Pengakuan Sumiati

waktu baca 7 menit

KEMPALAN: Dokter Tirto namanya, ia menangani Sumi. Dokter muda ini punya tampang  ganteng. Pada pasien lain dia cukup bertanya sekedarnya. Tapi tidak pada Sumi. Perangainya berubah total ketika memeriksa Sumi. Ia yang pelit untuk tersenyumnya jadi berubah. Para perawat yang mendampingi visit dokter Tirto sering heran.  Dan ternyata meski jidatnya dijahit, pesona Sumi masih belum hilang.

“Jangan lupa obatnya diminum ya biar cepat kering lukanya. Ini perkembangannya bagus”, kata-kata yang biasa disampaikan perawat, ini dikatakan sendiri oleh dokter Tirto untuk Sumi.

Sumi cukup mengiyakan kata-kata dokter.

“Lukanya jangan kena air dulu ya”, pesan dokter lagi, seakan dia memang sengaja berlama-lama di ruang Sumi. Dokter ingin Sumi cepat sembuh tapi dia juga menikmati Sumi berada agak lama di rumah sakit itu sehingga tiap hari bisa mengajaknya ngobrol.

“Namanya Sumiati ya?” kata dokter melihat dokumen yang dibawanya. Ia masih sempat juga mencuri kesempatan untuk tidak cepat pergi.

“Iya dok”, ucap Sumi singkat.

Sumi tergoda juga dengan keramahan dokter itu. Mana wajahnya bersih tampan. Dalam hal ini Sindhu kalah. Seandainya bukan dokter, ingin juga Sindhu menegurnya dan menantangnya beradu fisik. Cemburu berat Sindhu menyaksikan dokter itu agak overakting bersikap pada pasien. Darah kelelakiannya muncul melihat situasi seperti itu. Tapi Sindhu sadar ini di rumah sakit, dokter amat berkuasa. Para perawatpun senyum-senyum melihat dokter Tirto berubah ketika berada pada kamar inap Sumi.

“Mbak Sumi dari Cokro ya? Tempat padusan itu kan”, dokter Tirto masih betah berlama-lama di situ.

“Iya dok. Kok tahu dok?” sahut Sumi mencoba ramah.

Sindhu panas mendengar Sumi sedikit ramah. Matanya melotot ke arah Sumi. Dia kirimkan sinyal bahwa itu membuat dokter makin lama di situ.

Sumi tidak melihat reaksi Sindhu.

“iya saya dulu waktu SMA sering padusan menjelang bulan puasa. Ramai-ramai sama teman naik motor dari Trucuk ke Cokro,” dokter Tirto merasa dapat pertanyaan bagus dari Sumi.

Perawat membisiki dokter bahwa masih banyak pasien yang harus dia kontrol pagi ini.

“oo iya. Iya..” kata dokter menanggapi peringatan asistennya.

“Semoga cepat pulih mbak..” pesan dokter dengan sunggingan senyum yang tidak biasa  sebelum meninggalkan ruangan itu.

Sejenak lalu dokter dan asisten yang mendampingi pergi meninggalkan ruangan Sumi.

“Walah..sok ramah dokter itu,” cepat-cepat Sindhu nyeplos.

“Kan bagus mas..”sahut Sumi.

“Bagus kalau ke nenek-nenek tua! Tidak pada wanita cantik saja,” Sindhu emosi.

“Cemburu ya?’ lanjut Sumi sambil tersenyum meski agak nyeri  jahitan di jidatnya tertarik sedikit.

Sindhu salah tingkah. Mau ngaku cemburu malu tapi bilang tidak..juga bukan hal yang mudah.

“Lain kali nggak usah tanya macem-macem. GR itu dokter,” kata Sindhu agak ketus.

“walah Cuma tanya satu kata saja kok.”

“Ya tapi jawabnya bisa berpuluh-puluh kata. “

Sumi dalam hati merasa senang telah mampu membuat Sindhu cemburu. Ya artinya Sindhu serius mencintainya. Coba kalau Sindhu santai-santai saja menghadapi pesaing tangguh.

Selanjutnya  Sindhu mengulangi kemesraannya lagi meski hatinya masih dongkol..

“Mau makan sekarang biar cepat minum obat?”

Sumi tersipu.

‘Aduh mas sindhu ini kok perhatian banget’ katanya dalam hati.

“iya mau.” Jawab sumi senang.

Sindhu pun mengambil makanan di nampan jatah dari rumah sakit.

Lalu dengan telaten dia menyendok makanan di piring dan menyuapkannya pada Sumi.

Sumi merasakan kebahagiaan luar biasa.

‘Jika saja mas Sindhu begitu romantis tiap hari’ batin Sumi.

Sumi mulai merasakan makanan lebih enak dari hari sebelumnya.

“Nah  minum obat habis ini.” Kata Sindhu.

Selama di rawat di rumah sakit banyak tetangganya menjenguk. Menjadi kebiasaan penduduk desa kalau ada yang sakit mereka akan ramai-ramai menyewa kendaraan untuk menjenguk ke rumah sakit. Itu salah satu kebahagiaan penduduk desa, kumpul-kumpul lalu pergi ramai-ramai. Mereka membawa oleh-oleh untuk Sumi, beberap bungkus buah-buahan.

“Pripun mbak masih sakit?”

“Sudah enak. Tinggal jahitannya.”

“Waduh mau kawin kok ya ada-ada saja halangannya.”

“Iya ya. Apa mesti begini ya ?”

“Bener mbak. Saya dulu mau kawin eh ada teman lama yang tiba-tiba datang mau melamar. Padahal sebelumnya dia nggak pernah bilang apa-apa.”

“Betul itu. Memang godaan menjelang nikah itu berat. Nggak hanya godaan dari lawan jenis tapi juga cobaan kecelakaan seperti mbak Sumi ini.”

“Iya kadang ada juga yang kemalingan.”

“Biasanya memang kita dikasih cobaan sebeum dapat karunia,’ kata bu haji sebeah ruah Sui yang ikut menjenguk.

“oo gitu nggih. Jadi memang harus sabar menerima cobaan.”

“Tapi apa bener mbak Sumi ngebut waktu sebelum kejadian itu?”

“Iya memang ngebut. Mau cepat sampai rumah,” jawab Sumi.

“iya cobaan kadang ya kita sendiri yang bikin. Coba kalau nggak ngebut kan belum tentu kecelakaan.” Sahut yang lain mencoba lebih cerdas.

“Tapi untung lho kecelakaan, jadi ditunggui mas Sindhu “, sahut Sisri teman tidur Sumi dulu.

Ibu-ibu bikin ruangan Sumi berubah seperti warung di pasar Cokro. Ribut, ramai. Tidak seperti di rumah sakit. Mereka begitu bahagia meskipun untuk urusan hidupnya juga belum tentu berkecukupan. Sumi terhibur dengan kedatangan dan keguyuban tetangganya.

“Yo wis mbak cepat sembuh. Nanti kalau jadi manten biar cantik.” Para tamu mulai berpamitan.

“maturnuwun pun kersa rawuh. Maturnuwun.”

Seminggu  Sumi dirawat di RS. Ternyata benar tidak ada luka serius selain luka dikeningnya. Pada hari ke tujuh dokter Tirto mendatangi Sumi lagi untuk melepas jahitan.

“wah bekas lukanya  bagus mbak,” ucap dokter.

“ oh ya terima kasih dokter.”

“hmm tidak mengurangi kecantikan kok bekas jahitannya,” kata-kata dokter mulai menyinggung hal pribadi.

Sumi hanya tersenyum. Sindhu mendengar pujian itu sudah berlebihan.

“Ehem’ Sindhu pura-pura batuk agak keras. Dokter melihat ke arah Sindhu. Ada sinyal yang kurang bagus ditangkap dokter dari suara Sindhu itu.

Ya hari itu Sumi dibawa pulang. Di rumah juga harus cukup istirahat. Selama seminggui Sumi tidak berenang seperti biasa dia lakukan. Kangen juga dia untuk segera nyemplung di kolam Bale Kambng yang airnya jernih dingin tanpa kaporit.

**

Persiapan pernikahan sudah semakin matang. Undangan sudah disebar. Pernikahan akan dilaksanakan di gedung olahraga di seberang samping toko ijo. Iya gedung yang jaman sebelumnya, pada tahun 65 sempat menjadi panggung kekejaman anak bangsa terhadap saudaranya sendiri hanya gara-gara perbedaan ideologi. Ratusan orang kabarnya tiap hari dieksekusi di situ. Semuanya tidak mendapatkan apa-apa dari kekejaman itu. Mereka Cuma orang-orang kecil yang hanya ikut-ikutan tersihir omongan para petualang politik yang jualan ideologi yang memberi harapan palsu. Politikus di Jakarta yang menikmatinya. Orang di bawah tetap sama seperti sebelumnya. Tapi memang era sesudah itu situasi keamanan lebih baik. Orang bisa bekerja dengan aman, orang bisa bersekolah dengan lancar, orang bisa beribadah dengan nyaman. Meski bersuara dibatasi tetapi pada kenyataannya itu justru bagus. Tidak selamanya kebebasan bicara berefek positif bagi masyarakat jika tidak disertai tanggungjawab yang tinggi atas apa yang diucapkan.

*

Sarmo mendengar rencana pernikahan ini. Dia sendiri sudah menikah dengan adik sepupunya. Dia berusaha bahagia dengan perkawinannya. Sumi sudah masa lalu.Jadi Sarmo berdoa semoga Sumi nanti bahagia, semoga perkawinannya lancar. Sarmo tidak akan pulang untuk menghadiri pernikahan ini. Kalau pulang mungkin akan membuat sakit hati. Kenangan lama akan muncul lagi. Ya sarmo harusnya senang karena Sumi akan menikah dengan orang yang dicintainya.

Sindhu usul kepada Sumi karena orang tua Sumi yang punya acara, agar ada acara kesenian. Tidak cuma pesta manten saja.  Ibunya Sindhu sukanya campursari. Saat ini campursari sedang di tahap awal pertumbuhannya. Kesenian jawa yang pakem digabung dengan sentuhan musik dhangdut melahirkan jenis musik baru. Ya terdengar lebih rancak. Tapi paklik Sindhu memaksa keroncong saja.

Ya keroncong memang semakin langka. Tapi anak-anak muda pasti kurang greget kalau mendengar musik keroncong. Sindhu sebenarnya suka keroncong, agar keroncong tidak punah perlu sering dimainkan. Tapi ibunya maunya campursari.

“Sum kalau nanggap campusari bagaimana?”

“Wah bagus itu mas. Apalagi ditambah lawak..”

“Ya setuju. Bisa ngundang Kirun atau Marwoto sama Yati Pesek,” sahut Sindhu.

“Kalau aku cocok Kirun, lebih halus dan wasis dalam berbicara, apalagi untuk acara manten.Bisa kasih ular-ular temanten.”

Sumi nggak khawatir soal biaya. Ada dukungan dana dari papanya. Dia sendiri cukup punya uang untuk pesta manten itu.

Disepakati akan mengndang kelompok campusari dari Boyolali dan juga mengundang bintang tamu Kirun cs dari Madiun. Mungkin ini akan menjadi perelatan akbar untuk sebuah pesta perkawinan di desa. Kaka adik Sindhu pun ikut heboh akan menyumbangkan suara nanti.

“Jangan bikin malu lho. Kalau suara pas-pasan nggak usah kepedean,” kata kakak Sindhu tertua.

“lho yang penting ramai. Kita akan bukan artis, wajar kalau jelek.”

“Ya betul setuju , kalau bagus ya syukur.”

“Tapi jangan kebanyakan nyanyi, nanti penyanyi aslinya nganggur, terima amplop saja. ” sahut adik Sindhu sambil tertawa.

“Pengantin harus nyanyi,” usul kakak Sindhu.

“Kalau aku nyanyi nggak masalah. Yang masalah adalah penontonnya. Betah mendengar atau tidak,” kata Sindhu sambil ngakak. (Prof Budi Santosa, PhD adalah Rektor Institut Teknologi Kalimantan, guru besar Teknik Industri ITS Surabaya/bersambung)

 

BACA LAINNYA

Sebuah Pertaruhan

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
1

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *