putri kita akan paham hakikat kefanaan dunia dan keabadian akhirat. Teruslah mengaji seperti Bunda Fatmawati.

Sementara, untuk Megawati, semoga engkau ingat. Dalam rahim Bunda Fatmawati-lah kali pertama seorang Megawati “hidup”. Semoga engkau sudi menjemput hidayah, tercerahkan, mewarisi sosok sang penimba ilmu yang cerdas. Warisilah sosok yang suka mengaji, bunda engkau sendiri: Fatmawati. Semoga!

Tulungagung, 24 Pebruari 2023

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *