Utting Research dan Survei Pesanan

waktu baca 5 menit
Ganjar Pranowo bersama Anies Baswedan. (ist)

KEMPALAN: Di Indonesia lembaga survei menjadi bagian dari euforia politik seiring dengan lahirnya reformasi setelah kejatuhan Orde Baru 1998. Banyak—atau hampir semua—lembaga survei itu bertindak sebagai konsultan politik yang menawarkan paket ‘’all in’’ untuk memenangkan kontestasi politik di berbagai level. Nilai kontrak lembaga survei itu bisa mencapai trliunan.

Tiap jelang pemilu selalu ramai soal hasil survei. Hampir tiap minggu muncul hasil survei dari berbagai lembaga survei dengan hasil yang beraneka ragam. Dalam survei pemilihan presiden 2024, tiga kandidat selalu muncul sebagai tiga besar, Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan.

Sejak April lalu, urutan teratas selalu ditempati oleh Prabowo Subianto. Sebelum April, Ganjar Pranowo selalu ada di urutan teratas. Tapi setelah PDIP resmi mendeklarasikan Ganjar sebagai calon presiden, posisi Ganjar di pole position disalip oleh Prabowo.

Anies Baswedan sejak awal memang tidak pernah sekalipun muncul pada posisi teratas. Ia selalu konsisten di urutan ketiga. Malah sekarang posisi Anies terus melorot karena elektabilitasnya mandek atau turun.

Tapi, pekan ini sebuah survei yang dilakukan oleh lembaga riset Utting Research dari Australia hasilnya berbeda dari lembaga-lembaga survei lokal. Kalau selama ini posisi Anies seolah tidak bisa mengejar dua pesaing lainnya, kali ini posisi Anies berada pada jangkauan untuk menyalip posisi kedua.

Dalam bahasa Inggris ada istilah ‘’breathing on someone’s neck’’, bernafas di leher orang lain. Hasil survei Utting Research ini menunjukkan bahwa Anies menempel ketat pesaingnya dan seolah-olah nafasnya bisa dirasakan di leher Prabowo Subianto yang yang ada di urutan kedua.

Dalam rilis yang diedarkan Jumat (28/7), Utting Research menyatakan, elektabilitas tiga bakal capres itu cukup ketat. Ganjar Pranowo di urutan pertama dengan elektabilitas 34 persen. Prabowo Subianto di urutan kedua degan 33 persen, dan Anies Baswedan di urutan ketiga dengan perolehan 27 persen. Sebanyak 3 persen responden menjawab rahasia dan atau belum memutuskan, sementara 3 persen lainnya tidak menjawab.

Dengan selisih yang tipis di antara ketiga calon itu, kompetisi masih rentan terjadi perubahan pilihan pemilih menjelang pemilihan presiden nantinya. Pilpres 2024 akan berjalan ketat. Hingga delapan bulan menjelang hari pemilihan, pemenangnya masih sangat tidak jelas. Tiga kontestan terkuat masih sangat berimbang elektabilitasnya. Tiga-tiganya punya peluang untuk saling mengalahkan.

Survei Utting Reserach menggunakan metode multistage random sampling dengan margin of error sebesar 2,8 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Ini berarti elektabilitas ketiga calon bisa naik atau turun 2,8 persen.

Debat mengenai akurasi hasil survei selalu ramai. Banyak yang meragukan hasil survei dan menganggapnya sebagai pesanan. Muhaimin Iskandar, Ketua PKB, mengakui bahwa ada survei pesanan. Ada pihak yang memesan survei dan menginginkan hasil sesuai dengan kemauannya. Kritik Muhaimin ini ditujukan kepada surveyor lokal.

Di Indonesia survei capres tidak pernah diadakan selama periode pemerintahan Soekarno maupun Soeharto. Lembaga survei untuk menghimpun jajak pendapat terkait politik lazimnya lahir di negara demokratis dan rakyat memiliki kebebasan sipil dan politik yang substansial. Inilah yang menjadi alasan mengapa di era sebelum reformasi, survei jajak pendapat tidak pernah diadakan.

Peneliti Australia Marcus Mietzner yang menulis artikel jurnal “Political Opinion Polling in Post-authoritarian Indonesia: Catalyst or Obstacle to Democratic Consolidation?” mengatakan bahwa jajak pendapat di dalam pemerintahan otoriter dianggap mencerminkan atau bahkan dapat memperburuk ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah. Di negara-negara otoriter atau pseudo-demokratis, penerbitan hasil-hasil jajak pendapat lazim dicekal atau dihambat.

Alasan lain, survei jajak pendapat terkait capres membutuhkan metodologi yang dirancang secara saksama, peneliti yang berpengalaman, serta responden dalam jumlah besar. Bagi Indonesia yang masih berkembang, survei capres membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sehingga wajar bila survei terkait calon presiden belum dilakukan di masa-masa pra reformasi.

Survei capres berupa jajak pendapat politik mulai terselenggara secara semi-profesional setelah Soeharto lengser. Survei diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Sosial dan Ekonomi (LP3ES). Para peneliti di LP3ES sudah tidak asing dengan metode-metode pengambilan sampel berbasis hitung-hitungan kuantitatif.

Pada pemilu terakhir Orde Baru pada 1997 lembaga itu telah mengadakan survei hitung cepat untuk kawasan Jakarta. LP3ES juga pernah menyelenggarakan survei pada pemilihan legislatif 1999, di bawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie.

Survei capres di Indonesia pertama kali dilakukan menjelang pemilu 2004. Berbagai lembaga survei kala itu menyatakan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai kandidat terkuat presiden. Prediksi itu benar. SBY terbukti menang pemilu presiden 2004 dengan suara 33,57 persen pada putaran pertama dan 60,62 persen pada putaran berikutnya.

Di Indonesia tradisi survei masih seumur jagung, tetapi perannya sudah sangat besar dalam memengaruhi keputusan politik. Nyaris tidak ada politisi yang berani maju untuk merebut jabatan eksekutif maupun legislatif yang tidak mempergunakan lembaga survei. Bisa disebut bahwa lembaga survei adalah keniscayaan bagi politisi yang hendak maju berkontestasi.

Lembaga survei sudah menjadi industri tersendiri dengan putaran uang triliunan rupiah. Para surveyor itu sekaligus menjadi konsultan politik yang menawarkan paket komplet dengan harga yang tinggi. Karena itu lembaga-lembaga survei menjadi perusahaan besar dengan omset besar dan pengusahanya menjadi orang-orang tajir.

Seiring dengan itu mulai muncul distrust dari sekalangan masyarakat yang tidak sepenuhnya percaya terhadap hasil survei yang dipublikasikan. Para pengusaha survei dianggap sebagai bagian dari proyek politik yang mempunyai target politik tersendiri.

Masyarakat Indonesia tentu belum lupa terhadap hasil pilgub DKI 2017 yang dimenangkan Anies. Ketika itu hampir semua lembaga survei tidak ada yang memenangkan Anies. Tetapi, ternyata hasilnya berbalik 180 derajat.

Politik penuh dengan ketidakterdugaan dan anomali. Hasil survei Utting Research ini bisa menjadi indikasi bahwa pilpres 2024 akan memunculkan kejutan. Kita tunggu. ()

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *