Pengakuan Sumiati

waktu baca 4 menit

“Sum tolong belikan soto pak Marto ya..” Bu Jarwo meminta Sumiati.

Sumiati sudah paham, di tengah pasar itu ada soto favorit para pedagang dan pembeli. Soto daging yang gurih karena kaldu itu memang jadi jujukan pengunjung pasar untuk sarapan paginya. Gorengan tempe, tahu isi dan bakwan menyertainya di meja warung.

Orang biasa pesan soto dan teh anget gula batu. Itu paduan yang pas untuk sarapan pagi. Pasar Cokro ramai pada hari Pasaran Pon dan Legi. Sedangkan Wage, Kliwon dan Pahing Pasar Ponggok yang berjarak 4 km dari Cokro yang ramai.

Pak Marto punya anak laki-laki, Sarmo, yang rajin membantu di warung.

“Gimana Sum kerasan kerja di Toko Ijo?”

“Yo dikrasan-krasanke kang. Nggak ada pilihan lain.”

“Apa mau bantu aku di sini?”

“Ah emoh…nanti aku mbok gangguin terus..” jawab Sumiati dengan senyum manisnya.

“Mana tega aku Sum,” sahut Sarmo.

Sarmo teman sekolah Sumi di SMP Cokro. Mereka sudah kenal lama. Malah dulu sering main gobaksodor bareng ketika SD. Atau main jethungan kalau purnama tiba. Permainan anak kampung yang penuh dengan latihan ketrampilan: ada keberanian, kerjasama, koordinasi dan kecepatan. Jethungan biasa dilakukan anak-anak saat malam hari. Satu regu sembunyi, regu lain mencari. Sampai larut anak-anak main jethungan. Nanti malam-malam Sarmolah yang mengantar Sumi pulang. Sarmo sering membantu buka toko di tempat Pak Jarwo saat pagi. Dia pingin dekat-dekat Sumi. Sumi pun senang kalau Sarmo membantu dia. Sumi merasakan kehadiran Sarmo seperti kakaknya. Karena dia nggak punya kakak. Sarmo selalu melindungi dia saat main atau kalau ada yang mengganggu di sekolah.

“Cino gosong…!” begitu teman-temanya sering mengejek. Sarmo selalu menantang anak-anak yang mengatakan itu.

“Awas ya kugajul pantatmu.. kalau berani bilang itu lagi,” begitu Sarmo membela Sumi.

Sumi kadang bingung kenapa dibilang Cino gosong. Pernah suatu hari menjelang tidur dia tanya mboknya, Kartiyem.

“Mboke.. kenapa orang-orang memanggilku Cino gosong?”

“Ya karena kulitmu putih… dan matamu sipit..” jawab mboknya asal.

Mereka tidur di atas amben bambu yang dialasi tikar pandan. Rumah separuh dinding batu bata dan atasnya gedhek.

“Lha yang gosong apanya? ”

“Yo mbuh nduk… wis bobok.. besok sekolah..”

Kartiyem meneteskan air mata tapi ia sembunyikan jangan sampai Sumi tahu bahwa dia hasil hubungan cinta yang terlarang. Entah cinta yang seimbang atau tidak. Juragannya yang dulu, Koh Shanghai, baik sekali sikapnya sama dia. Tapi apakah itu cinta atau memang bawaannya begitu. Maka ketika suatu pagi dia di toko didatangi Koh Shanghai untuk dicumbu dan diajak berasik masyuk, dia nikmati. Beberapa kali kejadian itu.

“Jangan ndoro,” pinta Kartiyem ketika dia diminta membuka pakaiannya di kamar belakang toko. Tolakan itu diabaikan Koh Shanghai. Sebenarnya Kartiyem takut. Tapi beberapa lama justru dia ketagihan. Namun nggak disangka dia lalu sering muntah-muntah. Nyonyanya tahu itu dan menginterograsinya.

“Kamu kenapa Kar?”

Kartiyem menangis sesenggukan.

“Siapa yang melakukan?”

Kartiyem takut. Karena didesak terus, dia terpaksa bilang

“Tu..tu tuan, nyah.”

“Ha?! Lelaki nggak tahu diri…”

Nyonyah Shanghai segera melabrak suaminya. Kartiyem disuruh pulang diberi uang untuk biaya melahirkan. Getir hatinya mengingat itu. Dia berdoa semoga anaknya nanti nggak jadi orang susah seperti dia.

“Mbok kok diam saja?” suara Sumi mengagetkannya dari lamunan.

“Nggak nduk.. simbok ngantuk.. besok harus gogoh wedhi ,” ucap Kartiyem sambil mengusap air matanya dengan jarik kemulnya. Giyono suaminya sedang giliran ronda. Mereka di rumah cuma berdua.

“Boboklah..”

“Kalau besok diolok-olok cino gosong lagi gimana?”

“Diamkan saja” kata Kartiyem sambil mengusap rambut Sumiati.

*

“Ini Sum sotonya.”

“Nanti uangnya Bu Jarwo ya kang yang bayar.”

“Iya Sum..hati-hati ya,” pesan Sarmo penuh arti.

Sejak Sumiati kerja di Toko Ijo, pak dan bu Jarwo merasa rejekinya membaik. Maka Sumiati sangat disayangi keduanya, meski cuma pelayan toko. Toko Ijo semakin memperbanyak jenis dagangan. Orang-orang dari pasar sering mampir ke Toko Ijo untuk kulakan dan dijual lagi di warung di kampungnya. (Prof Budi Santosa, PhD adalah Rektor Institut Teknologi Kalimantan, guru besar Teknik Industri ITS Surabaya/bersambung)

 

BACA LAINNYA

Perempuan Terakhir

Kempalan News
0
0

Jenny Mei

Kempalan News
0

Jenny Mie

Kempalan News
0
0

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *