Dewa dan Dewi, Menguak Masa Remaja Saya dan Digitalisasi Puisi Puisi Hamid Nabhan

waktu baca 5 menit
Ilustrasi foto (*)

KEMPALAN: Dulu saat saya awal-awal menulis puisi, saya dokumentasikan puisi saya tersebut pada ‘buku skrip’ tebal yang ber-hard cover. Puisi-puisi ini saya campur dengan catatan-catatan harian, sehingga pada akhirnya saya kesankan sebagai “buku harian plus”.

Terkadang kalau saya nemu foto menarik di majalah atau koran, saya gunting dan saya tempelkan di “buku harian plus” itu.

Sering juga jika saya nemu vignet (lukisan/”sketsa” yang bercitra dekoratif) saya gunting dan saya tempelkan di buku itu.

Kenapa demikian, ya karena saya tidak bisa menggambar. Sedangkan saya terkesan dengan vignet tersebut. Apalagi kalau ada hubungannya dengan (salah satu) puisi karya saya. Tinggal saya sandingkan.

Bagaimana jika puisi-puisi saya ingin diketahui orang lain, atau untuk menarik orang lain — misal cewek yang sedang saya taksir? Ya, puisi(-puisi) itu saya kirim ke Radio Rajawali di Jl. Kacapiring nomor 5, Surabaya, yang lantas oleh penyiarnya dibacakan pada setiap Rabu malam.

Dengan harap-harap cemas, setiap malam Kamis, kira-kira 5 menit sebelum pukul 20.00, saya sudah nyetel radio transistor milik kakak saya.

Betapa senang saat saya dengarkan — lantaran puisi saya “dimuat” dengan manifestasi dibacakan oleh penyiar pria yang suaranya ulem, merdu, dalam intrepretasi dan intonasi yang pas. Penyiar yang mengasuh siaran sastra di Radio Rajawali ini salah satu penyiar favourite saya. Pada suatu hari –dari informasi sahabat saya– ternyata, maaf, penyiar ini salah satu kakinya invalid.

Bagaimana akhirnya, apakah puisi saya didengar oleh “si dia”? Ternyata didengar, dan (rupanya) “si dia” merespons puisi saya. Rabu minggu depannya, ganti puisinyi (‘nyi’ kata ganti untuk perempuan — niru kebiasaan tulisan Pak Dahlan…he-he-he) yang disiarkan. Tentu pada saat siaran sastra itu, juga dibacakan puisi-puisi karya penulis lain.

Yang selalu saya ingat dari puisi-puisi “si dia”, tanggal penulisannya didahului bukan dengan nama kota, melainkan dengan mencantumkan “Wisma Dewa-Dewi”, baru disusul tanggal penulisan. Mungkin “satu genre” dengan saya, dimana saya pun tidak mencamtumkan nama kota sebelum tanggal penulisan, melainkan : Ersika 135. Apa itu? Alamat rumah saya : Gersikan Gang I nomor 35. Huruf awal dan akhir dari ‘Gersikan’ saya delete supaya kelihatan keren khas anak muda di awal-awal 1970-an, sehingga menjadi: Ersika.

Saat itu saya masih duduk di bangku kelas 2 STM Negeri II Surabaya jurusan Kimia Industri.

Pada perkembangannya, cara menyiarkan (dan mendokumentasikan) puisi-puisi saya, meningkat dengan mengirimkan di sejumlah koran mingguan dan harian, juga di majalah wanita. Puisi pertama saya yang dimuat di koran, tercetak di Mingguan Surabaya Ekspres tahun 1972. Intinya: Ada yang dimuat, ada yang tidak. Ada yang diberi honorarium, ada yang tidak.

Saya masih ingat, tahun 1978, satu puisi yang dimuat di majalah Dewi diberi honorarium sebesar seribu rupiah. Tiga bulan kemudian, dimuat lagi di majalah yang sama dengan besaran honorarium masih sama: Rp. 1.000.

Pengasuh rubrik puisi majalah tersebut adalah Astuti Wulandari, karena dari catatan di wesel selalu disertakan kata-kata motivasi dengan ttd (tertanda) nama tersebut. Astuti Wulandari saat itu sudah dikenal sebagai penulis produktif. Usianya tiga tahun di atas usia saya.

Kenapa saya menuliskan tentang hal-hal di atas, padahal semula bukan itu yang saya maksudkan — saya ingin menulis tentang puisi-puisi karya Hamid Nabhan seniman multi-talenta : pelukis, penyair, penulis perjalanan dan belakangan menulis catatan-catatan seni rupa di sejumlah media online.

Hamid Nabhan yang menaruh perhatian besar pada dunia literasi telah menulis 51 judul buku. Akan menambah lagi dua judul buku sebagaimana informasinya via telepon seminggu lalu.

Nah, tiga hari lalu saya dikirimi vlog oleh seniman yang buku perjalanannya ke Timur Tengah saya beri pengantar. Vlog ini berupa puisi berjudul ‘Dewa dan Dewi’ yang dibacakan Lies Aliet Rahayu seorang wanita pelukis alumnus Universitas Indonesia. Cara membacakan puisi ‘Dewa dan Dewi’, Aliet menghayati betul. Diksi dan intonasi suara jelas, ditambah lafas yang jernih.

Dari puisi ‘Dewa dan Dewi’ inilah, maka saya teringat mosaik hidup saya sekitar 50 tahun lalu dengan ‘Wisma Dewa Dewi’ yang lokasinya di kampung sebelah dan masih se-kelurahan dengan domisili saya. Jelasnya ‘Wisma Dewa-Dewi’ adalah rumah “si dia”.

Ini selengkapnya puisi ‘Dewa dan Dewi’ karya Hamid Nabhan :

DEWA DAN DEWI

Akulah Dewa, kata mentari di suatu pagi
Aku terangi dunia, aku ceraikan bintang-bintang
Aku sihir gulitanya langit
Dan aku menerobos berbagai pori

Dan di ujung sore, purnama berkata
Malam serasa tak lengkap tanpa hadirku
Sebab di malam yang gelap
Selalu kumasuki setiap halaman
Yang kuberi kehangatan
Maka bermekaranlah di relung-relung kehidupan
Agar ikan-ikan di samudera luas leluasa bernafas, menari-nari bebas
Bunga-bunga durian gembira ketika disinggahi kelelawar
yang lincah dan nakal

Di bawah pantulan sinarku
Semua terlihat indah
Karena akulah satu-satunya Dewi di malam hari

Surabaya, Maret 2012


Puisi Hamid Nabhan di atas yang dibacakan Aliet ini dimuat di Tik Tok.

Dari puisi ‘Dewa dan Dewi’ ini, maka saya banyak bertanya tentang puisi-puisi karyanya yang di-digitalisasi, ternyata tidak saja di-Tik Tok-kan, juga dimuat di YouTube. Ada juga yang khusus di-audio-kan saja, dan ini banyak dibawakan oleh Lies Aliet Rahayu. Ada empat rekaman audio yang dikirim Hamid Nabhan ke nomor WA saya.

Khusus untuk Tik Tok, puisi Hamid Nabhan selain ‘Dewa dan Dewi’ yang dibacakan Lies Aliet, ada dua lagi, yaitu yang berjudul ‘Tidurlah’ dan ‘Mimpi’.

Dari chatting via WA, Hamid Nabhan ternyata sudah lama mendigitalisasi puisi-puisinya yang umumnya dalam “platform” YouTube. Ternyata jauh waktu, sebelum saya membuka channel ‘Puisi Amang Mawardi’ di YouTube.

Dua kali diadakan lomba baca puisi tingkat nasional, puisi-puisi Hamid Nabhan banyak dibacakan oleh peserta, salah satunya puisi berjudul ‘Negeri Para Penguasa’ yang saya tonton pada channel Kamila Mila, sebagaimana konten tersebut yang dikirim Hamid ke nomor WA saya.

Dari puluhan konten YouTube tentang pembacaan puisi-puisi karyanya, saya terkesan saat dibacakan oleh Anissa Vitrie. Puisi Hamid Nabhan yang dibacakan Anissa itu judulnya “Rindu”. Ekspresif sekali !

Ada juga puisi Hamid yang dibacakan penyair D. Zawawi Imron. Setelah saya amati, ini event 5 tahun lalu, dan kebetulan saya juga hadir. Diselenggarakan di Caffe Biliton di Jalan Biliton, Surabaya. Saat itu acara launching buku kumpulan puisi Hamid Nabhan, judulnya ‘Pohon Sunyi’. Nama channel yang menyiarkan : Mashur Channel.

Dan yang lebih bikin saya kaget, ternyata saya juga pernah membacakan puisi Hamid Nabhan, judulnya : Mimpi. Puisi ini saya bacakan 5 tahun lalu, dan diunggah oleh channel Hamid Nabhan. Eladalah ! (Amang Mawardi).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *