Jokowi Can Do No Wrong

waktu baca 5 menit

KEMPALAN: Dalam khazanah politik monarki terdapat ungkapan terkenal ‘’the king can do no wrong’’, arti raja punya kekuasaan mutlak dan absolut sehingga semua keputusannya benar. Raja tidak bisa disalahkan, dan apa yang diucapkan adalah hukum.

Ungkapan itu ada dalam cover buku yang hari ini (27/6) diluncurkan oleh presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Judul lengkapnya adalah ‘’Pilpres 2024 dan Cawe-Cawe Presiden Jokowi, The President Can Do No Wrong.’’

Sebenarnya buku ini lebih tepat disebut sebagai artikel panjang, karena hanya ada 27 halaman dan disusun dalam narasi bahasa tutur yang kemudian ditranskrip. Atau dalam tradisi politik, buku ini sebenarnya bisa disebut sebagai pamphlet politik.

SBY dikenal selalu berhati-hati dan tidak suka konfrontasional dalam menyikapi berbagai hal yang bersifat kontroversi. Karena sikapnya yang ekstra hati-hati itu SBY sering dianggap lamban dan inaction, tidak cepat bertindak.

Tetapi, kali ini SBY berbicara lumayan lugas terhadap berbagai hal yang menjadi kontroversi politik menjelang suksesi 2024. Judul buku itu sudah jelas ditujukan langsung kepada Jokowi. Semua poin yang ditulis oleh SBY ditujukan langsung kepada Jokowi, dan dilengkapi dengan pendapat dan sikap SBY terhadap isu-isu itu.

Ada 5 isu penting yang disoroti SBY. Pertama dan paling utama adalah cawe-cawe Jokowi dalam pilpres 2024. Isu ini menjadi hal utama yang disorot SBY. Kedua, SBY menyoroti wacana Jokowi hanya menghendaki dua pasang calon presiden dan wakil presiden untuk Pilpres 2024 mendatang. Ketiga, SBY menyebut bahwa Jokowi tidak suka Anies Baswedan maju sebagai calon presiden.

Keempat, SBY menyoroti Jokowi yang memberikan endorsement kepada sejumlah tokoh untuk menjadi capres atau cawapres. Kelima, SBY menyebut bahwa Jokowi akan menjadi penentu siapa sosok pasangan capres-cawapres yang harus diusung oleh partai politik yang berada pada koalisi pemerintahan.

Masalah cawe-cawe mendapat porsi sorotan utama oleh SBY. Dia cukup hati-hati untuk tidak menyerang langsung Jokowi. Dalam setiap poin yang diungkap, SBY selalu melihat sisi positif dari apa yang dilakukan oleh Jokowi. Tetapi, pada alenia berikutnya SBY menyampaikan pandangan kritisnya terhadap semua sikap Jokowi.

Terhadap kelima isu tersebut SBY menunjukkan sikap kritis kepada Jokowi. Menilik sikap kehati-hatian SBY selama ini, pernyataan sikap yang ada di buku ini adalah sikap oposisi. Pada beberapa bagian SBY masih menggunakan kalimat kiasan yang bersifat tidak langsung. Kendati demikian, SBY tetap menujukkan sikap oposisi terhadap Jokowi.

Ada beberapa frasa keras yang dikutip oleh SBY. Ia menyebut ‘’abuse of power’’ untuk menggambarkan cawe-cawe yang dilakukan dengan mempergunakan resource dan kekuatan pemerintah. SBY bahkan mengingatkan Jokowi supaya bisa mengakhiri pemerintahan dengan soft landing, bukan hard landing, apalagi crash landing.

SBY secara eksplisit juga mengingatkan Jokowi jangan sampai melakukan ‘’obstruction of justice’’, yaitu melakukan cawe-cawe sehingga piplres tidak berlangsung secara ‘’free and fair’’. Jika Jokowi melakukan hal itu maka ia melakukan pelanggaran konstitusi, karena UUD 1945 mengamanatkan pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Narasi ini cukup jelas sebagai warning terhadap Jokowi.

SBY secara khusus membahas masalah cawe-cawe Jokowi dalam pilpres 2024. Hal ini menjadi keprihatinan utama SBY. Ia memberi contoh sebuah kontroversi nasional yang terjadi semasa pemerintahannya. Salah satunya adalah kasus ‘’cicak vs buaya’’ yang melibatkan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dengan Polri.

SBY mengatakan bahwa ia melakukan cawe-cawe secara aktif tetapi terbatas pada kewenangannya. Ia mengumpulkan para pemimpin KPK dan Polri dan betindak sebagai mediator untuk mencapai titik temu. Kesepakatan kedua belah pihak dicapai tanpa ada intervensi dari SBY. Inilah yang disebut oleh SBY sebagai cawe-cawe positif, atau positive intervention.

SBY menyorot informasi bahwa Jokowi hanya menghendaki dua pasang kandidat dan tidak menghendaki Anies Baswedan maju sebagai capres, karena Jokowi tidak suka kepada Anies. Menurut SBY, suka atau tidak suka kepada kandidat tertentu adalah preferensi setiap orang yang harus dihormati. Tetapi hal itu tidak boleh menjadi justifikasi untuk menghalangi seseorang maju menjadi kandidat presiden.

Terhadap sikap Jokowi yang hanya memberi endorsement kepada dua kandidat pilihannya, SBY mengingatkan bahwa hal itu menjadi hak politik Jokowi. Ia boleh saja melakukan kerja politik untuk mendukung kandidat jagoannya. Yang tidak boleh adalah, kalau Jokowi memakai alat-alat negara seperti Polri, KPK, intelijen, BUMN, untuk menyukseskan jagoannya. (halaman 19).

Pada poin kelima SBY menyoroti kabar bahwa Jokowi akan menjadi penenetu akhir siapa capres dan cawapres yang diajukan oleh partai-partai koalisi. SBY dengan keras mengritik para pimpinan parpol yang tidak punya kedaulatan dalam menentukan kandidat presiden dan wakilnya.

SBY juga menyoroti mengenai para pemimpin parpol yang tidak bisa menjalankan kedaulatan partai karena tersandera oleh kasus-kasus hukum yang menjeratnya. Inilah yang oleh SBY disorot sebagai penggunaan kekuatan negara yang akan mengarah pada penyelewengan kekuasaan atau abuse of power.

Dalam standar komunikasi politik SBY buku ini termasuk keras dalam menyerang Jokowi. Pemakaian judul ‘’The President Can Do No Wrong’’ adalah sindiran tajam. SBY mengungkapkan bahwa adagium itu harusnya diterjemahkan bahwa presiden jangan sampai berbuat salah dan melanggar undang-undang. Tetapi, secara implisit SBY menyamakan Jokowi dengan ‘’the king’’ alias raja.

Ungkapan itu terkenal di Inggris dan Eropa yang ketika itu masih menganut sistem monarki. Kekuasaan raja yang mutlak menjadikannya sebagai penguasa mutlak. Apa yang diucapkan raja menjadi hukum.

Dalam tradisi kekuasaan Jawa ucapan raja adalah ‘’sabda pandita ratu’’ yang tidak boleh dibantah. Dalam tradisi kekuasaan Eropa muncul ungkapan ‘’L’etat c’est moi’’ negara adalah saya. Ungkapan disampaikan oleh Raja Louis XIV dari Prancis di depan parlemen Prancis pada abad ke-17. Akhirnya sang raja menjadi korban revolusi rakyat dan tewas dipenggal kepalanya dengan guillotine.

Buku SBY ini menjadi peringatan keras kepada Jokowi. Kita tunggu respons Jokowi terhadap warning ini. Kalau melihat sikap Jokowi selama ini, tampaknya buku ini pun tidak akan banyak mengubah sikap Jokowi. ()

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *