Aksi Tipu-Tipu, Lobi, dan Upeti

waktu baca 2 menit
Ponang Aji (foto: pribadi)

KEMPALAN: Belakangan ini, publik kembali dicerahkan oleh kenyataan pahit: pencitraan kemewahan dan moral bisnis tampaknya hanyalah selimut yang sopan untuk menutupi bau amis keuntungan haram.

Kali ini sorotan tertuju pada PT Pamapersada Nusantara (PAMA), anak usaha salah satu kerajaan bisnis terbesar di negeri ini. Nama besar, reputasi global, bisnis raksasa—tapi terseret kasus korupsi solar bersubsidi. Bukan recehan. Keuntungan yang diterima: Rp958,38 miliar. Hampir satu triliun rupiah, hanya dari diskon ilegal solar di bawah harga pokok. Begitulah. Di negeri ini kemunafikan bukan dosa, tapi strategi bisnis.

Para konglomerat biasanya tampil elegan dalam publik: Berbicara soal good corporate governance. Rajin ikut forum ESG dan keberlanjutan. Menyumbang uang ke panti sosial saat kamera menyala. Membagikan motivasi kesuksesan di podcast

“Kerja keraslah, jangan mengeluh, rejeki tidak akan mengkhianati usaha”—kata mereka.
Tapi ternyata di balik nasihat itu ada catatan kaki kecil: Kecuali kalau punya akses elite, ya main belakang lebih cepat.

Kasus PAMA ini membuka jendela kecil tentang wajah asli kapitalisme kolusif ala Indonesia: Untung satu triliun bukan lagi berasal dari inovasi atau produktivitas, tapi karena bisa “atur harga” dan “atur jaringan”.

Ironisnya, rakyat kecil disuruh jujur bayar pajak, pedagang asongan diburu Satpol PP, nelayan dipaksa beli solar mahal, sopir truk antre BBM sambil dihina “pelaku ekonomi informal tak tertib”. Sementara itu, di layar atas: Perusahaan besar malah pesta solar diskon ilegal ukuran kontainer.

Dulu kita pikir korupsi hanya penyakit politisi. Rupanya konglomerat pun tak tahan godaan. Mereka hanya berbeda seragam: bukan jas pejabat, tapi kemeja impor dipadukan dengan retorika corporate responsibility.

Pertanyaannya sekarang sederhana: Sampai kapan publik dibohongi dengan slogan “bisnis bersih dan profesional”? Kenapa negara begitu berani pada pedagang kaki lima, tapi berlutut ketika berhadapan dengan konglomerat? Dan yang paling penting: jika elite politik dan elite ekonomi ternyata sama-sama doyan makan uang negara, bedanya apa antara “penguasa” dan “pengusaha” di republik ini?

Walau begitu, mari kita apresiasi skandal ini. Setidaknya kini kita tahu: Di Indonesia, untuk sukses besar bukan hanya butuh kerja keras. Tapi juga kerja sama—dengan pasal-pasal gelap.

(Cak Bonang. Aktivis. Srawungan AKAS. Arek Kampung Suroboyo. 26Okt’25)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *