Diplomasi Nasgor
Oleh: Dhimam Abror Djuraid*
KEMPALAN: Ibarat permainan lego, Prabowo Subianto sekarang membutuhkan satu keping potongan balok untuk menyempurnakan bangunan pemerintahannya. Ibarat main jigsaw puzzle, permainan teka-teki gambar, Prabowo tinggal mencari satu potongan gambar lagi untuk menyempurnakan gambar pemerintahannya.
Sepotong gambar puzzle itu, sekeping balok bangunan itu adalah PDIP (Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia Perjuangan) yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri. Tanpa kepingan puzzle dari PDIP itu bangunan pemerintahan Prabowo Subianto masih bolong. Tanpa potongan puzzle PDIP itu gambar pemerintahan Prabowo Subianto masih timpang.
Prabowo berusaha keras mendapatkan kepingan lego itu. Prabowo terobsesi untuk segera menyempurnakan gambar pemerintahannya dengan mendapatkan potongan puzzle itu.
Ibarat pucuk dicita ulampun tiba. Obsesi Prabowo makin dekat menjadi kenyataan. Megawati Soekarnoputri memberi isyarat sayup-sayup bahwa partainya akan mendukung pemerintahan Prabowo Subianto, meskipun tidak menjadi bagian dalam kabinet Merah Putihnya Prabowo.
Isyarat sayup-sayup itu kemudian berkembang gambar yang lebih terang. Kamis kemarin (23/1) Mega merayakan ulang tahun ke-78 di Istana Batutulis. Pada kesempatan itu Mega mengeluarkan executive order, perintah harian, bahwa semua kader PDIP harus mendukung pemerintahan Prabowo-Gibran.
Perintah Mega ini menjadi kode keras bahwa Mega dan Prabowo sudah ‘’balikan’’. Sudah terjadi CLBK politik antar keduanya. Dalam bahasa anak-anak milenial CLBK diartikan sebagai cinta lama bersemi kembali. Ada cinta politik di antara Mega dan Prabowo yang pernah putus dan sekarang menyambung lagi.
Dalam bahasa emak-emak CLBK adalah cucian lama belum kering. Ada cuaca politik yang membuat pekerjaan pasangan itu terhambat. Sekarang, cuaca politik sudah makin cerah, dan cucian lama yang belum kering itu bisa cepat dikeringkan.
Ungkapan Inggris menyebutkan ‘’so close no matter how far’’, terasa sangat dekat meskipun jarak sangat jauh. Mega dan Prabowo pernah menjadi pasangan dalam pemilihan presiden 2009. Kesepakatan itu ditasbihkan dalam perjanjian di Istana Batutulis.
Duet Mega-Prabowo kalah dari petahana SBY-Budiono. Tapi Mega memberi harapan kepada Prabowo untuk mengusungnya pada pemilihan presiden 2014. Janji itu dikukuhkan dalam Perjanjian Batutulis yang disepakati di Istana Batutulis.
Tapi pada pilpres 2014 Megawati berpaling ke lain hati. Ia jatuh cinta kepada Jokowi dan meninggalkan Prabowo yang merana. Setengah putus asa Prabowo menggandeng Hatta Rajasa dan kalah dari Jokowi-Jusuf Kalla yang dijagokan Mega.
Lima tahun berikutnya Prabowo tidak menyerah. Ia maju lagi melawan Jokowi dan kalah lagi. Sadari tidak bisa mengalahkan Jokowi, Prabowo memilih bergabung dalam kabinet Jokowi.
Saatnya pun tiba ketika Prabowo mendapat endorsmen dari Jokowi dan memasangkannya dengan anak mbarep Gibran Rakabuming Raka. Pada saat bersamaan hubungan Megawati retak dengan Jokowi karena Mega memilih pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Mega dan Jokowi terlibat showdown dalam pilpres 2024. Mega kalah telak oleh Jokowi. Prabowo-Gibran menang mutlak jauh meninggalkan pasangan PDIP. Jokowi memimpin orkestrasi untuk menyusun gambar Indonesia tanpa PDIP.
Tapi Prabowo punya ide lain. Hubungan personalnya dengan Mega membuatnya rindu untuk ber-CLBK. Obsesi Prabowo untuk membuat bangunan politik Indonesia tanpa oposisi membuatnya tidak punya pilihan lain selain ber-CLBK dengan Mega.
Pada saat bersamaan Prabowo harus memainkan keseimbangan yang rumit dengan Jokowi. Ibarat naik di atas tali tambang, Prabowo harus pintar menjaga keseimbangan. Di satu sisi dia menjaga keseimbangan dengan Jokowi yang ingin berperan sebagai patron. Di sisi lain Prabowo membutuhkan Mega untuk menjaga keseimbangan pemerintahannya.
Mega dan Jokowi sudah menjadi minyak dan air yang tidak bisa dikumpulkan menjadi satu. Prabowo sedang mencoba peruntungan politik untuk menjaga hubungan dengan keduanya.
Mega sudah menegaskan tidak akan membarter dukungannya dengan meminta konsesi kursi kabinet kepada Prabowo. Tapi, dalam politik tidak ada makan siang gratis. Meskipun Prabowo punya program makan siang gratis, tapi konsesi politik yang didapatnya dari PDIP tidak mungkin dibuat gratis. Selalu ada ‘’tit for tat’’, ‘’syai’un li syai’in’’, sesuatu harus dibayar dengan sesuatu. Dukungan politik Mega terhadap Prabowo harus diberi kompensasi.
Mega membutuhkan perlindungan politik menjelang kongres PDIP tahun ini. Ia menengarai ada yang mau merongrong kepemimpinannya. Ada beberapa kader PDIP yang lari menyeberang kepada Jokowi, lalu menyuarakan tuntutan agar Mega melepas jabatan ketua umum PDIP.
Mega mencium tanda bahaya. Ia butuh perlindungan dari ancaman itu. Pilihan paling rasional adalah merapat kepada Prabowo untuk mendapatkan perlindungan politik.
Mega juga harus menyelamatkan Hasto Kristiyanto, sekjen PDIP, dari serangan kriminalisasi kasus Harun Masiku. Berbagai fakta yang berkembang menunjukkan bahwa Hasto terlibat dalam kasus Harun Masiku. Meski demikian, timing KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) ketika menjadikan Hasto sebagai tersangka memunculkan kecurigaan adanya upaya balas dendam politik.
Hasto melawan dan mengancam. Ia akan meledakkan ‘’political bomshell’’, bom politik, dengan membongkar skandal Jokowi, keluarga, dan kroninya. Ancaman Hasto dirancang dengan dramatis sehingga membuat khawatir banyak pihak.
Prabowo khawatir bom politik ini akan menimbulkan kegaduhan yang menganggu stabilitas pemerintahannya. Belum lagi kalau Hasto gelap mata dan membongkar juga skandal-skandal yang melibatkan Prabowo dan kroninya.
Pilihan terbaik bagi Prabowo dan Mega adalah ber-CLBK. Tinggal tunggu tanggal dan hari baik untuk mempertemukan keduanya. Mega punya kebiasaan menjamu tamunya dengan masakan nasgor, nasi goreng. Diplomasi nasgor ini menjadi ciri khas Mega yang dipakainya dalam banyak kesempatan.
Pertemuan Mega-Prabowo dengan sajian nasgor tinggal tunggu waktu. Ibarat pernikahan, pertunangan sudah dilakukan, tinggal menunggu ijab kabul dan resepsi. (DAD)
Penulis: Ketua Dewan Pakar PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat, pengajar ilmu komunikasi Unitomo, Surabaya
Editor: Nur Izzati Anwar (Izzat)
