Matinya Penulis
KEMPALAN: Apa jadinya sebuah bangsa tanpa penulis? Jawabannya gampang: tetap ada presiden, tetap ada DPR yang sibuk rapat dengar pendapat sambil ngopi, tetap ada jalan tol, tetap ada pabrik sawit. Bedanya, bangsa itu kehilangan cermin. Karena penulis adalah cermin. Hari ini, cermin itu sudah dipukul sampai ambyar lalu dibuang ke tong sampah.
Tahun 1980-an, jadi wartawan itu cita-cita mulia. Setelah kenyang makan nasi kotak liputan dan rokok yang dihisap setengah pakai, banyak yang bermimpi suatu saat naik pangkat jadi penulis esai atau kolumnis. Statusnya naik, dompet juga ikut gemuk.
Tiga dekade berselang, dompet itu makin kisut, tipis sekali. Pena bukan lagi senjata tapi sekadar pulpen promosi gratis dari partai politik atau perusahaan rokok.
KEBEBASAN DAGELAN
Reformasi 1998 membebaskan media. SIUPP dicabut, ribuan orang mendadak jadi pemilik media dengan modal Rp 5 juta. Cukup bikin PT, beli domain, rekrut wartawan asal bisa ngetik. Bayarannya? “Cari sendirilah …”
Akibatnya, media membiak seperti jamur di musim hujan. Sekarang ada sekitar 60.000 media di Indonesia. Yang diakui Dewan Pers? Tidak sampai 2000. Sisanya? Entah media atau sekadar blog pribadi dengan nama mentereng.
Tak heran kalau Dewan Pers kebanjiran pengaduan. Tercatat 600 kasus pada 2024, 200 kasus pada kuartal awal pada tahun 2025. Pers bukan lagi “pilar keempat demokrasi”, tapi pasar malam: ramai, bising, penuh lampu warna-warni, tapi isinya kebanyakan tipu-tipu. Inilah potret kebebasan dagelan hasil reformasi.
Kalau dulu jadi kolumnis itu puncak karier, sekarang lebih mirip nasib PNS golongan paling buncit – kerja keras, punya kehormatan tapi duit nihil. Kecuali Kompas dan Tempo, hampir tak ada media yang bayar honor.
Pensiunan wartawan hari ini hanya punya dua pilihan: jadi “kismin terhormat” atau buka warung. Ironinya, iklan media justru lari ke influencer dan buzzer. Rupanya, wajah cantik dengan filter Instagram lebih dipercaya pengiklan ketimbang analisis kritis 2000 kata.
Tragedi media massa tidak hanya melanda Indonesia, lihat saja Amerika Serikat. Raksasa media cetak gulung tikar. Ribuan jurnalis terpaksa pindah kerja jadi dosen atau barista. New York Times hanya selamat karena jualan langganan digital, itupun dengan paywall yang bikin pembaca ngelu. Yaitu sistem yang membatasi akses ke konten dengan mewajibkan pengguna untuk membayar biaya berlangganan
Di Inggris. Kolumnis senior kalah pamor dari Youtuber politik. Kata-kata kalah dari mikrofon. Sementara di Filipina dan India m edia online jadi ajang “siapa cepat publish, dia dapat klik”. Penulis opini? Gratisan. Kalau mau bayar, cukup kasih “exposure”.
Ternyata, kematian penulis memang sedang global. Dunia sedang mengadakan upacara penguburan mereka.
TAWARAN SOLUSI
Apakah berarti kita harus menyerah? Tidak. Karena tanpa penulis, bangsa ini hanya akan punya buzzer dan press release birokrasi atau korporasi.
Beberapa skema yang bisa dilakukan seperti berikut: Subsidi Intelektual. Kalau negara bisa subsidi pupuk, mengapa tidak subsidi penulis? Bayar mereka menulis esai bermutu, bukan lomba slogan murahan.
Model bisnis baru. Penulis harus belajar seperti musisi indie, langsung ke pembaca. Lewat Patreon, Substack atau iuran gotong royong. Kampanye Literasi, jadikan tulisan esai bagian dari kurikulum kritis. Kalau anak-anak SMA terbiasa membaca esai, bangsa ini tak akan mudah dikerjai hoaks.
Kurasi media serius. Dewan Pers jangan cuma jadi polisi etik. Buat daftar media berkualitas yang benar-benar bayar tulisan, agar penulis tau akan menitipkan karyanya ke mana.
Ya, kaum penulis memang sedang sekarat. Tapi kematian ini tidak harus final. Pena bisa hidup lagi, kalau bangsa sadar bahwa tulisan kritis adalah vitamin demokrasi.
Negara tanpa penulis ibarat tubuh tanpa imun. Bisa gagah sesaat, tapi kemudian roboh. Perlu diingat, sejarah bangsa ini tak pernah ditulis oleh buzzer bayaran. Ia selalu ditulis oleh orang-orang keras kepala yang rela lapar demi sebuah kalimat
Rokimdakas
Penulis Kecil
19 Agustus 2025
