Penghormatan Terakhir untuk Sang Pembimbing: Obituari Gitadi Tegas Supramudyo
Oleh: Reza Hikam (Editor Kempalan)
KEMPALAN – Sebagai mahasiswa S1, bisa dibilang saya bukan yang paling rajin, untung saja saya dapat pembimbing yang berdedikasi di dunia pendidikan juga seorang pakar kebijakan publik yang berpengalaman.
Mahasiswa jurusan Administrasi Publik (AP) Universitas Airlangga sezaman saya pasti kenal Dr. Gitadi Tegas Supramudyo atau biasa disapa Pak Git. Beliau ahli kebijakan publik dengan fokus penanggulangan bencana.
Di kelas, Beliau pengajar yang asik, walaupun ada yang menganggap mendiang sedikit ‘old-school‘ tapi apa yang disampaikan betul-betul bermanfaat bagi mereka yang ingin menjadi analis kebijakan publik.
Pendekatan yang Pak Git pakai sangat realistis, saya masih ingat dalam kelas Beliau menyampaikan, “Pejabat publik kalau kena kasus biasanya hanya ada dua, kalau tidak korupsi ya jual-beli jabatan.” Pandangan itu sangat menggambarkan keadaan Indonesia masa kini, apalagi ketika melihat berita pasca Operasi Tangkap Tangan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Beliau yang “memaksa” saya untuk fokus pada implementasi kebijakan dan menekankan pentingnya komponen-komponen implementasi kebijakan seperti yang dicanangkan oleh George C. Edwards III. Kajian yang mungkin banyak sarjana baru AP menganggapnya sudah out-of-date tapi bagi saya masih relevan hingga sekarang.
Di salah satu kelas, Beliau menjelaskan tentang Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance) yang mengacu pada Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) yang kebetulan ayah saya bekerja di sana. Pak Git selalu berusaha menyesuaikan teori kebijakan publik ala Barat dengan peristiwa yang ada di Indonesia.
Beliau pernah menuturkan bahwa dasar dari kebijakan publik adalah aturan/regulasi, maka karya ilmiah dari jurusan AP harus dimulai dengan mencari aturan atau landasan hukum, baru melihat kesesuaian antara regulasi dengan penerapannya di lapangan.
Ketika membimbing, mendiang pernah berkelakar, “Karena sekarang semua sudah online, mahasiswa cuma minta persetujuan tapi gak pernah bimbingan tatap muka.” Maklum, Pak Git adalah salah satu dosen senior di prodi AP Unair.
Sebagai mahasiswa yang agak ndablek karena molor kuliah, ketika di kantin, pernah saya diajak ngopi, sembari bilang, “Kapan mau dituntaskan skripsinya? Saya sungkan sama ayahmu kalau nggak selesai-selesai.” (rez)