Pak Harto, Prabowo, dan Para Taipan
Oleh: Dhimam Abror Djuraid
KEMPALAN: Presiden Prabowo Subianto mengundang para taipan ke Istana Merdeka. Berturut-turut selama dua hari, Kamis (6/3), dan Jumat (7/3). Para taipan yang diundang itu selama ini terkenal dengan sebutan ‘’Sembilan Naga’’.
Di antara mereka ada Sugianto Kusuma alias Aguan yang selama ini disebut-sebut sebagai kepala naga. Ada juga Anthony Salim, generasi kedua taipan Indonesia, pewaris kerajaan bisnis ayahnya yang legendaris Liem Sioe Liong. Dari kalangan pribumi ada Haji Isam yang diundang audisi di hari kedua.
Berbagai spekulasi bermunculan mengenai isi pertemuan itu. Kabar yang dirilis oleh Istana menyebutkan bahwa Presiden Prabowo menjelaskan berbagai program strategis nasional . Salah satunya adalah (apalagi, kalau bukan) program makan siang gratis.
Pola yang sama dilakukan oleh Jokowi di pengujung masa jabatannya. Jokowi mengundang para taipan itu ke IKN. Tujuannya merayu mereka supaya mau inves di IKN. Ternyata isi pertemuan itu dibocorkan oleh Aguan kepada Majalah Tempo. Muncul tudingan bahwa Jokowi melakukan politik ijon. Aguan dan kawan-kawan inves di IKN, dan sebagai imbalannya dia mendapat proyek PSN (Proyek Strategis Nasional).
Pertemuan Prabowo dengan para taipan adalah hal yang biasa. Di Amerika pun Presiden Donald Trump banyak mengandalkan para taipan untuk mendukung programnya. Salah satu pengusaha yang menjadi andalan Trump ialah Elon Musk, pemilik pabrik mobil listrik Tesla, perusahaan luar angkasa Spase X, dan pemilik X d/h Twitter.
Selama masa kampanye pilpres Elon Musk menjadi pendukung fanatik Trump. Ia mengerahkan semua jaringannya untuk memenangkan Trump. Musk juga menyumbangkan banyak uang untuk kemenangan Trump.
Setelah Trump menang, Elon Musk mendapat ganjaran besar. Ia berada di kursi VVIP saat pelantikan Trump menjadi presiden. Musk mendapat jabatan sangat penting di pemerintahan Trump. Ia ditugasi menjadi pelaksana program efisiensi di pemerintahan.
Di Indonesia hubungan pengusaha dengan politik sudah menjadi hal yang lumrah. Politik di Indonesia sangat high-cost, biaya tinggi. Tidak ada kontestasi politik yang tidak membutuhkan biaya tinggi. Karena itu para politisi selalu mencari ‘’dekengan’’ dana dari para pengusaha. Sebagai imbalannya para pengusaha itu akan mendapatkan proyek-proyek dari pemerintah.
Hubungan itu disebut sebagai ‘’klientelisme’’, hubungan patron-klien antara bandar dan politisi. Pola hubungan ini menjadikan demokrasi di Indonesia seperti barang dagangan. Edward Aspinall dan Ward Berenschot mengungkap praktik itu dalam buku ‘’Democracy for Sale’’ (2019). Praktik jual beli itu berlangsung dalam bentuk money politics, politik uang, dan vote buying, jual beli suara.
Di setiap kontestasi politik praktik jual beli itu sudah dianggap sebagai praktik yang lumrah. Serangan fajar menjadi kosa kata yang identik dengan jual beli suara. Istilah NPWP lebih dikenal sebagai idiom jual beli suara ketimbang istilah perpajakan.
Presiden Prabowo menghadapi persoalan anggaran yang pelik. Program makan siang gratis menjadi program hidup mati bagi Prabowo. Ia membutuhkan ratusan triliun untuk mendanai program itu. Prabowo membutuhkan bantuan para taipan untuk mendapatkan dana itu. Pola patron-klien sangat mungkin ditawarkan oleh Prabowo untuk bisa mendapatkan bantuan dari para taipan.
Para taipan China sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam perjalanan sejarah Indonesia. Presiden Soeharto terkenal dengan hubungannya yang sangat lekat dengan Lim Sioe Liong. Kepada para taipan itulah Pak Harto menaruh harapan supaya ekonomi Indonesia bisa tumbuh cepat.
Pak Harto membesarkan para konglomerat itu dengan memberi mereka berbagai konsesi dan monopoli. Strategi pembangunan ekonomi Pak Harto bertumpu pada teori ‘’trickle down effect’’. Ketika kue pembangunan sudah sangat besar maka akan terjadi luberan ke bawah.
Karena itu Pak Harto membesarkan para konglomerat itu. Menjadikan mereka sebagai mesin pertumbuhan. Lalu pada saatnya luberan ke bawah akan membawa pertumbuhan ekonomi yang bisa menetes kepada rakyat.
Pak Harto memegang kontrol terhadap para taipan itu. Mereka boleh menjadi raja di bidang ekonomi. Tapi mereka tidak boleh cawe-cawe di bidang politik. Pak Harto mengontrol sepenuhnya aktivitas politik, dan tetap mengontrol aktivitas ekonomi para taipan itu.
Pola otoritarianisme ini dikecam. Tapi terbukti efektif dalam mewujudkan stabilitas. Di zaman sekarang, para taipan yang tajir melintir itu bisa mendirikan partai politik, atau membelinya.
Tidak sepenuhnya efek luberan ke bawah bisa berjalan secara alamiah. Logika modal dan kapital tidak pernah mengenal istilah berbagi. Akumulasi modal akan dengan sendirinya membawa kepada penumpukan yang semakin menggunung.
Pak Harto tahu akan hal itu. Pada awal 1990-an para taipan itu sudah menjadi raja konglomerat. Tapi tetesan ke bawah belum terasa. Pak Harto pun memanggil para taipan ke Tapos, peternakan sapi milik Pak Harto.
Dengan senyumnya yang khas Pak Harto meminta kepada para konglomerat itu untuk mengikhlaskan sebagian saham perusahaanya untuk dihibahkan kepada koperasi. Para taipan itu tahu pasti bahwa senyum Pak Harto itu senyum yang mematikan. The Smiling General itu tidak main-main dengan permintaannya.
Para taipan itu tahu Pak Harto bermain dengan simbol. Pak Harto sangat mungkin tidak membaca teori semiotika Roland Bartez. Tetapi Pak Harto tahu betul pentingnya simbol dalam politik. Mengundang para taipan itu ke Tapos adalah simbol. Tapos adalah peternakan sapi untuk diperas susunya, atau disembelih dagingnya. Dua hal itu bukan pilihan yang menarik bagi para taipan. Tapi mereka tidak punya pilihan.
Itulah Pak Harto. Itulah bedanya dengan Prabowo, mantan menantunya. Pak Harto tidak mengundang para taipan itu ke Istana, tapi ke peternakan. Pak Harto menjaga marwah Istana. Pak Harto memastikan Istana bersih dari politik dagang sapi.
Prabowo dengan bangga mengatakan banyak belajar kepada SBY dan Jokowi. Tapi, Prabowo lupa belajar kepada mertuanya. (DAD)
*Penulis: Ketua Dewan Pakar PWI Pusat, dan pengajar ilmu komunikasi Unitomo, Surabaya
Editor: Nur Izzati Anwar (Izzat)
