Menyoal Miras dari Ilmu Kedokteran
KEMPALAN: Aksi penembakan usai mengonsumsi minuman keras (miras) di Cengkareng yang menyebabkan tiga orang meninggal dunia menjadi pemberitaan sepekan lalu.
Pemberitaan lain yang kemudian mengundang polemik adalah disahkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang telah diundangkan pada 2 Februari 2021 yang mengizinkan dibukanya industri miras.
Pada Lampiran III Perpres Nomor 10 Tahun 2021, termuat bidang usaha penanaman modal nomor 31 adalah “Industri Minuman Keras Mengandung Alkohol” dan nomor 32 adalah “Industri Minuman Mengandung Alkohol: Anggur” yang dapat dilakukan di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua dengan memperhatikan budaya dan kearifan setempat.
Pemerintah tentu memiliki pertimbangan tersendiri, utamanya dari aspek ekonomi, sehingga investasi miras dilegalkan.
Namun, dari sisi Ilmu Kedokteran, komoditas ini lebih banyak memberi dampak berbahaya.
Efek Farmakologi
Kandungan alkohol dalam miras memberi efek farmakologi yang menekan pusat hambatan di sistem saraf pusat sehingga menimbulkan efek stimulasi.
Para peminumnya akan merasa lebih bersemangat, lebih bertenaga, dan memiliki kepercayaan diri yang meningkat.
Selanjutnya, mereka yang meminumnya akan memiliki perasaan nikmat dan rasa ketergantungan.
Bagi mereka yang ingin mencicipinya, akhirnya menjadi ketagihan dan sulit meninggalkan.
Bagi mereka yang ingin berhenti, akhirnya merasakan gejala putus alkohol yang tidak mengenakkan, seperti gelisah, lemah, mual, gemetar, dan berkeringat.
Gejala-gejala ini barulah akan hilang setelah mereka meminum kembali.
Sebagian masyarakat memiliki pemahaman bahwa miras dengan kandungan alkohol kurang dari 5 persen tidak berbahaya.
Hal tersebut tidak benar.
Dengan asumsi satu gelas setara dengan 250 ml, maka satu gelas miras mengandung 12,5 ml alkohol. Jumlah ini sebenarnya sama dengan miras berkadar alkohol 10 persen v/v sebanyak setengah gelas.
Persoalannya bukan sekedar konsentrasi alkoholnya saja, tetapi juga jumlah volume yang diminum.
Meskipun konsentrasinya kecil, tetapi jika minumnya banyak, dampaknya akan sama saja dengan miras berakohol tinggi dalam jumlah kecil.
Lalu, bagaimana bila minum miras dengan konsentrasi rendah dalam jumlah sedikit?
Perlu diketahui, alkohol memiliki efek toleransi.
Bila semula efek yang diharapkan sudah dapat ditimbulkan oleh satu gelas, selanjutnya satu gelas ini tidak akan terasa cukup lagi setelah efek toleransi muncul.
Hal inilah yang mendorong mereka yang sudah mencicipi miras akan kembali meminum dengan lebih banyak lagi.
Selain efek farmakologis yang memberi perasaan nikmat bagi yang mengonsumsinya, miras pada gilirannya akan membahayakan kesehatan.
Pertama, memunculkan efek samping, seperti terjadi rangsangan terhadap sekresi asam lambung dan berkurangnya kualitas tidur.
Kedua, mengakibatkan gangguan konsentrasi dan menghilangkan sikap mawas diri. Hal ini yang menjadi alasan bagi mereka yang meminum alkohol dilarang mengemudi.
Ketiga, menimbulkan efek teratogenik bagi ibu hamil yang dapat mengakibatkan bayi yang dilahirkan cacat, pertumbuhan lambat, mikrosefali, dan kecerdasan rendah.
Keempat, menghambat metabolisme beberapa obat. Misalnya, barbiturat dan obat-obat lain yang bersaing untuk enzim yang bergantung pada sitokrom P450.
Hal inilah yang menjelaskan mengapa ketika alkohol diminum bersama dengan obat atau bahan yang lain (miras oplosan) sering menyebabkan keracunan.
Kelima, menyebabkan kerusakan hati. Istilah klinisnya, perlemakan hati (fatty–liver). Alkohol dapat mengakibatkan triasilgliserol terakumulasi di hati. Perlemakan hati yang ekstensif dapat dianggap sebagai suatu keadaan patologik.
Jika akumulasi lipid di hati berlangsung kronis, maka sel hati akan mengalami fibrosis yang kemudian dapat berlanjut menjadi gangguan faal hati dan bahkan sirosis yang penanganannya secara klinis sudah sulit sekali untuk dilakukan.
Selain membahayakan diri yang mengonsumsinya, miras dapat memberi dampak pada orang lain di sekitar yang mengonsumsinya.
Saat efek alkohol mempengaruhi sistem saraf pusat sehingga yang mengonsumsinya tidak dapat melakukan pengendalian diri, mereka dapat melakukan aksi keji seperti pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, termasuk penembakan sebagaimana yang terjadi di Cengkareng.
Masalah miras tidak hanya di kota besar, tetapi juga di kota kecil, bahkan perdesaan.
Mirisnya, sebagian besar korban miras adalah generasi muda.
Yang tidak kalah memprihatinkan, ketika miras memakan korban, yang biasanya dijadikan tersangka adalah peminum dan penjual miras.
Lalu bagaimana dengan pabrik miras dan seluruh mata rantai pemasarannya yang nyatanya dilegalkan oleh pemerintah?
Juga, bagaimana dengan pemerintah yang justru melegalkan industri miras?
Wallahua’lam bish showab.
* Dr. dr. Hairrudin, M.Kes., Dosen Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Jember
