Nabila Dewi Gayatri Pameran Tunggal Lagi

waktu baca 2 menit
Pelukis Nabila Dewi Gayatri. (Foto : Google).

KEMPALAN : Saya mengenal sosok ini sejak puluhan tahun lalu — wanita muda enerjik yang sering saya temui pada sejumlah event kesenian di Surabaya.

Saat tampil di forum-forum tersebut, Nabila Dewi Gayatri selalu membacakan puisi-puisinya yang “denotatif-konotatif” indah dalam balutan ekspresi memukau.

Beberapa bulan setelah sosok yang (dulu) sering mengenakan topi pet saat sosok ini membacakan puisi-puisinya, ternyata saya ketahui adalah seorang pelukis.

Setelah itu sebutan saya untuk Mbak Dewi (Nabila Dewi Gayatri) adalah : “penyair yang pelukis”.

Namun, makin lama saya menyebut sosok ramah santun ini sebagai “pelukis yang penyair”.

Kenapa begitu ?
Berdasarkan persepsi saya setelah sering membaca berita aktivitas pameran lukisan yang diikutinya, baik secara bersama maupun tampil tunggal.

Yang saya ingat, pameran tunggalnya saja sudah untuk yang ke-7. Luar biasa!

Kenapa saya sebut “luar biasa”, mengingat angka 7 (tujuh) bagi saya dalam kaitan pameran tunggal bukan angka sedikit. Apalagi jika lukisan-lukisan karya wanita pelukis yang penyair ini selalu dengan format besar dalam corak realisme. Wow !

Hari Selasa lalu, 14 Oktober 2025, saya menerima pesan dari Mbak Dewi berupa undangan digital tentang pameran tunggalnya yang diselenggarakan oleh Lesbumi Jawa Timur.

Pameran ini akan berlangsung di Galeri DKS pada 18-25 Oktober, rencananya dibuka oleh KH. Abdul Hakim Mahfudz Ketua PW NU Jawa Timur, pada Sabtu 18 Oktober pukul 19.00.

Sebagai penulis pameran ini adalah Dr. Mikke Susanto M.
Sn.

Sedangkan Dr. Agung Tato M.
Sn. sebagai pendesain display.

Yang bikin saya agak berdebar adalah tambahan kata-kata di bagian bawah undangan tersebut, yaitu : Monggo katuran rawuh.

Bagi saya kalimat berbahasa Jawa halus yang artinya kurang lebih “silakan hadir” ini adalah sihir kata-kata.

Orang Jawa kalau sudah berbahasa Jawa halus adalah persuasi yang (bisa jadi) menyebabkan sungkan.

Apalagi jika mengingat pameran tunggal Mbak Dewi tahun lalu yang saya juga diundang, tak bisa saya hadiri. Ini yang menjadikan saya kikuk. Ada perasaan bersalah.

Mudah-mudahan untuk kali ini saya bisa hadir, dan mudah-mudahan anak atau mantu saya, bisa menemani.

Untuk hadir pada malam hari sendirian : riskan. Apalagi kalau nyetir sendiri. Karena akibat itu, beberapa kali saya pernah mengalami hal yang tidak mengenakkan. Ini akibat 2 komorbid yang ngendon di tubuh saya.

Padahal usia belum lanjut amat, baru 72 tahun. (Amang Mawardi).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *