Pelajaran Bisnis
KEMPALAN : Jarkoni baru saja lulus ujian pascasarjana bidang manajemen bisnis. Dia berhak menggunakan gelar MBA.
Sesudah diwisuda, dia diangkat menjadi direktur pada perusahaan keluarga. Namun, untuk itu, Jar (demikian dia biasa dipanggil di lingkungan keluarga) perlu belajar banyak soal bisnis dari pamannya.
Hari pertama pelajaran bisnis, pamannya memanggil Jar ke loteng.
“Jar, sekarang pelajaran pertama, ini penting untuk bisnis. Coba kamu berdiri di pinggir loteng !”
“Di pinggir, Om?,” tanya Jar.
“Iya, di pinggir dekat ujung situ!”
Meski mula-mula terlihat ragu, Jar akhirnya menuruti perintah pamannya.
“Nah, dengarkan aba-abaku. Kalau kusuruh meloncat, langsung kamu meloncat ke bawah, setelah bilangan ke-3,” kata pamannya dengan wajah serius.
“Om, loteng ini tingginya 3 meter, lho…”
“Iya, saya tahu.”
“Tapi… tapi…”
“Jangan bingung, katanya mau belajar bisnis. Turuti saja perintahku !”
“Oke, Om”.
“Sudah, siap…?! Satu, dua, tiga : loncat !!!”
Jarkoni tanpa pikir panjang langsung meloncat ke bawah. Terang saja dia babak belur yang sebelumnya didahului suara gedebuk!
Segera pamannya turun ke bawah menyusul Jar yang tubuhnya babak belur dengan beberapa bagian tampak memar.
“Nak, kamu baru saja memperoleh pelajaran bisnis pertama. Jangan sekali-sekali percaya omongan orang, siapa pun. Entah itu teman baikmu atau keluargamu sendiri,” ujar pamannya seraya menahan senyum. “Sudah ya, sampai ketemu besok pada pelajaran bisnis kedua…”
Bagaimana kita mengambil hikmah dari anekdot ini?
Banyak hal yang bersinggungan dengan berbagai bidang dianalogikan dengan sifat tertentu, kendati tidak semuanya benar, tergantung the man behind the gun. Misal : politik itu kotor; olahraga itu sportif; seni itu indah; bisnis itu raja tega; dan masih banyak lagi.
Dalam kaitan dunia bisnis, kalau kita amati orang-orang yang sukses di bidang itu, acapkali kita jumpai sosok yang ramah, terbuka, (seolah) mau menerima pendapat orang lain, tapi belum tentu melaksanakannya dalam tindakan.
Mereka adalah orang-orang yang sangat berhati-hati. Salah sedikit menjatuhkan keputusan, bisa berdampak luar biasa bagi kelangsungan perusahaan yang menaungi banyak karyawan.
Kejam? Begitulah yang kita dengar sehari-hari yang kebenarannya tergantung konteks permasalahan.
Jegal-menjegal dalam dunia itu, biasa terjadi. Kendati banyak juga yang mendasari langkah mereka pada tindakan-tindakan etika tinggi sebagaimana banyak dibicarakan orang tentang sosok Ciputra, Jacob Oetama, dan masih sederet nama lagi.
Supaya tidak gampang dijegal, paman Jar memberikan pelajaran agar berhati-hati melangkah dalam dunia bisnis yang diilustrasikan ‘jangan percaya omongan orang’, termasuk kepada sahabat dekat maupun keluarga sendiri. Jika tidak, akibatnya sebagaimana Jar alami. Begitulah ekstremnya.
Dalam dimensi lain, apa yang dikemukakan anekdot ini, uthak athik gathuk-nya terletak pada proses “kekejaman” babak belur tidak keruan.Perspektifnya, jika ingin sukses dalam bisnis, seseorang harus bekerja keras banting tulang sampai keringat bercucuran, mesti berjuang hingga “darah keluar menetes-netes”. Begitulah ektremnya.
Dimensi lain lagi, setiap orang harus percaya pada akal sehat. Dalam kaitan ini, Jar yang masih belia belum punya ketebalan iman, sedikit memiliki kekentalan suara hati.
Perintah pamannya yang penuh “hipnotik” itu meruntuhkan akal sehat Jar dengan meloncat dari loteng setinggi 3 meter.
Bukan berarti dia tidak punya suara hati. Punya. Namun, kecil. Dan itu ditunjukkan dengan sikap ragu-ragu saat pamannya menyuruh untuk berdiri di tepi loteng disusul komentarnya bahwa loteng itu tingginya 3 meter.
Berhubung tipis iman, juga suara hati yang semakin menjauh lantaran kuatnya hegemoni sang paman, ditambah (barangkali) minimnya pengalaman hidup, akhirnya Jarkoni meloncat juga.
Kalahnya akal sehat menghasilkan dampak negatif yang menyakitkan! (Amang Mawardi).









