Kader Banteng di Kandang NU

waktu baca 5 menit
Bupati Sumenep, Achmad Fauzi. (kempalan)
Hambali Rasidi

Oleh: Hambali Rasidi, kontributor kempalan

KEMPALAN-Achmad Fauzi melukis tinta sejarah. Sebagai kader banteng (PDIP) bisa berkuasa di kandang NU. Sebagai Bupati Sumenep.

Publik sudah mafhum jika Pulau Madura termasuk Kabupaten Sumenep menjadi basis kultur jamiyah Nadhlatul Ulama (NU). Adagium bhapa’ bhabu’ ghuru rato yang menisbatkan sebagai bentuk kepatuhan warga Madura juga warga Sumenep kepada sosok yang dihormati dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk pilihan politik dalam setiap konstelasi pemilu. Mulai tercerabut dari akarnya. Itu jika dilihat sepintas keterpilihan Achmad Fauzi sebagai Bupati Sumenep.

Membahas hasil Pilkada Sumenep 2020 juga tergolong expired jika hanya mengulas bagaimana Achmad Fauzi yang berpasangan dengan Nyai Eva bisa menang melawan pasangan Gus Acing-Kiai Fikri yang diusung PKB-PPP-Nasdem-Demokrat-Hanura.

Bagi yang mengerti realitas politik saat Pilkada Sumenep 2020 juga tak menarik jika hendak dianggap sebagai news value.

Tapi, fenomena kader banteng di kandang NU Sumenep kini mulai bermetamorfosis di Pamekasan. Meski tak serupa. Setidaknya, Neng Dyah, salah satu cucu KHR Asad Syamsul Arifin Situbondo sudah mendeklarasikan diri untuk hijrah politik ke PDIP. Neng Dyah sebagai kader PKB Pamekasan saat Pileg 2019 lalu, kini disaksikan sang Bunda Nyai Makkiyah Asad-menyatakan sebagai kader banteng di Pamekasan.

Apa yang dilakukan Neng Dyah juga bukan hal baru dan menarik dibahas. Toh, langkah serupa Neng Dyah sudah lama dilakukan sejumlah elit NU di tengah pusaran politik liberalisasi pragmatisme yang dipraktekkan Indonesia. Hijrah politik Neng Dyah juga terlalu jauh jika dilihat dalam konteks politik Pamekasan tahun 2024.

Lantas apa yang menarik? Ada apa sebenarnya di dalam tubuh partai politik berbasis nahdliyin?

Saya tak punya kapasitas mengulas kondisi parpol berbasis nahdliyin.

Apalagi rumah besar politik warga NU (PKB & PPP) dalam menyalurkan aspirasi politik seperti sesak jika hanya ditampung dalam dua rumah. Itu seiring dengan meledaknya angka animo anak muda NU untuk berpolitik praktis.

Saya hanya ingin bercerita politik Gus Dur.

Ketika itu waktu saya mahasiswa. Tahun 1996. Gus Dur berceramah di Ponpes Mahasiswa An-Nur, Wonocolo, Surabaya.

Gus Dur menyampaikan pesan ke jamaah yang hadir agar warga NU ada di mana-mana. “Warga NU harus jadi ABRI. Jadi Polisi. Jadi Bupati. Jadi Gubernur. Kalau bisa jadi Presiden,” dawuh Gus Dur dengan intonasi tinggi. Lalu disambut dengan gemuruh tepuk tangan jamaah.

Waktu itu. Rezim Orde Baru. Boro-boro jadi Bupati, Gubernur atau Presiden. Warga NU jadi Ketua Umum Parpol peserta pemilu saja tak bisa.

“Warga NU, hanya dibutuhkan saat pemilu. Suara warga NU menjanjikan. Setelah pesta usai, ya..diberi secuil di antara secuil kekuasaan,” kata banyak pengamat saat saya baca di koran-koran dan majalah.

Maklum, waktu itu saya mahasiswa. Hanya ikut tertawa dan sengar sengir mendengar ceramah Gus Dur. Gak ngerti apa pesan tersirat yang disampaikan.

Tahun 1997. Itu pemilu terakhir Orde Baru. Gus Dur mengkampanyekan Golkar. Gus Dur mengajak Mbak Tutut berkeliling ke pesantren-pesantren. Ponpes tersohor lagi. Bukan Ponpes yang santrinya puluhan orang.

Para Kiai NU banyak yang tersulut. Terutama para Kiai NU yang menjadi pengurus PPP. Macam-macam responnya. Seandainya dulu ada medsos. Tak terbayang bagaimana bullying ke Gus Dur.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *