Adili Jokowi
Oleh: Dhimam Abror Djuraid
KEMPALAN: Tuntutan ‘’Adili Jokowi’’ bertebaran melalui graffiti dan mural yang bermunculan di beberapa kota. Awalnya muncul di Solo, Jakarta, dan Medan. Lalu muncul di banyak kota lain seperti Jogjakarta, Surabaya, Tangerang, dan banyak kota lainnya.
Di Surabaya graffiti ‘’Adili Jokowi’’ ditemukan di 24 titik di berbagai kecamatan. Satpol PP sampai harus melakukan orperasi pembersihan dengan mengecat graffiti itu supaya tidak terbaca oleh publik. Pola operasi semacam ini sudah terjadi beberapa kali.
Waktu Jokowi masih berkuasa pada 2021 muncul berbagai mural di beberapa daerah yang mengritik kebijakannya. Mural bergambar wajah mirip Jokowi dengan tulisan 404: Not Found dilukis seseorang di kolong tol di Tangerang. Di kota lain muncul mural protes “Tuhan Aku Lapar”, dan “Dipaksa Sehat di Negeri yang Sakit.”
Reaksi pemerintah dengan menghapus mural itu, mengundang reaksi. Pemerintah tidak melihat seni yang juga berfungsi sebagai kritik. Refleksi seniman melalui karya dibungkam, karena ada upaya memonopoli pemahaman dan kebenaran terhadap kondisi yang sedang terjadi.
Pemerintah tidak melihat seni sebagai refleksi keadaan di masyarakat. Mereka hanya melihatnya sebagai esensi politis, yang dianggap mengganggu stabilitas ekonomi atau stabilitas politik. Karena itu, pendekatan yang diambil pemerintah adalah menempatkan karya seni itu sebagai produk yang melanggar aturan terhadap fasilitas umum.
Mural sebenarnya bukan barang baru di Indonesia. Di era perjuangan kemerdekaan muncul mural dan graffiti yang sangat populer ‘’Merdeka Ataoe Mati’’. Ketika itu sarana komunikasi publik melalui media sangat terbatas. Karena itu mural dan grafiti menjadi sarana efektif untuk mengkomunikasikan pesan perjuangan melalui jargon yang bergelora dan penuh semangat.
Mural dan grafiti didefinisikan secara sederhana sebagai lukisan pada dinding atau permukaan luas. Mural menonjolkan gambar, sedang grafiti mengedepankan tulisan. Apa yang dilukiskan tentu beragam, mulai dari kritik sosial, politik, kampanye hidup sehat, sosialisasi Keluarga Berencana (KB) hingga obyek yang memang hanya ingin menampilkan karya seni tanpa tendensi.
Gerakan mural dan graffiti ‘’Adili Jokowi’’ kemudian berlanjut dengan munculnya unjuk rasa di beberapa daerah. Di Jogja muncul unjuk rasa Adili Jokowi. Di Solo, muncul juga unjuk rasa serupa. Di kota yang nota bene menjadi home base Jokowi justru gerakan itu paling gencar.
Jokowi, seperti biasanya, menanggapinya dengan santai. Ia malah menuding gerakan ini bawaan dari kelompok yang kalah di pilpres 2024. Kelompok ini belum bisa move on dari kekalahan di pilpres.
Prabowo Subianto pasang badan dengan terang-terangan mengatakan ada yang ingin memisahkannya dari Jokowi. Prabowo pamer terbuka kedekatannya dengan Jokowi dengan mengunjunginya beberapa kali ke Solo. Prabowo juga tidak malu-malu mengatakan ia berguru politik kepada Jokowi.
Dalam sejarah Indonesia modern tidak ada presiden yang punya hubungan baik dengan presiden sebelumnya seperti Prabowo dengan Jokowi. Demikian pula, tidak ada dalam sejarah Indonesia seorang presiden yang sudah habis masa jabatannya melakukan cawe-cawe untuk memenangkan capres dukungannya seperti yang dilakukan Jokowi terhadap Prabowo.
Presiden Sukarno tidak mempunyai hubungan baik dengan Soeharto. Bahkan Sukarno meninggal dalam tahanan rumah akibat perintah Soeharto. Pada gilirannya Soeharto jatuh oleh gerakan reformasi dan digantikan oleh B.J Habibie. Hubungan Soeharto dan Habibie pecah meskipun Habibie mengakui Pak Harto sebagai mentor politiknya.
Habibie dengan Gus Dur tidak punya hubungan baik sebagai presiden dan mantan presiden. Megawati yang menggantikan Gus Dur juga tidak berhubungan mulus. Megawati dengan SBY malah berseteru jauh melewati masa jabatan SBY selama 10 tahun. SBY dengan Jokowi pun tidak punya hubungan spesial, malah lebih terkesan oposisional.
Gerakan untuk mengadili mantan presiden terjadi saat Pak Harto menggantikan Bung Karno melalui silent coup, kudeta senyap. Demonstrasi mahasiswa bermunculan menuntut Bung Karno diadili karena dosa-dosa politiknya.
Pengadilan terbuka terhadap Bung Karno tidak pernah dilakukan. Soeharto tahu persis bahwa Bung Karno masih punya banyak pengikut setia. Mengadili Bung Karno secara terbuka akan membawa risiko politik yang tidak perlu. Soeharto lebih memilih mengasingkan Bung Karno dalam tahanan rumah di Wisma Yasso sampai meninggal.
Ketika Soeharto jatuh oleh gerakan reformasi muncul banyak tuntutan untuk mengadilinya. Sama seperti kasus Sukarno, mengadili Soeharto secara terbuka akan membawa risiko politik yang tidak perlu. Soeharto pun dibiarkan pensiun dengan tenang di rumahnya di Jl Cendana.
Prabowo juga tahu bahwa Jokowi masih punya sisa kekuasaan yang cukup kuat. Prabowo harus berhitung dengan cermat karena dia sendiri sekarang dalam posisi dilematis.
Prabowo sedang melakukan gambling besar dengan melakukan efisiensi besar-besaran yang berakibat pada pemutusan hubungan kerja dan penghentian berbagai program. Efisiensi ini menimbulkan keresahan seperti api dalam sekam yang setiap saat bisa meledak.
Di sisi lain program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi andalan Prabowo masih belum menemukan pola pembiayaan yang tepat, sehingga harus potong sana potong sini.
Banyak ironi yang terjadi. Di satu sisi murid sekolah diberi makan gratis, tapi ketika pulang ke rumah ia dapati orang tuanya menjadi pengangguran setelah dipecat dari pekerjaannya karena efisiensi.
Prabowo berada dalam tekanan publik akibat kebijakan efisiensi yang tidak populer. Efisiensi harus dilakukan karena beban utang negara yang berat akibat pengelolaan keuangan yang serampangan di masa lalu.
Di satu sisi Prabowo melakukan efisiensi ketat, tapi di sisi lain ia menghamburkan anggaran dengan membentuk kabinet gemoy yang kegemukan. Prabowo terus melakukan pemborosan dengan mengangkat staf khusus, seperti Deddy Corbuzier yang tidak jelas manfaatnya.
Gerakan ‘’Adili Jokowi’’ dijawab Prabowo, ‘’Jangan pisahkan saya dengan Jokowi’’. Tidak mustahil akan muncul gerakan, ‘’Adili Jokowi dan Prabowo’’. (DAD)
Penulis: Ketua Dewan Pakar PWI Pusat, pengajar ilmu komunikasi Unitomo, Surabaya
Editor: Izzat
