Goblok

waktu baca 5 menit
Ilustrasi es teh dengan tulisan goblok

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

SURABAYA – KEMPALAN: Antara humor dan ‘’insult’’, umpatan, sering beda tipis. Sebelas dua belas, kata anak milenial. Ada humor yang gelap, atau dark humor, ada pula humor sarkasme yang menggunakan ungkapan kasar untuk mengejek atau menyindir.

Kalau seseorang mengatakan Anda goblok di depan ribuan orang. Kemudian ia tertawa terbahak-bahak. Sementara Anda berdiri ‘’dumbstruck’’, tertegun, tercenung, berdiri mematung, tidak bisa bicara. Apakah itu humor? Apakah itu hinaan?

Miftah Maulana Habiburaahman, 43 tahun, lebih dikenal sebagai Gus Miftah, menjadi sorotan nasional—bahkan internasional—gegara tidak bisa membedakan humor dengan ‘’insult’’. Miftah menyebut Sunhaji sang pedagang es teh sebagai ‘’goblok’’, dan hal itu jelas sulit dikategorikan sebagai humor.

Meskpun ketika itu banyak orang yang ikut tertawa terkekeh-kekeh. Meskipun ketika itu Miftah tertawa puas. Tapi publik menganggap umpatan itu sudah keterlaluan. Yang terjadi kemudian hujatan nasional terhadap Miftah. Sebaliknya simpati dan donasi nasional mengalir kepada Sunhaji.

Antara fame (kesohoran) dan disgrace (aib) hanya terpisah tipis. Miftah mendapatkan kesohoran dalam waktu singkat. Tetapi dalam waktu singkat pula ia mengalami disgrace, kehilangan resputasi karena tindakan yang tercela.

Ia punya jabatan mentereng sebagai utusan khusus presiden bidang kerukunan beragama. Jabatan setingkat menteri. Belum pernah ada jabatan semacam itu dalam sejarah pemerintahan di Indonesia. Presiden Prabowo—yang suka bagi-bagi jabatan—memberikan jabatan itu sebagai ganjaran ‘’reward’’ kepada Miftah yang dianggap berjasa dalam kemenangan Prabowo.

Sebelum menjadi utusan khusus presiden, Miftah sudah menjadi utusan khusus selama kampanye. Tugasnya keliling ke seluruh pesantren untuk menemui para kiai sambil berkampanye supaya para kiai memilih Prabowo.

Dalam proses itu Miftah juga bagi-bagi duit. Hal itu tertangkap kamera saat Miftah berkunjung ke Pamekasan. Terlihat dia membagi-bagikan uang kepada kerumunan orang. Ketika itu ia diduga melakukan money politics untuk mencari dukungan buat Prabowo. Miftah membantah. Kabar lain menyebutkan Miftah juga suka membagi-bagikan ‘’bisyaroh’’ kepada para kiai dalam jumlah besar. Kabar ini juga dibantah.

Miftah menjadi terkenal secara meteorik karena gaya dakwahnya yang unik. Ia suka berdakwah di tempat hiburan, seperti diskotik, karaoke, klub malam. Gaya pakaiannya khas. Kacamata hitam dan blangkon Jawa menjadi trade mark-nya.

Di puncak popularitasnya ia tersandung dan jatuh menyungsep. Publik beramai-ramai menghujatnya. Rekam jejaknya dibongkar habis oleh netizen. Ada video yang mempertontonkan sikap kasar Miftah terhadap istrinya. Terlihat dia mendorong dan menjambak jilbab istrinya di atas panggung.

Masa lalunya juga dibongkar. Ia pernah menjadi marbot masjid. Kuliahnya mangkrak karena tidak punya biaya. Ia kemudian ngawula kesana kemari, termasuk kepada Amien Rais.

Nasabnya digugat. Dari ia mana dia mendapat gelar gus. Ketua PBNU Fachrur Rozi memasang badan dengan menyebut Miftah sebagai keturunan ulama besar Kiai Hasan Besari dari Tegalsari, Ponorogo. Alih-alih dipercaya malah dibantah. Keluarga besar keturunan Kiai Hasan Besari di Tegalsari mengaku tidak mengenal nama Miftah dalam silsilah keluarga besar Kiai Hasan Besari.

Kini publik menggugat Miftah supaya dipecat dari jabatannya. Ratusan ribu orang menandatangani petisi minta supaya Prabowo memecatnya. Partai Gerindra mendesak supaya Miftah dievaluasi. Prabowo bertindak cepat dengan memerintahkan Mayor Teddy menegur Miftah.

Kisah semacam Miftah sudah sering terjadi. Salah ucap dan salah tindak bisa menyebabkan pendakwah jatuh tersungkur. Beberapa waktu yang lalu pendadwah Muwafiq dari Jogja dihujat publik karena menyebut Nabi Muhammad di waktu kecil ‘’rembes’’, wajahnya kotor karena jarang cuci muka.

Ungkapan itu dimaksudkan sebagai humor. Tapi mengejek dan mentertawakan Nabi Muhammad tentu keterlaluan. Muwafiq dirujak oleh netizen. Ia berkeliling ke banyak ulama untuk meminta nasihat sekaligus membersihkan nama. Kasusnya kemudian meredup. Nama Muwafiq ikut meredup.

Dulu di awal 2000-an Abdullah Gymnastiar alias A’a Gym menjadi superstar pendakwah Indonesia. Ia menjadi idola ibu-ibu seluruh Indonesia. Meskipun ia melafalkan ‘’Allah’’ dengan tidak fasih, tetapi ia dicintai dan dikagumi.

Sampailah pada 2006 ketika A’a Gym memutuskan menikah lagi. Hari itu menjadi ‘’Hari Patah Hati Nasional’’ bagi ibu-ibu pengagum. Tak pakai menunggu lama. Serangan bergelombang datang dari seantero negeri. Pesantren Darut Tauhid yang biasanya setiap hari dikunjungi ribuan orang mendadak sepi seperti padang pasir. Pengajian A’a Gym yang biasanya berlimpah jamaah berubah menjadi bergelintir saja. A’a Gym diasingkan dan ditinggalkan.

Sekarang dia sudah direhabilitasi. Tetapi tidak bisa kembali kepada kesohoran awal yang pernah dia nikmati. Sudah banyak saingan. Sudah banyak ustadz Youtube yang populer dengan follower jutaan.

Di Jawa Timur juga terjadi hal yang mirip. Dialami oleh K.H Agoes Ali Masyhuri alias Gus Ali. Dia kiai sekaligus politisi yang cerdik. Anak dan menantunya menjadi bupati di Sidoarjo dan Gresik. Satu anaknya menjadi anggota DPR RI dari PKB (Partai Kebangkitan Bangsa).

Gus Ali dan pesantren Bumi Sholawat menjadi episentrum politik di Sidoarjo. Ia mengalahkan pengaruh politik Saiful Ilah bupati dua periode di Sidoarjo. Banyak politisi yang merapat ke Gus Ali untuk mendapatkan endorsement politik.

Menjelang pilpres 2024 Gus Ali tersandung kasus anaknya yang menjadi tersangka KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Tetiba saja Gus Ali mengadakan acara menadeklarasi dukungan kepada Capres Prabowo. Semua anaknya tampil di panggung dengan mengacungkan dua jari, simbol dukungan kepada Prabowo.

Mungkin tujuannya mau mencari perlindungan politik. Tapi gagal. Muchdlor Ali, anak Gus Ali tetap ditangkap oleh KPK dan diadili. Pamor politik Gus Ali meredup. Pada pilkada kali ini calon bupati yang diendorse untuk menggantikan anaknya pun kalah.

Malcolm Gladwell dalam ‘’The Tipping Point’’ (2000) mengungkapkan bagaimana hal-hal kecil bisa membawa akibat besar pada seseorang maupun pada sebuah institusi besar seperti negara. Bagi Miftah, ucapan yang dianggapnya sebagai humor itu bisa membuatnya terjatuh dari jabatan dan kemasyhurannya.

Hal sebaliknya terjadi pada Sunhaji sang pedanag es teh. Umpatan ‘’goblok’’ menjadi tipping point yang mengubah hidupnya. Puluhan juta donasi mengalir kepadanya. Ia akan berangkat umrah pada Ramadhan mendatang. Thanks to Miftah.

End Note: Kita harus memberi apresiasi kepada Miftah yang mengundurkan diri secara sukarela. Belum pernah dalam sejarah pemerintahan Indonesia ada menteri/setingkat menteri yang mengundurkan diri. (Dhimam Abror)

Editor: Nur Izzati Anwar (Izzat)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *