Pengakuan Sumiati

waktu baca 7 menit

KEMPALAN: Sugiyono, Bapak sambung Sumi tidak masalah ketika Shanghai datang dan menemui Kartiyem.  Shanghai melakukan kebaikan. Meski sudah duda dia tidak akan merebut Kartiyem. Kartiyem kini sudah tua dan sudah punya suami dan ada satu anak hasil perkawinannya. Sugiyono telah menjalankan peran sebagai ayah dan suami yang baik, meskipun Sumi sempat harus menderita ketika mendapat perlakuan tidak pantas dari Dipo. Memang tidak mulus jalan hidup Sumi. Sejak Sumi membuka toko bangunan, Sugiyono hidupnya makin enak dan membuatnya semakin percaya diri. Berbeda jauh dibanding dulu saat mencari pasir.

**

Sindhu memutuskan pulang usai wisuda untuk selamanya. Dia tidak memikirkan melamar pekerjaan atau mengurus ijazah. Meskipun itu tidak mudah baginya. kebanyakan teman-temannya meniti karir di kota besar untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Ini sebuah pertaruhan. Mungkin saja suatu saat dia berubah pikiran.

Dia pulang ingin cepat melamar Sumi. Kebetulan keluarganya ngumpul . Itu memang hal yang disiapkan untuk merembug rencana Sindhu. Berat juga Sindhu meninggalkan kota yang sudah dia singgahi selama 7 tahun. Banyak kenangan di kota itu. Meski lebih banyak kenangan buruk. Mulai tingkat pertama, mengikuti ospek, mengenal Silvy, lalu ikut mendalami tasawuf hingga lupa tugas utamanya dan kembali menekuni kuliah. Perjalanan yang tidak mudah.

Setelah sampai desa malamnya diadakan pembicaraan. Malam usai isya’, berembuglah keluarga Sindhu. Di situ ada juga paklik Sindhu yang ikut datang .

“Aku akan nglamar Sumi.” Sindhu membuka percakapan keluarga.

“Wis mbok pikir beneran?” tanya kakaknya.

“Yo wis no..” Sindhu cepat menjawab.

“ini pernikahan untuk seumur hidup lho. harus dipikirkan secara hati-hati, Jangan buru-buru” nasehat kakak yang lain.

“Sumi itu cuma lulusan SMP lho.” sela kakaknya lagi.

“Lho nggak masalah to.” Sindhu meyakinkan.

“Kan ya malu kalau ketemu orang ngobrol, apa ya bisa mengimbangi.”

“Kalian belum kenal Sumi. Coba ketemu dulu. Baru ngomong,” Sindhu emosi.

“Iya bener itu mas Sindhu. “kata adik perempuan Sindhu.

“ Sumi itu anak cino lho, “ tiba-tiba Paklik Sindhu ikut menyahut.

“Lho kenapa kalau cino?”

“Ya cino kan biasanya pelit, mata duitan.”

“Mata duitan kan bagus, rajin kerja. Nggak malas. Daripada miskin kan lebih baik mata duitan biar bisa membantu masyarakat. Soal pelit coba tanya tetangganya, ” kata bu Padmo.

” Dia anak haram.” Pakliknya menyahut lagi.

” Wis jangan macam-macam. Wong jelas kok bapaknya. Nggak ada anak haram. Yang ada orang tua haram,” Bu Padmo melanjutkan.

“Sebenarnya yang mau kawin siapa kok kalian yang ribut?” Sindhu emosi.

Semua diam. Sindhu berkeras hati, tetap akan melamar Sumi.

Malam itu pembicaraan seperti menggantung. Tidak semua setuju. Tetapi Sindhu, satu adiknya dan ibunya menyetujui. Beberapa tidak berpendapat.

*

Pada saat yang lain suatu siang diam-diam Sindhu mendatangi Sumi. Dengan motor RXnya dia mendatangi toko ijo. Kali ini Sindhu lebih percaya diri. Sudah sarjana.

“Kulo nuwun…” Sindhu memasuki toko.

“Ooo mas insinyur Sindhu..mangga-mangga…”, sambut Sumi antusias.

“Kapan datang mas ? Selamat ya sudah sarjana, sudah insinyur.Ikut senang.”

“Terima kasih. Ah biasa saja.”

“Biasa bagaimana. Sempat kan mogok 2 tahun. Harus disyukuri.”

“oo iya. Kan dalam rangka mencari diri.”

“Weleh mending cari uang mas. Haha…”

“Iya ya betul…tapi kadang kita harus terjungkal dulu agar tahu jalan yang benar.”

“Hmm…iya “, sahut Sumi seakan mengingatkan lagi ketika dia harus menderita sebagai korban pemerkosaan. Lalu harus jadi istri Pak Jarwo. Tapi saat itu dia jadi korban, bukan mencari jati diri seperti Sindhu. Sama-sama terjungkal.

“Kapan mau ujian kejar paket C?” lanjut Sindhu.

“Beberapa minggu lagi. Mudah-mudahan.”

Lama mereka terdiam. Beberapa orang datang di toko membeli beberapa barang. Sumi tidak melayani sendiri . Ada beberapa yang membantu, termasuk Sisri teman tidurnya dulu.

”Sum hari minggu aku mau melamar..”

“Bener mas? Tenan ya? Serius?” tanya Sumi meyakinkan diri.

“Iya lho serius..” jawab Sindhu pendek.

Sumi berbunga-bunga tapi deg-degan hatinya. Baru ini dia merasakan akan dilamar. Dulu dia kawin karena terpaksa. Sumi sejenak diam lagi. Terbayang dia akan jadi manten nanti.

“Hari minggu kapan mas?”

“Ya minggu depan.”

Sumi lalu menawari Sindhu mau makan apa. Sumi bahagia sekali atas kedatangan Sindhu kali ini.

Seperti biasa Sindhu memesan makanan yang ia sukai , tongseng. Ya di pojok pasar ada yang jual tongseng kambing.

“bener tongseng kambing?” pancing Sumi sambil senyum-senyum.

“wah..iya. Lama ini nggak makan tongseng. Aku kan darah rendah.”

Lalu Sumi meminta salah satu tenaga di tokonya untuk memesan tongseng dan es teh manis.

Tidak lama pesanan tiba.

Asyik mereka makan tongseng sambil ngobrol.

“Enak kan mas?”

“yah tergantung siapa yang bayar.”

“haha sudah pastilah…”

“Enak..enak..kan aku yang minta tongseng..”

“Jadi rencanamu apa sesudah pulang mas?”

“itu yang pernah kusampaikan. membuat tempat wisata di dekat Umbul Ingas.”

“ohh itu..”

“Sungai bawah akan kubendung…biar terbentuk kolam besar. nanti bisa dibuat wisata perahu.”

“wah bagus idenya. Tapi butuh modal besar dan harus ijin ke kelurahan dan kecamatan.”

“ya nanti sambil jalan.”

Beberapa lama mereka mengobrol. Tidak lama Sindhu pun pamitan pulang.

*

Sumi berhari-hari mematut diri agar kalau keluarga Sindhu datang nggak memalukan. Tidak lupa ke salon dan tetap rajin renang.

Dia lalu menemui bapak kandungnya untuk meminta agar mau datang ke rumah saat lamaran.

Sumi menuju Delanggu menemui papa kandungnya. Untuk pertama kali dia masuk rumah itu sebagai anak.

“Siapa?” tanya penjaga toko Shanghai.

“Saya Sumi.”

Oh…Masuk”

“oh Sumi, masuk…” kata tuan Shanghai.

“Tumben. Ada perlu apa ini?” lanjut tuan Shanghai penasaran.

“Iya. Sumi mau minta papa bisa datang di hari lamaran Sumi.”

“Lho sudah mau dilamar?”

“Iya.”

“Calonmu siapa nduk?”

“Ada pah. Sindhu namanya.”

“Kerja dimana?”

“Belum kerja. Baru lulus.”

“Lho nganggur? Kamu kok mau?”

“Iya orangnya baik. Dia insinyur itebe pah.”

“Tapi menganggur?”

“Iya baru lulus. Mau membuat usaha di desa.”

“Usaha apa?”

“Mau mengembangkan rekreasi di sini.”

“Loh dia insinyur apa?”

“Arsitektur.”

“Bikin apa di desa?”

“Katanya di dekat Umbul Ingas mau dibikin tempat main perahu dan wahana mainan anak.”

“Oh…kamu yakin? Yakin dia bisa bekerja?”

“Iya pah yakin. Kan semua harus dicoba, asal ada niat dan kerja keras.”

“Kalau memang yakin, papa setuju saja. Kapan?”

“Hari Minggu.”

“Ya papa akan datang. Kalau perlu nanti papa bisa bantu modal.”

“oh terima kasih pa…”

Sumi lega. Dia temukan bapaknya bisa mengerti kemauannya. Meskipun tidak begitu saja tapi bisa menerima penjelasannya. Bahkan papanya punya niat membantu modal. Hal yang nggak pernah dia sangka.

**

Sindhu dengan ibunya , kakak adiknya dan adik bapaknya mendatangi rumah Sumi. Di sana sudah ada Sumi, bapak ibunya dan juga bapak kandungnya. Sumi berusaha tampil dengan baju seapik mungkin. Dia pakai kebaya, rambut dirias  seperti ibu-ibu Jawa. Makin kelihatan bersinar.

Kakak adik Sindhu baru melihat Sumi untuk pertama kali, kecuali adik perempuan Sindhu . Mereka kaget.

“oh pantes”, bisik kakak Sindhu melihat kecantikan Sumi.

“Iya nggak aneh lah Sindhu ngebet,” sahut kakaknya yang lain.

Setelah basa-basi dibukalah acara resmi. Bapak sambung Sumi yang bicara.

Meski ada tuan Shanghai tapi dia nggak mau mewakili bicara. Dia tahu diri bahwa selama ini tidak ikut membesarkan Sumi. Maka Sugiyono dengan bahasa sebisanya mencoba bicara.

“terima kasih atas kadatangannya. Ini kesempatan yang baik untuk berkenalan. Saya mewakili keluarga, mempersilakan keluarga Bu Padmo untuk menyampaikan maksud dan kedatangannya kemari.”

“Saya mewakili keluarga mas Padmo, ”kata paklik Sindhu yang lain.

“Kami ke sini dengan niat baik ingin melamar Sumi untuk anak kami Sindhu,” kata paklik Sindhu dengan tutur kata dan bahasa halus.

“Ya kami serahkan pada yang bersangkutan.” Kata Sugiyono.

“Apa kamu mau ndhuk dilamar mas Sindhu?” tanya Kartiyem pelan ke Sumi.

Sumi diam sambil senyum-senyum, tersipu. Dia pelan mengangguk.

“Ya Sumi nampaknya sudah setuju untuk dilamar menjadi istri Sindhu. “

Semua tersenyum. Tuan Shanghai terharu. Anak yang dia telantarkan kini akan jadi istri orang.

Sindhu pun lega. Dia menata hati. Tidak boleh lagi melirik-lirik wanita lain.

“Kapan hari pernikahannya?” tanya bapak Sumi.

“Ya mari kita bicarakan. Nanti kita cari hari baik dulu, ” sambut paklik Sindhu.

Acara itu diakhiri dengan ramah tamah dan makan bersama. Sumi berusaha bersikap baik dan wajar di depan keluarga Sindhu. Dia berusaha menjamu tamunya sebaik mungkin. Ada juga sedikit lebay beramah tamah dengan kakak adik Sindhu untuk mengambil hati. Sumi sibuk mengajak ngobrol semua anggota keluarga. Meski sedikit takut salah ngomong, Sumi berusaha percaya diri.

Nampaknya tidak ada lagi keberatan keluarga Sindhu.

Sindhu juga mencoba berbincang dengan ayah kandung Sumi.

“Nsnti kalau benar mau usaha, bisa kita bantu,” salah satu ucapan tuan Shanghai. Sindhu pun lega.

**

“wah ya mathuklah Sindhu melamar Sumi,”kata kakaknya yang tadinya kurang setuju ketika sampai rumah. Meski masih ada kakak yang lain yang belum sreg.

“iya cantik dan pinter ternyata.”

Sindhu senyum-senyum sendiri mendengar kata-kata kakaknya yang sebelumnya berkeras agar Sindhu tidak buru-buru. (Prof Budi Santosa, PhD adalah Rektor Institut Teknologi Kalimantan, guru besar Teknik Industri ITS Surabaya/bersambung)

 

BACA LAINNYA

Sebuah Pertaruhan

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
1

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *