Ketum dan Sekjen Partai Sebaiknya Tak Masuk Kabinet
KEMPALAN: Ada banyak ketum dan sekjen partai yang masuk di jajaran kabinet pemerintahan, di Indonesia hal ini biasa disebut sebagai bagi bagi kekuasaan, dan menjadi peristiwa lumrah
Dalam sistem demokrasi, pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif menjadi prinsip mendasar yang harus dijaga.
Namun, di Indonesia, fenomena ketua umum (ketum) atau sekretaris jenderal (sekjen) partai politik yang merangkap jabatan sebagai menteri dalam kabinet pemerintahan sering terjadi.
Hal ini menimbulkan dilema: apakah rangkap jabatan ini menguntungkan atau justru merugikan demokrasi?
Salah satu kekhawatiran utama dari fenomena ini adalah berkurangnya independensi kader partai yang berada di parlemen.
Legislator dari partai yang ketumnya berada di pemerintahan bisa merasa “ewuh pakewuh” atau segan untuk mengkritisi kebijakan eksekutif.
Sebab, bagaimana mungkin mereka bersikap oposisi terhadap kebijakan yang dirancang oleh pemimpin tertinggi partai mereka sendiri?
Secara teori, parlemen memiliki fungsi check and balance terhadap pemerintah. Anggota legislatif, termasuk dari partai pendukung pemerintah, memiliki peran untuk mengawasi kebijakan eksekutif agar tetap berpihak kepada rakyat.
Namun, ketika ketum atau sekjen partai masuk ke dalam kabinet, fungsi pengawasan ini bisa melemah.
Menurut Dr. Burhanuddin Muhtadi, pengamat politik dari Indikator Politik Indonesia, kondisi ini menciptakan “loyalitas ganda” di tubuh partai politik.
“Di satu sisi, anggota parlemen harus menjalankan tugasnya sebagai pengawas eksekutif. Di sisi lain, mereka terikat oleh kedisiplinan partai yang dipimpin oleh menteri dalam pemerintahan,” ujarnya.
Burhanuddin menambahkan bahwa dalam banyak kasus, anggota parlemen dari partai penguasa cenderung enggan bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah.
Mereka lebih memilih untuk mengamankan posisi politiknya agar tetap dalam barisan partai. “Situasi ini membuat oposisi melemah dan kritik dalam parlemen menjadi tidak efektif,” tambahnya.
Pendapat senada juga disampaikan oleh Prof. Siti Zuhro, peneliti senior di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Menurutnya, keberadaan ketum atau sekjen partai dalam kabinet sering kali lebih banyak berorientasi pada kepentingan politik ketimbang profesionalisme.
“Seorang menteri yang juga pemimpin partai akan lebih cenderung menggunakan jabatannya untuk memperkuat posisi politiknya dan partainya ketimbang fokus pada kerja-kerja pemerintahan,” tegasnya.
Prof. Siti juga mengingatkan bahwa dalam sistem presidensial yang sehat, idealnya partai politik mendukung pemerintahan tanpa harus mendapatkan jatah kursi menteri, apalagi jika yang duduk dalam kabinet adalah ketua umum atau sekjen.
“Jika partai memang mendukung pemerintahan, maka cukup memberikan dukungan melalui kebijakan tanpa harus mendapatkan kursi eksekutif,” katanya.
Keberadaan ketum atau sekjen partai dalam kabinet juga bisa memunculkan masalah dalam tata kelola pemerintahan. Menteri yang memiliki kepentingan politik sering kali lebih fokus pada agenda politik partainya ketimbang menjalankan tugasnya sebagai pejabat negara.
Ini bisa mengarah pada kebijakan yang tidak selalu berorientasi pada kepentingan publik, tetapi lebih kepada kepentingan kelompok atau partai tertentu.
Selain itu, dalam konteks koalisi pemerintahan, posisi ketum partai sebagai menteri bisa mempersulit presiden dalam mengambil keputusan yang bebas dari tekanan politik.
Presiden bisa terkekang oleh kepentingan partai-partai koalisi, yang pada akhirnya mengurangi efektivitas kepemimpinan nasional.
Dalam beberapa kasus, keberadaan tokoh partai dalam kabinet justru memicu konflik kepentingan yang lebih besar. Mereka bisa menggunakan posisi mereka untuk mengamankan sumber daya politik dan ekonomi bagi partainya, yang pada akhirnya menciptakan oligarki politik.
Pemisahan Peran
Untuk menjaga demokrasi yang sehat, perlu ada pembatasan yang jelas antara peran partai politik dan pemerintahan. Salah satu solusinya adalah menerapkan aturan yang melarang ketua umum atau sekjen partai menduduki jabatan menteri dalam kabinet.
Beberapa negara telah menerapkan aturan serupa untuk menjaga keseimbangan politik. Misalnya, di beberapa negara dengan sistem parlementer, partai politik lebih cenderung menempatkan tokoh profesional di pemerintahan daripada figur partai yang dominan.
Ini bertujuan agar kebijakan yang diambil lebih berbasis pada kepentingan rakyat, bukan sekadar kepentingan partai.
Jika Indonesia ingin memperkuat demokrasi dan memperbaiki sistem pemerintahan, maka reformasi politik semacam ini perlu dipertimbangkan.
Partai politik seharusnya tetap menjadi pilar demokrasi tanpa harus menguasai eksekutif secara langsung melalui ketum atau sekjen mereka.
Rangkap jabatan antara ketua umum atau sekjen partai dan jabatan menteri dalam kabinet membawa lebih banyak dampak negatif dibandingkan manfaat.
Dengan membatasi peran mereka dalam pemerintahan, sistem demokrasi bisa berjalan lebih efektif, parlemen bisa menjalankan fungsi pengawasannya dengan lebih baik, dan kebijakan pemerintah bisa lebih fokus pada kepentingan publik, bukan sekadar kepentingan partai politik.
Apakah sebaiknya ketum dan sekjen partai tetap boleh masuk kabinet, atau sudah saatnya ada pemisahan yang lebih tegas, bagaimana menurut anda?
*
Oleh: Bambang Eko M
