Jokowi, Biden, dan Elon

waktu baca 6 menit
Foto: tangkapan layar

Tidak ada China dan Uni Soviet dalam kelompok negara-negara kaya itu. Ini menunjukkan bahwa perbedaan ideologi menjadi pertimbangan. Keanggotaan G-7 kemudian diperluas pada 2008 menjadi G-20 yang memasukkan Rusia ke dalam keanggotaan, tetapi China tetap tidak masuk ke dalamnya.

Perang dagang Amerika vs China menjadi pangkal ketegangan yang skalanya mirip dengan Perang Dingin melawan Uni Soviet. Pada periode Perang Dingin dua kekuatan adidaya dunia itu bersaing dalam perlombanan senjata atau arm race. Dalam perang dagang kali ini dua negara besar itu bersaing dalam memperebutkan supremasi ekonomi dunia.

Secara ideologi Rusia tidak segaris dengan Amerika. Tetapi, Amerika tetap merangkul Rusia sebagai sekutu untuk meredam pengaruh China. Invasi Rusia terhadap Ukraina membuat Amerika meradang. Tapi, kali ini Amerika dan sekutunya di Eropa menahan diri untuk tidak terlibat langsung dalam perang senjata.

BACA JUGA: Poltak

Amerika lebih memilih melakukan proxy war dengan melakukan perang ekonomi dan memboikot kepentingan ekonomi Rusia di seluruh dunia. Aset-aset pengusaha Rusia di Eropa dan Amerika disita atau dibekukan, dan ekspor dari Rusia diboikot dan dihentikan. Berbagai sanksi ekonomi ini dimaksudkan sebagai upaya menekan Rusia agar segera mengakhiri perang.

Amerika menghendaki agar Rusia tidak diundang ke pertemuan G-20. Tapi, Indonesia punya pandangan lain. Indonesia mencoba untuk menerapkan sisa-sisa diplomasi Non-Blok yang pernah jaya di masa Perang Dingin, dengan tetap mengundang Rusia ke pertemuan G-20 dan mencoba membujuk supaya segera mengakhiri perang. Indonesia juga mengundang Ukraina supaya datang ke pertemuan sebagai peninju karena Ukraina bukan anggota.

Gaya diplomasi dua kaki ala Indonesia ini membuat Amerika tidak senang. Amerika dan sekutu-sekutunya mengancam akan meninggalkan forum pertemuan kalau nanti Presiden Vladimir Putin atau perwakilan Rusia tampil di acara G-20. Indonesia ‘’ngeyel’’ dan tetap mengundang Putin.

BACA JUGA: People Power

Dalam pidato pertemuan dengan Kongres Amerika Jokowi menyerukan perang harus diakhiri. Seruan Jokowi ini disambut oleh sekalangan netizen Indonesia dengan gegap gempita. Malah ada yang menyebut Jokowi layak mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian. Namanya juga netizen. Ada yang mendukung ada yang tertawa.

Sayangnya Jokowi membuat kesalahan tranlasi dalam sebuah sambutan dengan menerjemahkan ‘’secretary of commerce’’ sebagai ‘’sekretaris perdagangan’’. Sebenarnya ini kesalahan kecil, tapi ada masalah serius di baliknya. Tim komunikasi kepresidenan kembali menunjukkan blunder. Translasi tidak discreening dan tidak dicek oleh Menteri Sekretaris Negara ataupun Menteri Luar Negeri, atau siapapun yang memegang otoritas tertinggi.

Insiden ‘’Lost in Translation’’ ini mengungkapkan banyak hal. Tengara Ben Bland bahwa Jokowi tidak cukup kompeten dalam diplomasi internasional terkuak lagi, karena Jokowi tidak tahu bahwa ‘’secretary’’ dalam tata pemerintahan Amerika adalah ‘’menteri’’.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *