Oligarki
KEMPALAN: Dalam perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara, Indonesia menghadapi tantangan serius yang tak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam, salah satunya adalah dominasi oligarki.
Oligarki, yang secara sederhana dapat diartikan sebagai kekuasaan yang terkonsentrasi di tangan segelintir orang, kini menjadi fenomena yang semakin kasat mata dalam berbagai aspek kehidupan politik, ekonomi, dan sosial di Indonesia.
Kehadiran oligarki ini menimbulkan kekhawatiran akan masa depan demokrasi yang sehat dan berkeadilan.
Secara historis, oligarki bukanlah hal baru dalam politik Indonesia. Masa Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto memperlihatkan bagaimana kekuasaan dan ekonomi terpusat di tangan keluarga presiden, kroni-kroni politik, dan pengusaha besar yang memiliki akses langsung ke pusat kekuasaan.
Reformasi 1998 seharusnya menjadi titik balik untuk memutus mata rantai oligarki tersebut, tetapi kenyataannya, fenomena ini justru mengalami transformasi, bukan eliminasi.
Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie pakar hukum tata negara, oligarki di Indonesia berkembang karena lemahnya institusi demokrasi yang seharusnya menjadi penyeimbang kekuasaan. “Demokrasi kita masih prosedural, bukan substantif.
Selama demokrasi hanya dijadikan alat untuk meraih kekuasaan tanpa memperhatikan nilai-nilai keadilan sosial, oligarki akan terus bercokol,” ujar Jimly.
Ia menekankan bahwa oligarki tak hanya hadir dalam bentuk penguasaan ekonomi oleh elite tertentu, tetapi juga dalam politik melalui dinasti politik dan konglomerasi partai.
Dominasi oligarki memiliki dampak serius terhadap kehidupan berbangsa. Di ranah politik, oligarki menghambat regenerasi kepemimpinan yang sehat.
Pemimpin yang muncul bukanlah hasil dari proses meritokrasi atau kemampuan individu, melainkan karena kedekatan dengan elite kekuasaan.
Fenomena ini bisa dilihat dari maraknya dinasti politik di berbagai daerah, di mana jabatan publik diwariskan secara turun-temurun.
Di bidang ekonomi, oligarki memperparah ketimpangan. Sebagian besar kekayaan nasional terkonsentrasi di tangan segelintir individu atau keluarga, sementara mayoritas rakyat masih berjuang dalam kemiskinan.
Thomas Piketty ekonom dunia, dalam teorinya tentang ketimpangan global, menyebutkan bahwa jika kekayaan terus bertumpuk pada elite tertentu tanpa distribusi yang adil, maka akan menciptakan ketegangan sosial yang berpotensi merusak tatanan negara.
Indonesia bukan pengecualian. Menurut laporan Oxfam tahun 2023, empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan setara dengan 100 juta penduduk termiskin. Ini menunjukkan betapa kuatnya cengkeraman oligarki dalam struktur ekonomi bangsa.
Dalam konteks politik, oligarki berpotensi merusak fondasi demokrasi. Demokrasi seharusnya menjamin adanya partisipasi rakyat secara luas dalam proses pengambilan keputusan.
Namun, ketika kekuasaan dan sumber daya terkonsentrasi di tangan segelintir orang, suara rakyat sering kali hanya menjadi formalitas dalam pemilu.
Proses legislasi pun tidak lagi mencerminkan aspirasi masyarakat, melainkan kepentingan para pemilik modal yang membiayai kampanye politik.
Dr. Refly Harun pakar hukum tata negara dan pengamat politik, menegaskan bahwa oligarki adalah ancaman nyata bagi demokrasi Indonesia. “Ketika pemodal besar mendanai politikus, maka kebijakan yang dihasilkan akan lebih berpihak pada kepentingan mereka, bukan rakyat. Inilah yang menyebabkan banyak kebijakan publik yang kontraproduktif dengan kepentingan masyarakat luas,” jelas Refly.
Ia menambahkan bahwa fenomena ini terlihat jelas dalam berbagai kebijakan kontroversial, seperti UU Cipta Kerja yang dianggap lebih menguntungkan pengusaha besar dibandingkan pekerja.
Menghadapi oligarki bukanlah perkara mudah, tetapi bukan pula sesuatu yang mustahil. Kuncinya terletak pada penguatan institusi demokrasi dan partisipasi masyarakat yang aktif.
Keterbukaan informasi, transparansi dalam pengelolaan anggaran, serta independensi lembaga-lembaga pengawas seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah langkah penting untuk membendung dominasi oligarki.
Namun, tantangan terbesar adalah bagaimana meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga demokrasi dari cengkeraman oligarki.
Prof. Bivitri Susanti ahli hukum tata negara dari STH Indonesia Jentera, menekankan pentingnya pendidikan politik bagi masyarakat.
“Rakyat harus diberdayakan untuk memahami bahwa suara mereka memiliki kekuatan. Selama rakyat masih terjebak dalam politik uang atau sekadar memilih karena popularitas, oligarki akan terus bertahan,” kata Bivitri.
Selain itu, reformasi partai politik juga menjadi kunci. Partai politik harus kembali pada fungsinya sebagai alat perjuangan rakyat, bukan sekadar kendaraan untuk meraih kekuasaan.
Transparansi dalam pendanaan partai dan mekanisme pencalonan yang lebih terbuka dapat meminimalisir dominasi elite.
Indonesia masih memiliki peluang besar untuk keluar dari cengkeraman oligarki. Reformasi hukum dan tata negara harus terus didorong agar mampu menciptakan sistem politik yang lebih adil dan inklusif.
Salah satu langkah konkret adalah memperkuat aturan tentang pembatasan masa jabatan dan pengawasan ketat terhadap potensi konflik kepentingan antara pejabat publik dan pengusaha.
Namun, yang lebih penting adalah membangun budaya politik yang sehat. Demokrasi bukan sekadar soal pemilu, tetapi bagaimana rakyat terlibat aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan.
Partisipasi ini harus diiringi dengan kesadaran kritis dan kemampuan untuk menilai kebijakan berdasarkan kepentingan umum, bukan sekadar kepentingan sesaat.
Di tengah tantangan ini, harapan tetap ada. Sejarah menunjukkan bahwa perubahan besar sering kali datang dari dorongan rakyat yang sadar akan hak dan kewajibannya.
Oligarki mungkin kuat, tetapi suara rakyat yang bersatu jauh lebih kuat. Masa depan Indonesia bergantung pada bagaimana kita bersama-sama menjaga demokrasi dari dominasi segelintir elite yang ingin menguasai negeri ini demi kepentingan mereka sendiri.
Dengan semangat reformasi yang terus menyala, Indonesia bisa menjadi contoh bagi negara lain bahwa demokrasi sejati mampu mengalahkan kekuatan oligarki, asalkan ada kemauan politik yang kuat dan partisipasi masyarakat yang aktif.
*
Oleh Bambang Eko Mei
