Bom Makassar
KEMPALAN: Raja Gilgamesh adalah raja tiran sakti mandraguna yang berkuasa di Mesopotamia, wilayah Iraq sekarang, pada 3000 tahun sebelum masehi. Gilgamesh menindas rakyat dengan kejam. Ia punya kekuatan fisik yang luar biasa dan kesaktiannya tanpa tanding.
Manusia mana pun tidak ada yang bisa mengalahkannya. Bahkan para dewa pun takluk diobrak-abrik oleh Gilgamesh. Para dewa menciptakan mahluk dari tanah liat bernama Enkidu untuk mengalahkan Gilgamesh. Perang tanding dahsyat berhari-hari terjadi antara Gilgamesh vs Enkidu. Pertandingan berakhir draw, tidak ada yang kalah atau menang. Alih-alih memusuhi Gilgamesh, Enkidu malah menjadi sekutunya. Dua mahluk itu menjadi penguasa super zalim yang menindas bukan hanya manusia, tapi juga dewa-dewa.
Koalisinya dengan Enkudu membuat Gilgamesh bisa melalukan apa saja. Tapi, ada satu keinginan yang belum dicapai oleh Gilgamesh, ia ingin menjadi mahluk abadi yang hidup selama-lamanya. Bersama Enkudu ia berpetualang ke jagat raya. Mahluk paling buas macam apapun yang ditemui bisa dia kalahkan. Sampai akhirnya Gilgamesh sampai ke sebuah tempat di dasar dunia, semacam neraka, tempat orang-orang yang sudah mati mendapatkan siksa yang sangat mengerikan. Gilgamesh menyaksikan orang-orang yang dikenalnya semasa hidup menerima siksa di dasar dunia itu. Gilgamesh sadar, ia bisa mengalahkan seluruh dunia dan para dewa, tapi ia tidak bisa mengalahkan kematian.
Gilgamesh kembali ke kerajaanya. Ia insaf dan menjadi raja yang bijaksana, mengajarkan kedamaian, dan persaudaraan dengan ajaran-ajaran yang berbudi. Kerajaannya menjadi aman tenteram.
Legenda Gilgamesh ini dikutip oleh Karen Armstrong dalam buku “The Field of Blood: Religion and History of Violence” (2014). Armstrong menceritakan banjir darah dan hubungan agama dengan kekerasan yang sudah terjadi ribuan tahun sepanjang peradaban manusia.
Gilgamesh adalah contoh bagaimana kekuasaan yang rakus dan ambisi untuk hidup selamanya menjadikannya sebagai tiran yang kejam di luar batas kemanusiaan. Tapi kezalimannya berakhir setelah ia menyadari bahwa pada akhirnya ia akan mencapai titik kekalahan dengan menemui kematian. Pada titik inilah Gilgamesh menemukan agama yang membuatnya mengalami transformasi besar dari penguasa tiran menjadi penguasa yang berbudi luhur.
Di Barat modern, pandangan bahwa agama selalu berhubungan dengan kekerasan adalah sesuatu yang dianggap sebagai kebenaran, taken for granted, tidak perlu diperdebatkan. Pandangan itu memunculkan kesimpulan bahwa agama menjadi penyebab peperangan besar dalam sejarah manusia. Kekerasan yang terjadi di Timur Tengah dan kebangkitan ISIS yang membawa ideologi kekeran ke seluruh dunia dianggap sebagai justifikasi, pembenar, pandangan itu.
Armstrong mengingatkan bahwa dunia sudah mengalami dua kali Perang Dunia pada 1914 sampai 1918, dan yang kedua pada 1939 sampai 1945. Kehancuran akibat dua perang itu tak tepermanai. Tidak ada unsur agama dalam dua perang itu, motivasi utama adalah ideologi politik yang memecah Eropa menjadi dua kubu Sekutu vs non-Sekutu.
Mari kita pejamkan mata sejenak untuk membayangkan dunia tanpa Islam. Mungkin terasa asyik, tidak ada bom bunuh diri, tidak ada teroris yang menabrakkan pesawat ke WTC, tidak ada pemenggalan kepala oleh tentara ISIS, tidak kekacauan di Timur Tengah, tidak ada bom bunuh diri gereja, dan tidak perpecahan kadrun vs buzzer di Indonesia.
Apa begitu kondisi dunia tanpa Islam? Tidak juga, kata Graham Fuller dalam “A World without Islam” (2005). Menurutnya tanpa ada Islam pun kondisi dunia saat ini tidak banyak bedanya, tetap karut marut dan kacau balau. Perang antar peradaban, The Clash of Civilizations yang disebut Huntington sebagai sumber peperangan antar Barat vs Islam sekarang ini sudah pernah terjadi jauh sebelum Islam muncul. Di zaman Yunani kuno 300 tahun sebelum masehi perang peradaban besar terjadi ratusan tahun melawan bangsa Persia. Tak terhitung kerusakan, kehancuran, dan korbannya. Kemudian wilayah itu dikuasai Kristen di Bizantium dan kekerasan perang dengan skala yang sama-sama besar juga terjadi. Setelah kemudian peradaban Islam berkuasa melalui Kekhalifahan Usmaniyah perang yang sama juga terjadi.
Kekerasan dan kekacauan di Timur Tengah bukan perang agama, tapi perang memperebutkan sumber minyak. George Bush mengumumkan perang melawan teror dan menyerbu Irak yang dituding menyimpan senjata pemusnah masal, korban berjatuhan, Irak menjadi keos, ekonomi hancur, dan kilang-kilang minyak dikuasai oleh perusahaan multi-nasional Amerika. Keluarga Bush adalah saudagar minyak dari Texas, dan Wapres Dick Cheney adalah eksekutif puncak di perusahaan minyak Halliburton yang mendapat tender besar di Irak. Ketika tidak terbukti ada senjata pemusnah masal di Irak negara itu sudah telanjur hancur dan perusahaan minyak Amerika sudah menuntaskan misinya.
Kekacauan di Timur Tengah bukan ujug-ujug terjadi sekarang. Sejak Eropa mulai menjajah Timur Tengah setelah Perang Dunia I kekerasan dan kekacauan tidak pernah putus sampai sekarang. Penyebabnya bukan perang agama, tapi modernisme, sekularisasi, dan nasionalisme yang dipaksakan Barat terhadap Timur Tengah.
Karen Armstrong melihat korelasi yang kuat antara kolonialisme Barat yang membawa modernisme dan sekularisasi dengan munculnya gerakan Islam yang militan. Modernisme di Barat lahir karena pencerahan, tapi modernisme di Timur Tengah dipaksakan oleh kolonialisme. Agama dalam konsep Barat yang liberal adalah urusan pribadi yang harus dipisahkan dari urusan negara. Tapi dalam konsep Islam agama adalah “din” yang mengatur semua hidup manusia.
Pemaksaan sekularisasi dengan memakai kekerasan kolonialisme menimbulkan kekalahan yang menyakitkan. Rezim-rezim dukungan Barat yang berkuasa di Timur Tengah setelah Perang Dunia II kemudian juga memaksakan modernisme yang diidentikkan dengan westernisme atau pembaratan. Masyarakat muslim yang relijius kemudian dipaksa menjadi masyarakat modern yang sekular. Inilah salah satu pemicu lahirnya Ikhwanul Muslimin oleh Hasan Al Banna yang kemudian melus ke seluruh dunia Islam termasuk Indonesia. Gerakan ini awalnya bukan gerakan politik. Tapi setelah Al Banna dibunuh pada 1949 gerakan ini menjadi gerakan politik dengan munculnya Sayyid Qutub yang menjadi ideolog panutan yang memengaruhi gerakan Islam politik seluruh dunia, termasuk Indonesia, sampai sekarang.
Sekularisasi dan modernisme yang dipaksakan akan melahirkan ekstremisme. Itu kesimpulan Armstrong.
Bom Makassar, sebagaimana bom di Surabaya, dan semua rangkaian kekerasan di Indonesia sejak bom Bali 2002, tidak bisa dilihat sebagai peristiwa yang terisolasi. Bom Makassar menjadi bagian dari konstelasi politik besar dunia sebagaimana digambarkan oleh Armstrong.
Setiap kali bom meledak di Indonesia perdebatan riuh selalu muncul antara Buzzer vs Kadrun. Yang terjadi adalah debat kusir, saling caci maki. Tapi persoalan gunung es yang besar di balik kasus itu tidak pernah diselesaikan.
Caci maki dan saling tuding ala Buzzer vs Kadrun malah bikin situasi makin ruwet, ruwet, dan ruwet. (*)