Dwilogi Novel Karya Hariono Santoso Didiskusikan
Oleh : Amang Mawardi
SURABAYA-KEMPALAN : Saat masih SMA di awal 1970-an puisi-puisinya sering dimuat di lembar budaya Jawa Pos. Selepas SMA dia membantu tetangganya –Mas Issa Djais– yang Perwakilan Selecta Group dengan menjadi koresponden.
Saking produktifnya Hariono bikin berita, sampai-sampai kakaknya sebagai staf PT Star (Taman Remaja Surabaya) heran: “Har, honor tulisanmu sebulan di Selecta Group lima kali gajiku di Taman Remaja lho!”.
Itulah cermin Hariono: produktif, aktif.
Selepas koresponden Selecta Group, tahun 1975 Hariono melamar rekrutmen TVRI. Dari 3000 lebih pelamar, yang diterima 76 orang — termasuk Hariono. Setelah di-diklat sebagai kameraman, saat Stasiun TVRI Surabaya didirikan pada 1978, Hariono dihijrahkan dari TVRI Pusat ke kampung halaman.
Kariernya sedikit demi sedikit naik, lama-lama jadi bukit. “Bukit Pertama” Kepsta Jambi, “Bukit Kedua” Kepsta Bandung, terus kepsta mana lagi ya ?
Yang jelas saat dia dari Kespta Bandung ikut profer test Dirut TVRI, dalam perjalanan dari markas pusat TVRI ke Bandung sehabis ikut tes itu, saat sampai Puncak ditelepon salah satu panitia, “Posisi dimana, Pak?”
“Saya dalam perjalanan pulang.” (Saat itu mungkin belum muncul istilah on the way).
” Lho, kok pulang?”
“Emang kenapa, Pak?!”
“Lho, kok ‘emang kenapa’, Anda lolos jadi Dirut. Sekarang Pak Hariono mohon balik ke Senayan (markas TVRI Pusat)”.
Begitulah cerita tentang penggalan mencapai “Bukit Ketiga” : Dirut TVRI.
Belakangan saya baru tahu kalau di belakang namanya ada tambahan ‘Santoso’, gara-gara dia buka akun baru di Facebook nama ‘Hariono’ muncul bejibun — tak terhitung, saking banyaknya. Maka, mikir dia.
Lantas nama ‘Hariono’ dibalik supaya tidak ada yang menyamai, sehingga jadi : Onoirah. Ternyata lha kok masih banyak.
‘Onoirah’ ini lantas ditambahi nama ayahnya: Santoso. Ternyata aman. Jadilah Onoirah Santoso.
Saya pikir cerita tentang Arek Kaliasin ini, “selesai” setelah pensiun dari TVRI dengan jabatan Dirut itu. Ternyata boleh jadi cuma antiklimaks untuk kemudian naik lagi.
Ya, Onoirah Santoso mendaki bukit lagi. Kali ini yang didakinya ‘Bukit Literasi”, dimana selepas pensiun dia memulai menulis novel. Hasilnya dua novel berhasil diselesaikannya : ‘Halimun Biru di Langit Singosari’ dan ‘Asmara Cempaka Gading’.
Meski masih saya baca secara random, saya opinikan: novel ini menarik. Baik penceritaan maupun bahasa, mencitrakan sastrawi. Plotnya : masa kini–masa lalu–masa kini–masa lalu–masa kini.
Minggu 15 September 2024, dua novel ini di-talk show dengan host Imung Mulyanto mantan redaktur seni Surabaya Post dan mantan pemred Arek TV.
Hadir di Selasar OnoSan yang sejuk banyak pohon-pohon, di Medokan dekat Rungkut, Surabaya Timur: Toto Sonata (wartawan & penyair), Karyanto (pemred Arek Memo.com) Widodo Basuki (pemred Jayabaya), Son Andris (wartawan senior), Achmad Zainuri (sutradara teater, penulis 2 judul buku), anggota DPRD Surabaya dua periode Mbak Nunung yang pelukis, Mbak Hani Purba jurnalis senior TVRI Surabaya dan millenials pecinta novel — salah satunya mengingatkan saya pada Tamara Bleszinsky.
Begitulah cekak aosnya. Sementara saya cukupkan dulu tulisan ini. Tetiba tensi saya kok naik. InsyaAllah saya sambung lagi.
Oia, intinya: novel itu karya fiksi. Tapi fiksi yang rasional. (Izzat)
