Utang, Sebelum Indonesia Merdeka

waktu baca 4 menit

KEMPALAN: Utang, sah dan bukan salah satu bentuk dosa sebagai sebuah bentuk pembiayaan.  Utang juga sebagai salah satu solusi alternatif ketika sedang kepepet. Konsekuensi logis kehadiran sebuah utang adalah munculnya bunga atas utang tersebut. Utang bisa dilakukan oleh orang per orang sebagai subyek hukum, bisa juga dilakukan oleh sebuah badan hukum seperti Perseroan Terbatas, Koperasi, atau Yayasan. Asal kedua belah pihak saling percaya, utang juga dapat dilakukan tanpa dasar hukum dan payung hukum yang rumit.

Di luar batasan tersebut, utang juga dapat dilakukan pemerintahan suatu negara ataupun pemerintah daerah sekalipun. Memperbincangkan utang selalu menarik kajian-kajiannya dan menjadi lebih seru ketika utang tersebut dilakukan oleh pemerintah suatu negara.

Jika sudah demikian, yang terjadi biasanya adalah besaran utang-utang tersebut akan menjadi alat untuk menyerang lawan-lawan politik. Biasalah dalam sebuah negara demokrasi. Besaran utang Indonesia sendiri saat ini,sesuai release terkini mencapai Rp 6.000 triliun, dari berbagai komponen.

Perlu was-was kah kita dengan besaran utang ini? tunggu dulu. Ini adalah bagian pertama dari dua tulisan; “Utang, Sebelum Indonesia Merdeka dan “Utang, Sesudah Indonesia Merdeka”.

Sebelum Indonesia Merdeka, bumi nusantara silih berganti ditangani, dikelola, di-manage oleh beberapa kerajaan yang berbeda-beda. Baik berbeda keturunan, berbeda latar belakang ataupun berbeda dasar-dasar keyakinan.

Namun, kita yakin bahwa semua raja-raja ataupun para penguasa saat itu pastilah mempunyai tujuan yang sama, yaitu kesejahteraan rakyat pada zamannya. Dan tidak menutup kemungkinan untuk sampai pada titik kesejahteraan tersebut terkadang para raja saat itu sudah melakukan utang, dengan berbagai bentuknya. Ya, cerita utang pemerintahan sebagai penguasa sebuah negara/kerajaan ternyata sudah ada jauh sebelum republik ini ada.

Abad 14 misalnya, saat Majapahit di bawah pemerintahan Wikramawardana (1389-1427), “otoritas moneter”-nya membenarkan catatan makro ekonomi Ma Hua (Sekretaris Laksamana Ceng Ho) dalam bukunya Ying Yang Sheng Lan bahwa Majapahit dianggap ber-utang 60.000 tahil (1 tahil = 37,8 gram emas) dikarenakan pada saat Perang Paregreg guna menumpas Bhre Wirabumi di Majapahit Timur, ada lebih dari 100 tamu Majapahit yang merupakan delegasi rombongan Laksamana Ceng Ho yang sebenarnya tidak berurusan dengan Perang Paregreg ikut terbunuh.

Jadilah Pemerintahan Majapahit dianggap ber-utang pada masa Dinasti Ming pimpinan Kaisar Yung Lo tersebut. Ini adalah salah satu bentuk utang tersendiri di zaman tersebut. Bentuk utang yang lain sebelum kemerdekaan pernah terjadi di abad 17. Adalah Raden Mas Rahmad yang kemudian dikenal sebagai Amangkurat II, Raja Mataram yang dinobatkan sebagai raja oleh VOC di atas Kapal Dagang VOC karena belum mempunyai istana. Tidak berbusana raja layaknya raja dalam jumenengan, namun berbusana Laksamana Admiral VOC.

Selama memimpin Mataram dari Kartasura, disamping disibukkan dengan penumpasan pemberontakan   pemerintahannya  juga sangat dipusingkan dengan besaran utang terhadap VOC. Utang yang harus dibayar beserta bunganya diawali dengan perjanjian bantuan dari VOC untuk melakukan penyerangan terhadap Trunojoyo yang memindahkan ibukota Mataram di Kediri.

Setelahnya diikuti dengan penyerangan terhadap sekutu-sekutu Trunojoyo yang sebelumnya telah merebut Mataram yang beribukota di Plered. Perjanjian utang diawali dengan penyerahan sebagian Pesisir Utara ke VOC, karena biaya penyerangan terus meningkat, pada gilirannya terus menerus dilakukan perbaruan  perjanjian.

VOC diberikan hak monopoli tata niaga beras dan gula, hak monopoli textil, juga  pembebasan cukai. Semua kebijakan-kebijakan makro ekonomi tersebut ternyata membuat ekonomi Mataram semakin suram.

Perdagangan tidak jalan karena daya beli masyarakat juga semakin rendah seiring dengan beratnya beban dari pengelolaan hak monopoli oleh VOC tersebut. Ini adalah salah satu bentuk utang yang lain yang pernah terjadi sebelum kemerdekaan. Keberadaan utang sejak dahulu ternyata memang sudah ada, sangat membantu diawalnya namun menjadi babak belur di tahapan berikutnya.

Di samping kedua bentuk utang tersebut masih ada beberapa bentuk utang yang lain yang penah terjadi sebelum kemerdekaan, dan semuanya tidak dalam bentuk penerimaan uang cash.

Lebih sering sifatnya adalah bantuan-bantuan persekutuan dari VOC untuk melakukan penyerangan kepada kelompok lain atau kerajaan lain atau kekuasaan lain, yang setelahnya dibayar  dalam bentuk penyerahan hasil bumi atau penyerahan pengelolaan tata niaga hasil bumi, ataupun penyerahan wilyah kekuasaan.

Bagaimana dengan utang di era setelah kemerdekaan? Tentu lebih menarik kajiannya. Salam. (Bambang Budiarto–Pengamat Ekonomi ISEI Surabaya)                 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *