Jalan Tasawuf KH. Syaiful Ulum Nawawi (6)
KEMPALAN: Pada tulisan sebelum ini dibahas tentang ‘kisah seorang maling yang tewas digebuki massa’, yang lantas dihubungkan dengan kehidupan di dunia, dimana tidak ada yang benar-benar “putih” dan yang sungguh-sungguh “hitam”.
Dikatakan KH. Syaiful Ulum Nawawi bahwa yang putih itu senantiasa ada titik hitam — banyak atau sedikit. Sementara yang hitam tak ada yang benar-benar hitam legam. Selalu ada titik-titik putih yang berbaur dengan warna hitam.
Nah, itulah gambaran watak dan perilaku manusia. Yang dominan warna putih, bisa saja kelak berubah mayoritas hitam. Sebaliknya yang hitam ‘bulak’ suatu saat akan berubah jadi putih krem.
Lho, kenapa kok putih krem ? “Ya, karena yang benar-benar putih tidak ada. Kalau kita melihat tembok setelah sekian lama dicat, perhatikan pasti ada bagian-bagian yang ‘mangkak’. Atau ada kita temukan noda-noda hitam, misalnya –maaf– kena ‘kotoran’ cicak,” tutur Pak Kyai disusul senyumnya.
Lantas beliau mencoba bertanya tentang massa penggebuk maling itu : “Pernahkah mereka tidak mencuri?”
Saya jawab, “Ya pernah lah Pak Kyai…”
“Kok Pak Amang tahu?”
“Setidaknya pernah nyolong buah mangga di pohon tetangga seperti saya kecil dulu ha-ha-ha. Atau waktu saya sekolah di STM, ada teman yang njajan di kantin — makan ote-ote dua, bilangnya ke Pak Man (pengelola kantin) cuma satu…”
(Pak Kyai tertawa).
Begitulah asumsi saya tentang kisah para penggebuk yang menewaskan maling sepeda.
KH. Syaiful Ulum Nawawi melanjutkan:
Tasawuf itu hakikatnya ‘mbeningno ati’, menjernihkan hati.
Oleh sebab itu, Sufi tidak akan menempatkan persoalan pada domain ‘salah’ atau ‘benar’, ‘hitam’ atau ‘putih’.
Hakikatnya, orang Sufi tidak memandang sebagaimana hal tersebut di atas. Namun, melihat persoalan dari perspektif yang “tak berwarna.”
Kalau yang menyangkut ‘benar atau salah’, “putih atau hitam”, itu sudah justifikasi “kamu melanggar hukum !” Dan itu wilayah “rupa”.
Jelas, itu bukan wilayah Sufi. Itu bukan jalan tasawuf. Tasawuf itu, seperti yang saya katakan tadi : mbeningno ati.
Hukum itu memang panglima. Hukum positif yang dibuat negara. Dan itu tidak salah, berdasarkan azas-azas hukum sebagaimana umumnya yang berlaku di sebuah negara. Hukum positif memberlakukan, “Kamu kena sanksi, kena hukum, jika kamu melanggar aturan, hukum, dan undang-undang.”
Namun, orang Sufi tidak begitu. Tasawuf itu, sekali lagi : mbeningno ati .
Lanjut Pak Kyai, mungkin gambaran ‘hitam & putih’ dengan ‘bening’ begini :
Kita tidak bisa melihat benar-benar di dalam gelas yang berisi tinta hitam, ada apanya. Bisa saja di dalamnya terselip beling.
Kita pun tidak bisa melihat di dalam gelas sungguh-sungguh berisi cuma susu. Tapi, siapa tahu dalam susu itu ada pecahan kaca.
Namun, kita bisa melihat hitamnya tinta dan putihnya susu dari gelas bening yang menampung dua zat tersebut.
Nah, yang kita minum dari botol air mineral, misalnya — itu kan bening. Atau dari air sumur yang kita masak, warnanya bukan putih, tapi jernih.
Dan siapapun tahu, manfaat air yang luar biasa ini bagi kehidupan manusia. Apalagi yang jernih yang kita konsumsi setiap hari.
Perspektif di atas, masuk wilayah “rasa”. Wilayahnya tasawuf.
Dengan hati yang bening, kita diharapkan bisa melihat setiap persoalan dengan jernih. Tidak grusa-grusu. (Amang Mawardi – Bersambung).
