Membersihkan Istana dari Bayang-Bayang Busuk Kekuasaan
KEMPALAN: Indonesia berdiri di persimpangan sejarah. Sebuah negeri yang begitu kaya sumber daya, namun terus dirundung kemiskinan moral dalam ruang kekuasaan.
Setiap kali rakyat menaruh harapan kepada pemimpin baru, harapan itu sering berakhir menjadi abu di tangan birokrasi korup, politik uang, dan penyimpangan jabatan yang menjalar seperti kanker di tubuh negara.
Kini, Prabowo Subianto duduk di kursi presiden dengan satu tantangan terbesar sepanjang karier politiknya: bukan hanya memimpin, tapi menyembuhkan sebuah bangsa yang telah terlalu lama terbiasa dengan luka dan kebusukan kekuasaan.
Prabowo mewarisi negara yang penuh paradoks. Di satu sisi, Indonesia memiliki ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan cadangan kekayaan alam melimpah.
Namun di sisi lain, keadilan sosial seolah menjadi barang mewah. Aparat masih mudah disuap, pejabat publik banyak yang memperdagangkan jabatan, dan hukum sering kali tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.
Rakyat marah, dan kemarahan itu bisa sewaktu-waktu meledak menjadi kerusuhan atau anarki jika mereka kembali merasa dikhianati oleh penguasa.
Dalam kondisi seperti inilah, Prabowo dihadapkan pada pilihan: menjadi presiden yang menjaga status quo atau menjadi negarawan yang berani melawan arus busuk kekuasaan yang telah berurat akar.
Untuk menata bangsa yang carut-marut oleh korupsi, langkah pertama yang harus dilakukan Prabowo adalah menegakkan hukum tanpa pandang bulu, bahkan jika yang harus diseret ke meja hijau adalah orang-orang yang pernah menjadi sekutunya.
Tidak ada pembersihan yang bisa berhasil jika hanya berhenti pada tataran simbolik. Ia harus memutus rantai impunitas yang selama ini menjadi pelindung bagi para elite korup.
Di titik inilah, kata-kata pakar politik Amerika, Francis Fukuyama, menjadi relevan. Dalam bukunya Political Order and Political Decay, Fukuyama menulis bahwa “sebuah negara hanya akan benar-benar kuat jika institusi-institusinya mampu menegakkan hukum secara independen dari kekuasaan politik.”
Artinya, Prabowo tidak bisa berharap pada keberhasilan jika ia masih membiarkan lembaga hukum menjadi alat politik.
Reformasi birokrasi harus menjadi tulang punggung pemerintahannya. Birokrasi di Indonesia bukan hanya lamban, tetapi juga sering kali menjadi lahan subur untuk pungli dan kolusi.
Prabowo perlu membangun sistem meritokrasi yang benar-benar mengedepankan profesionalisme dan integritas, bukan kedekatan politik atau balas budi.
Ia harus berani memangkas jabatan ganda, menertibkan lembaga yang tumpang tindih, dan menyingkirkan pejabat yang terbukti bermain proyek.
Dalam konteks ini, transparansi digital menjadi senjata utama. Negara-negara seperti Estonia dan Korea Selatan berhasil memangkas korupsi karena menerapkan digital governance secara menyeluruh — setiap transaksi, tender, dan keputusan birokrasi tercatat dan bisa diaudit publik.
Jika Prabowo ingin menciptakan pemerintahan yang bersih, maka teknologi harus menjadi sekutu, bukan ancaman.
Namun pemberantasan korupsi tak akan cukup jika hanya diserahkan kepada KPK atau aparat hukum. Yang lebih penting adalah membangun budaya antikorupsi di seluruh lapisan masyarakat.
Pendidikan integritas harus dimulai sejak dini, karena bangsa yang terbiasa menormalisasi suap dan nepotisme tak akan pernah melahirkan generasi jujur.
Prabowo harus mampu menggandeng tokoh agama, intelektual, dan komunitas sipil untuk menanamkan nilai kejujuran sebagai dasar moral nasional.
Ia perlu menanamkan kesadaran bahwa nasionalisme sejati bukan sekadar mencintai bendera, tapi menolak mencuri dari negaranya sendiri.
Selain itu, Prabowo harus memahami bahwa keadilan ekonomi adalah kunci untuk mencegah kerusuhan sosial.
Ketimpangan yang terlalu lebar antara elite dan rakyat kecil adalah bahan bakar utama bagi amarah sosial.
Program redistribusi aset, penguatan koperasi, dan industrialisasi berbasis rakyat menjadi strategi penting agar kemakmuran tidak hanya dinikmati oleh segelintir konglomerat politik.
Jika rakyat merasa diabaikan, maka kemarahan mereka akan mencari jalan keluar — bisa lewat jalanan, bisa pula lewat kekerasan.
Dalam diplomasi internasional, Prabowo harus menunjukkan bahwa Indonesia bukan hanya negara besar secara geografis, tetapi juga secara moral.
Ia harus berani berkata bahwa Indonesia ingin menjadi contoh bagi dunia: negara yang berdaulat tapi bersih, kuat tapi adil. Karena korupsi bukan sekadar masalah domestik, tetapi juga soal reputasi bangsa di mata dunia.
Pakar tata kelola pemerintahan dari Inggris, Robert Klitgaard, pernah menulis dalam Controlling Corruption bahwa “korupsi tumbuh di mana kekuasaan besar bertemu dengan akuntabilitas yang lemah.”
Kalimat ini seharusnya menjadi mantra bagi Prabowo. Ia harus memastikan bahwa kekuasaan di bawahnya — dari menteri hingga kepala daerah — selalu diawasi dan bisa dimintai pertanggungjawaban.
Dalam hal ini, memperkuat lembaga pengawasan independen dan membuka ruang bagi media serta masyarakat sipil untuk melakukan kontrol adalah langkah yang tidak bisa ditawar. Pemerintahan yang tertutup adalah ladang subur bagi penyimpangan.
Namun perang melawan korupsi dan ketidakadilan bukan hanya soal kebijakan, melainkan juga soal keteladanan.
Prabowo harus menjadi contoh moral bagi pejabatnya. Ia harus berani hidup sederhana, menolak gratifikasi, dan menampilkan diri sebagai pemimpin yang mengutamakan kepentingan bangsa di atas gengsi pribadi.
Sejarah menunjukkan bahwa revolusi moral dalam pemerintahan selalu dimulai dari teladan seorang pemimpin.
Ketika rakyat melihat presidennya bersih, mereka akan kembali percaya bahwa negara ini masih punya harapan.
Indonesia tidak butuh pemimpin yang hanya pandai berpidato, tapi pemimpin yang mampu membersihkan selokan kekuasaan tanpa takut kehilangan popularitas.
Jika Prabowo benar-benar ingin meninggalkan warisan besar, maka inilah saatnya: memotong rantai korupsi, menghapus ketidakadilan, dan menulis babak baru bagi Indonesia — sebuah republik yang tidak hanya besar dalam jumlah penduduk, tapi juga besar dalam integritas dan keadilan.
Dan jika ia berhasil, mungkin untuk pertama kalinya dalam sejarah modern Indonesia, rakyat bisa berkata dengan bangga: negara ini akhirnya dipimpin oleh seorang presiden yang tidak hanya kuat dalam wibawa, tapi juga bersih dalam nurani.
Oleh : Bambang Eko Mei









