Bukan Exaggerate

waktu baca 4 menit
Amang Mawardi (*)

JAKARTA-KEMPALAN: Saat memulai hobi menulis pada awal 1970-an, ada 3 orang yang menginspirasi saya, yaitu Ismoe Rianto (anggota Polri, usia 12 tahun di atas saya), M. Djupri (mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia IKIP Surabaya, usia setahun di atas saya), dan Toto Sonata (karyawan Tjokro Bersaudara, Surabaya – usia lebih setahun dari saya).

Waktu itu saya masih pelajar STM jurusan Kimia Industri. Mas Ismoe menginspirasi dari segi produktivitas, (almarhum) M. Djupri menginspirasi dengan metode menulis dan tata bahasa, sedang Toto banyak mengilhami saya tentang instink dan semangat otodidak-nya yang luar biasa.

Pada perkembangannya, Mas Ismoe makin produktif dengan karya-karya cerkak-nya yang bejibun dan novel berbahasa Jawa yang puluhan itu.

M. Djupri lebih banyak menulis prosa: esai dan cerpen. Sementara Toto Sonata saya kenal sebagai penyair dengan puisi-puisinya yang romantis sublim.

M. Djupri dan Toto akhirnya bergabung di koran MM (Mingguan Mahasiswa) yang dinakhodai (almarhum) jurnalis legend Agil H. Ali. Yang lantas mereka berdua bergabung dengan sekian koran lagi, ada yang berbeda-beda.

Dalam 5-15 tahun terakhir, saya mengamati tiga jurnalis yang menginspirasi, yaitu Dahlan Iskan, Tjuk Suwarsono, dan Noorca M. Massardi.

Dahlan, mungkin sobat Facebook sudah tahu semua ya. Bagi saya pengetahuannya yang sangat luas tentang apa saja, gaya tulisannya yang praktis tanpa mengurangi elastisitas, salah satu fakfor yang menginspirasi. Dan, juga, ini: produktivitas yang luar biasa. Selama 7 tahun terakhir Dahlan menulis artikel untuk DI’s Way setiap hari tanpa putus.

Sedangkan Tjuk Suwarsono saya kagumi tulisan-tulisannya karena “cara bertutur”-nya yang lincah, “tik tak”, dan indah. Boleh jadi Tjuk menganut jurnalisme sastra.

Selain itu Tjuk adalah guru jurnalistik yang mumpuni. Lama menduduki kursi Wakil Pemimpin Redaksi harian sore Surabaya Post.

Boleh jadi benar yang dikatakan wartawan senior Jil P. Kalaran: “Tjuk itu guru jurnalistik wartawan di Surabaya.” (Mungkin maksud Jil, guru informal).

Tentang Noorca M. Massardi, lantaran banyak tulisan-tulisannya di Facebook yang panjang-panjang tanpa bosan saya baca. Runtut, detil, dan luwes, dilandasi tata bahasa yang baik dan benar tanpa mengurangi unsur komunikatif. Dan satu lagi, bila ‘Ncm’ menyinggung sosok yang sudah almarhum, tidak cukup dengan, misal: Badu (almarhum). Namun, di dalam ‘tanda kurung’ ditulisnya tanggal kelahiran dan tanggal kematian. Selalu begitu.

Pernah saya baca di salah satu tulisannya yang berbentuk reportase, ‘Ncm’ menyinggung lebih dari 5 sosok almarhum di alinea terpisah-pisah, lengkap dengan tanggal lahir dan tanggal kematian. Tentu ini butuh waktu dan kesabaran. Tetapi jika penulis terbiasa dengan begini, akan menambah kesan teliti.

Sesungguhnya, masih banyak wartawan atau penulis lain yang menginspirasi saya, tentu akan panjang jika saya tuliskan.

Sekitar seminggu lalu, saya melakukan promo “head to head” -selain yang saya lakukan di Facebook- mengenai buku saya ke-15 : ‘Memoar Wartawan Biasa Biasa DI SENJA WAKTU AKU TULIS BUKU’. Salah satunya ke Dr. Abror Djuraid mantan Pemred Jawa Pos dan mantan Ketua PWI Jawa Timur.

Dalam kesempatan itu, oleh Abror saya diminta menulis sinopsis atau narasi buku saya ini di media on line ‘Kempalan’ miliknya. Maksudnya untuk dibantu promosi. Lantas saya foreward postingan saya di Facebook tanggal 10 Juli lalu, dan sedikit dieditnya, kemudian dimuat di ‘Kempalan’.

Tulisan di media online tersebut diteruskan oleh doktor ilmu komunikasi dari Unpad ini ke grup whatsapp Alumni AWS – Stikosa. Banyak mendapat tanggapan (umumnya ucapan selamat).

Dari tanggapan itu, saya terkesan pernyataan Tjuk Suwarsono kakak angkatan saya di Akademi Wartawan Surabaya. Begini:

Selamat kepada sahabat Dik Amang Mawardi.

Begitulah idealnya spirit wartawan. Ia pribadi yang biasa-biasa saja, istilah Jawa-nya sakmadya, secukupnya tak berlebihan. Istikomah.

Wartawan harus mengabadikan dan menyajikan fakta dengan sikap biasa-biasa saja.
Tak berlebihan, tak royal bumbu-bumbu penyedap (exaggerate).
Pun saat menyajikan opini, tidaklah bernafsu menggoreng kata-kata.

Dalam kehidupan nyata, wartawan sejati ya tampak biasa-biasa saja, meski di benaknya tersimpan jutaan data dan fakta.

Salam biasa
Untuk seluruh kerabat yang biasa.


Amang Mawardi (Penulis Buku, Jurnalis Senior)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *