Pelukis yang Penyair Jatim
KEMPALAN: DULU, pernah saya jadi biro sastra Dewan Kesenian Surabaya (DKS), dan tepatnya 1993, ketika saya (sebagai biro sastra DKS) pernah buat kumpulan puisi dari pelukis yang bertajuk “Jembatan Merah” diterbitkan oleh biro sastra Dewan Kesenian Surabaya.
Kumpulan sajak pelukis yang sangat sederhana tersebut, memuat 40 judul puisi yang ditulis oleh para pelukis semua. Mereka itu: Abdul Kadir Zaelani (alm.) menulis 7 puisi, Rudi Isbandi ada 8 judul puisi, Harryadjie BS ada 7 judul puisi, Hardjono WS menulis 11 judul puisi, dan Wiwiek Hidayat (alm.) menulis 7 judul puisi. Tidak hanya puisi yang termuat dalam kumpulan sajak “Jembatan Merah,” akan tetapi juga memuat sketsa-sketsanya M. Thalib Prasodjo. Selain sketsa bergambar jembatan merah yang dijadikan sampul kumpulan sajak, di dalamnya juga memuat sketsa-sketsa beliau yang melukiskan gambar Gereja Maranatha (hal. 1), Pasar Krempyeng (hal. 7), Jembatan Merah (hal. 15), Baca Puisi Malsasa ‘92 (hal. 22), dan gambar Gedung Balai Pemuda (hal. 32).
Dari fakta tersebut di atas membuktikan bahwa seorang M. Thalib Prasodjo memang benar-benar seorang sketser sejati. Meski pada waktu itu, saya hanya mendapatkan fotokopian-nya saja, akan tetapi beliau mau meminjamkan sketsanya guna melengkapi tampilan kumpulan sajak para pelukis yang penyair Surabaya ini. Mengapa demikian? Ini disebabkan pada waktu itu, saya sebagai biro sastra, dan beliau menjabat sebagai biro seni rupa di Dewan Kesenian Surabaya.
Ide dan pembuatan kumpulan sajak pelukis yang penyair Surabaya ini, memanglah saya, tapi orang yang paling utama memberikan dukungan terwujudnya kumpulan itu adalah M. Thalib Prasodjo. Tidak ada yang lain. Bahkan soal dana pun, ketika saya tak punya uang, beliaulah yang selalu memberikan bantuan. Meskipun sekedar makan dan minum kopi di warungnya Ning, belakang DKS itu.
Tidak hanya itu, Mbah Thalib pernah pula bercerita tentang sosok Markeso (alm.), ludruk garingan yang kerap kali mampir di DKS itu. Kata beliau, Markeso tidak pernah minta uang, tapi selalu menggunakan sanepan (sindiran), dengan mengatakan begini, “Mbah bojoku gorung nempur hari ini!” (Mbah istri saya belum beli beras hari ini).
Selanjutnya, Mbah Thalib Prasodjo yang juga sudah almarhum itu, akan memberikan uang agar istrinya bisa nempur, alias beli beras.
Catatan ini, hanyalah mengingat masa lalu. Ternyata ada pelukis di Surabaya yang juga menulis puisi. Sementara setelah itu, generasi yang lebih muda, ada juga para pelukis menulis puisi: Widodo Basuki, R. Giryadi, M. Anis, Alek Subairi, Aming Aminoedhin, Agus R Subagyo, dan banyak lagi.
Sastra di Surabaya memang luar biasa, apa lagi melangkah di Jawa Timur. Beberapa kota tak ketinggalan kantong sastranya tetap menawan. Ada Kostela di Lamongan, ada PSJB di Bojonegoro, Sanggar Triwida Tumlungagung, PPSJS di Surabaya, lantas komunitas sastra di Tuban, Sidoarjo, Jombang, Ponorogo, Malang, Kediri, Nganjuk, Lumajang, Banyuwangi, Jember, dan Ngawi; terus saja bergerak tanpa henti. (aming aminoedhin). (*)
Editor: DAD
