Pembusukan Politik

waktu baca 5 menit
Ilustrasi demo di Pati (*)

KEMPALAN: Dalam literatur ilmu politik modern, nama Samuel P. Huntington selalu muncul sebagai salah satu pemikir yang tajam dalam membaca dinamika negara-negara berkembang.

Salah satu gagasannya yang paling relevan dengan situasi kekinian adalah konsep political decay, atau pembusukan politik, yang ia jelaskan dalam bukunya Political Order in Changing Societies (1968).

Huntington menyatakan bahwa tantangan terbesar bagi negara-negara berkembang bukanlah ancaman dari luar negeri, melainkan kerusakan internal yang muncul ketika institusi politik gagal menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial, ekonomi, dan politik yang terus berubah.

Dengan kata lain, sebuah negara bisa runtuh bukan karena perang dengan negara tetangga, melainkan karena rapuhnya institusi, korupsi elite, lemahnya hukum, dan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap sistem politik yang seharusnya melindungi mereka.

Konsep political decay terasa sangat nyata ketika kita melihat bagaimana banyak negara, termasuk Indonesia, menghadapi masalah kelemahan institusi yang berulang.

Ketika hukum hanya tajam ke bawah namun tumpul ke atas, maka legitimasi negara di mata rakyat menjadi terkikis.

Rakyat merasa tidak lagi berhadapan dengan sebuah negara yang melindungi, melainkan sebuah rezim yang justru menindas.

Di sinilah gejala pembusukan politik mulai terlihat ketika ada kesenjangan besar antara norma ideal dengan praktik nyata, ketika keadilan menjadi barang langka, dan ketika kepercayaan publik terhadap institusi negara semakin menipis.

Dalam konteks ini, political decay bukan sekadar istilah akademis, melainkan fenomena sehari-hari yang dirasakan masyarakat dalam bentuk ketidakadilan, ketidakpastian, dan ketidakberdayaan.

Huntington menekankan bahwa institusi adalah kunci dalam menjaga stabilitas politik.

Negara dengan institusi yang lemah akan sulit mengelola konflik sosial, sulit mengendalikan ambisi elite, dan sulit membangun legitimasi yang berkelanjutan.

Ketika institusi gagal, yang muncul bukanlah tatanan, melainkan kekacauan. Kita bisa melihat bagaimana lembaga peradilan sering dianggap tidak adil, bagaimana birokrasi publik cenderung koruptif, serta bagaimana partai politik lebih sering sibuk memperebutkan kekuasaan daripada memperjuangkan kepentingan rakyat.

Semua ini adalah tanda-tanda pembusukan politik yang nyata, yang bisa perlahan melumpuhkan kehidupan bernegara.

Masalah semakin pelik ketika pemimpin yang seharusnya menjadi teladan justru memberi contoh buruk.

Ketika elite politik memamerkan gaya hidup mewah, memperkaya diri, atau menyalahgunakan kekuasaan, rakyat merasa teralienasi dari negara.

Dalam bahasa Huntington, inilah bentuk lain dari political decay, di mana perilaku elite mencerminkan degradasi moral institusi yang mereka wakili.

Politik menjadi arena transaksi, bukan arena pengabdian. Hukum menjadi alat kekuasaan, bukan instrumen keadilan. Demokrasi berubah menjadi sekadar prosedur formal pemilu, tanpa substansi kesejahteraan dan keadilan sosial yang menyertainya.

Apa yang paling berbahaya dari political decay bukanlah sekadar rusaknya institusi negara, melainkan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap negara itu sendiri.

Ketika rakyat tidak lagi percaya bahwa hukum bisa melindungi, mereka akan mencari jalan lain di luar hukum.

Ketika rakyat tidak lagi yakin bahwa pemimpin berpihak kepada mereka, mereka akan merasa berhadapan dengan bangsanya sendiri.

Dari titik inilah lahir ketidakstabilan sosial, gejolak politik, hingga potensi disintegrasi bangsa.

Huntington seakan memberi peringatan keras bahwa sebuah negara bisa tampak kuat di permukaan, namun di dalamnya rapuh oleh pembusukan politik yang terus menggerogoti.

Indonesia, dengan segala dinamikanya, menghadapi risiko yang tidak kecil dalam konteks ini.

Demokrasi yang telah berjalan lebih dari dua dekade masih menghadapi masalah akut berupa korupsi, politik uang, lemahnya supremasi hukum, serta rendahnya kualitas kepemimpinan.

Rakyat berkali-kali menyaksikan bagaimana skandal korupsi melibatkan pejabat tinggi, bagaimana hukum bisa dibeli, dan bagaimana janji-janji politik sering hanya berhenti di masa kampanye.

Dalam situasi seperti ini, political decay bukan lagi ancaman yang samar, melainkan realitas yang sudah terjadi di depan mata.

Namun, pemikiran Huntington juga memberi kita refleksi penting: pembusukan politik bukanlah takdir yang tidak bisa diubah. Ia muncul karena institusi gagal beradaptasi dengan tuntutan zaman, dan karenanya bisa dilawan dengan memperkuat institusi.

Reformasi hukum, penguatan lembaga peradilan, transparansi birokrasi, serta peningkatan integritas elite politik adalah jalan untuk memperlambat atau bahkan menghentikan proses political decay.

Yang dibutuhkan adalah kemauan politik yang kuat dan partisipasi rakyat yang sadar bahwa negara ini hanya bisa bertahan bila institusinya sehat.

Tanpa itu, demokrasi hanya akan menjadi ritual kosong, sementara substansi keadilan dan kesejahteraan terus terkikis.

Huntington benar ketika menyebut bahwa ancaman terbesar bagi negara berkembang bukanlah serangan dari luar, melainkan kerusakan dari dalam.

Sejarah membuktikan bahwa banyak negara runtuh bukan karena kalah perang, melainkan karena institusi mereka lapuk oleh korupsi, keserakahan elite, dan hilangnya legitimasi.

Pelajaran ini seharusnya menjadi alarm bagi bangsa Indonesia: jangan sampai kita terlena dengan simbol-simbol demokrasi, sementara substansinya digerogoti oleh pembusukan politik.

Sebab, sekali legitimasi negara hancur, membangunnya kembali akan jauh lebih sulit daripada sekadar memenangkan sebuah pemilu.

Dalam dunia yang penuh tantangan global, dari perubahan iklim hingga persaingan geopolitik, sebuah negara hanya bisa bertahan jika ia memiliki fondasi politik yang sehat.

Fondasi itu adalah institusi yang adil, pemimpin yang berintegritas, hukum yang tegak, dan rakyat yang percaya pada negaranya.

Tanpa itu semua, political decay akan menjadi penyakit kronis yang pada akhirnya bisa meruntuhkan rumah besar bernama Indonesia.

Maka, mengingatkan kembali pandangan Huntington bukan sekadar wacana akademis, melainkan kebutuhan mendesak agar kita tidak abai terhadap bahaya laten yang tengah menggerogoti kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni pembusukan politik

                *

Oleh Bambang Eko Mei

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *