Monolog: Tanpa Keresahan Berarti Kematian Bagi Penulis
Oleh: Rokimdakas
KEMPALAN: Beberapa kali diajak konco ngopi, kalau diingat-ingat pertanyaannya nyaris sama …
- : Sekarang kesibukanmu apa?
+: Nulis. - : Menulis apa?
+: Apa aja yang menarik ditulis menjadi esai, artikel atau feature, jarang nulis berita karena sudah tidak lagi di lapangan. - : Apa selalu ada ide?
+: Ceritanya begini, begitu bangun tidur, mata masih merem, pikiranku sudah diwarnai pertanyaan, “nulis apa ya?” - : Kamu masih butuh eksistensi?
+: Blas gak butuh, sudah lepas dari pertimbangan seperti itu. Sudah nggak butuh eksistensi atau tepuk tangan tapi lebih pada esensi. - : Lalu apa artinya menulis wong sekarang tulisan nggak mengandung bayaran?
+: Buatku menulis merupakan pertanggung jawaban atas kebisaan yang diberikan Tuhan. Kedua, sebagai kesaksian atas dinamika peradaban. Hanya kesaksian. Apakah berarti atau tidak, saya nggak layak untuk menilai. - : Tentang bayaran?
+: Kalau menyangkut bayaran aku meyakini, bahwa ‘urip onok sing nguripi’. Hidup ini ada yang menghidupi. Jika keimanannya setipis silet tentu kesulitan untuk meyakini kasih sayang Tuhan yang selalu dilimpahkan pada diri kita. Ini yang disebut kepasrahan aktif. - : Lalu apa artinya atas apa yang kamu lakukan?
+: Dalam hal ini aku bersandar pada pemahaman holistik. Bahwa apapun yang kita perbuat, berdasar paham kesemestaan, tidak ada yang sia-sia. Begitu halnya tulisan yang memuat pemikiran.
Ibaratnya, jika ada suatu bank data dalam ruang semesta, pikiran yang saya sampaikan akan menambah perbendaharaan. Jika suatu saat momentumnya sudah tepat maka data itu akan menjadi daya dorong suatu perubahan. Begitulah menejemen semesta bekerja. Metaforanya kira-kira seperti itu.
- : Perenungan apa yang melandasi pemahaman seperti itu?
+: Spiritual. Tanpa kesadaran spiritual kemungkinan besar seorang penulis bisa kehilangan motivasi. Maka jika kehilangan keresahan berarti kematian bagi penulis. - : Dulu, cita-citanya wartawan menjadi penulis ya?
- : Back ground penulis umumnya wartawan. Awalnya oleh adanya minat untuk jadi wartawan lalu belajar mengembangkan bakat. Fase ketiga, kemampuan menjadi matang bahkan sangat terampil.
Tahap keempat harus memiliki intelektualitas kemudian fase terakhir adalah spiritual. Sayangnya, tidak sedikit yang gagal pada fase keempat dan kelima, yakni intelektualitas dan spiritualitas.
- : Kenapa sampai begitu?
+: Tiap orang memiliki rekam jejak kehidupan yang berbeda-beda. Ada yang sejak semula memiliki gairah belajar banyak hal dengan mengapresiasi setiap perkembangan, dirinya selalu updated, memperbarui pengetauannya.
Kadang masih ditambah dengan pengalaman dan tempaan hidup. Penderitaannya yang tak terkira perihnya dan kondisi hidupnya yang tak pernah mengantarkan pada zona nyaman. Itu yang membuat dirinya sering resah bahkan berani bertanya, “Dimana keadilan Tuhan”?
Kondisi kejiwaan semacam itu tentu berbeda dengan orang-orang yang alur hidupnya nyaman-nyaman saja. Ini yang kemudian pematangan jiwa setiap orang menjadi berbeda.
- : Apa yang kamu pikirkan selanjutnya.
+: Urip slamet. Itu aja. Jangan sampai aku terkungkung oleh syndrom memoria, mengingat-ingat kejayaan masa lalu. Kan nggak mungkin aku mampu memutar jarum waktu seperti masa lampau. - : Kalau kamu mampu seperti itu berarti dirimu Gusti Allah …
Hahahaha….
(Izzat)
*) Rokimdakas:
Wartawan & Penulis
24 Oktober 2024
