Banyuwangi

waktu baca 6 menit
Sekum Muhammadiyah Prof Abdul Mu'ti. Foto: Inilah.

KEMPALAN: Kepak sayap kupu-kupu di sebuah hutan di Amazon, Brazil, bisa menyebabkan badai besar diTexas, Amerika Serikat. Itulah yang disebut sebagai teori ‘’Butterfly Effect’’ atau ‘’Efek Kupu-Kupu’’, sebuah tindakan kecil yang dikira tidak beraturan bisa mengakibatkan sebuah peristiwa besar yang bisa menyebabkan sebuah tatanan menjadi porak-poranda.

Belajar dari fenomena itu, Edward Norton Lorenz kemudian menciptakan ‘’Teori Chaos’’ pada 1961. Lorenz mengamati bahwa gerakan  kecil dari kupu-kupu, yang sebenarnya indah dan lembut, ternyata bisa menyebabkan chaos dan bencana besar.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan chaos sebagai kekacauan. Tidak ada penjelasan spesifik kekacauan seperti apa. Mungkin dalam bahasa Jawa chaos lebih tepat diartikan sebagai ‘’ontran-ontran’’, sebuah kondisi kekacauan yang tidak terkendali yang bisa membawa kerusakan besar pada tatanan sosial.

Edward Norton Lorenz menyebut ‘’Butterfly Effect’’ yang merujuk pada pemikiran bahwa kepak sayap kupu-kupu di hutan belantara Brazil dapat menghasilkan tornado di Texas beberapa bulan kemudian. Fenomena ini terjadi pada sebuah sistem yang ketergantungannya sangat peka terhadap kondisi awal. Sedikit saja perubahan pada kondisi awal, akan dapat mengubah secara drastis kondisi sistem pada jangka panjang.

Jika suatu sistem dimulai dengan kondisi awal dua, maka hasil akhir dari sistem yang sama akan jauh berbeda jika dimulai dengan 2,000001. Perbedaan 0,000001 terlihat sangat kecil dan wajar untuk diabaikan. Kendati demikian kesalahan yang sangat kecil ini akan menyebabkan bencana besar di kemudian hari.

Teori Chaos lebih tepat diterapkan untuk menganalisa peristiwa alam atau nature, biasanya dihubungkan dengan fenomena fisika. Tetapi, teori ini kemudian berkembang menjadi teori sosial yang banyak dikembangkan untuk menjelaskan berbagai fenomena sosial dan politik.

Sebuah peristiwa kecil yang terjadi di sebuah tempat yang terpencil, bisa saja menjadi trigger atau pemicu sebuah kejadian besar di tempat yang jauh dalam jangka waktu yang panjang. Sebuah kejadian di sebuah desa di Banyuwangi, misalnya, bisa membawa efek politik besar, dua atau tiga tahun mendatang, di level nasional sampai menimbulkan ontran-ontran atau chaos. Menurut teori Lorenz, hal itu tidak mustahil.

Ada dua berita yang menyangkut Muhammadiyah pada Jumat (25/2). Yang pertama berita di Banyuwangi, Jawa Timur, berkaitan dengan penurunan plang papan nama Muhammadiyah yang dilakukan oleh sejumlah warga di sebuah kompleks masjid. Berita lainnya berkaitan dengan pernyataan Sekjen PP Muhammadiyah Prof. Dr Abdul Mu’ti yang menyatakan penolakan terhadap wacana perpanjangan masa jabatan presiden RI.

Apa dua hal itu berkaitan? Mungkin tidak secara langsung. Tetapi, kalau kita memakai teori ‘’Butterfly Effect’’, maka dua hal itu bisa saja ada hubungannya, paling tidak, bisa saja dihubung-hubungkan.

Peristiwa pertama terjadi pada 25 Februari 2022. Papan nama Muhammadiyah yang berada di kompleks masjid di Desa Tampo, Kecamatan Cluring, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, diturunkan oleh sekelompok warga.

Ada tiga plang papan nama yang terpasang milik organisasi Muhammadiyah bertuliskan Pusat Dakwah Muhammadiyah Tampo, Pimpinan ‘Aisyiyah Ranting Tampo, serta TK ‘Aisyiyah Bustanul Athfal, Tampo. Dua papan nama ‘’Pusat Dakwah Muhammadiyah Tampo’’ dan ‘’Pimpinan Aisyiyah Ranting Tampo’’ digergaji dan dirobohkan. Sedangkan plang bertuliskan ‘’TK Aisyiyah Bustanul Athfal Tampo’’ tidak jadi dirobohkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *