Bulan Bung Karno

waktu baca 5 menit
Ribuan orang menghadiri puncak bulan Bung Karno di Stadion GBK. (Istimewa)

KEMPALAN: Stadion Gelora Bung Karno (GBK) d/h Stadion Senayan, penuh sesak oleh lautan manusia berkostum merah. Kapasitas stadion yang menampung 70 ribu orang membeludak sampai 100 ribu orang. Mereka bukan sedang menyaksikan pertandingan sepak bola antara Indonesia melawan Argentina. Mereka adalah audiens yang didatangkan untuk memeriahkan puncak acara Bulan Bung Karno, Ahad (24/6).

Semua petinggi PDIP sebagai si empunya acara berkumpul. Ada Megawati, ada Puan Maharani, dan tak lupa ada Ganjar Pranowo, gubernur Jawa Tengah yang sudah mendapat tugas untuk menjadi calon presiden PDIP. Hadir pula Joko Widodo dan Ma’ruf Amin, presiden dan wakil presiden RI.

Bulan Bung Karno berlangsung sepanjang Juni. Dimulai dengan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila, dilanjut dengan peringatan kelahiran Bung Karno pada 6 Juni, dan puncaknya peringatan besar-besaran pada 24 Juni. PDIP sebagai the ruling party memanfaatkan momentum untuk menghidupkan kembali legasi Sukarno yang pernah dihapus oleh Soeharto sepanjang pemerintahan Orde Baru.

Penetapan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari semua pihak. Penetapan itu merujuk pada pidato Bung Karno sidang BPUPKI 1 Juni 1945, ketika Bung Karno untuk kali pertama menyebutkan lima sila sebagai dasar negara. Dalam pidato itu Bung Karno sudah menyebutkan lima sila sebagai Pancasila yang diusulkannya menjadi dasar negara.

Sebelum Bung Karno memberikan pidato, sudah ada banyak tokoh yang memberikan pidato di depan sidang BPUPKI dan sudah berbicara mengenai dasar negara. Salah satunya adalah Mohamad Yamin yang juga berpidato pada sidang yang berlangsung 29 Mei sampai 1 Juni itu.

Mohamad Yamin berpendapat bahwa negara merdeka harus memiliki nasionalisme atau kebangsaan yang harus sesuai dengan peradaban Indonesia. Yamin berpendapat Indonesia tidak boleh meniru dasar kebangsaan bangsa atau negara lain.

Yamin sudah menyebut mengenai lima sila. Konsep Pancasila dalam pemikiran Yamin dibagi ke dalam lima hal pokok yaitu peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ketuhanan, peri kerakyatan dan kesejahteraan rakyat.

Itulah sebabnya, sepanjang masa kekuasaan Orde Baru muncul upaya untuk menggeser pengaruh Bung Karno, yang disebut sebagai penggali Pancasila, dan menggantikannya dengan Mohamad Yamin. Sejarawan Orde Baru Nugroho Notosusanto menyebutkan bahwa Mohamad Yamin adalah penggali Pancasila, bukan Sukarno, karena Yamin sudah mengajukan konsep lima sila sebelum Sukarno.

Anakronisme sejarah oleh rezim Orde Baru dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan pengaruh Sukarno yang masih sangat kuat. Ketika Suharto mengambil alih kekuasaan pada 1967, upaya ‘’De-Sukarnoisasi’’ dilakukan dengan sistematis. Ketika Bung Karno meninggal dunia pada 1970 pemerintahan Suharto tidak menguburkannya di Istana Batu Tulis Bogor, tetapi di Blitar yang jauh dari Jakarta. Pemunculan Mohamad Yamin sebagai penggali Pancasila juga menjadi bagian dari proyek ‘’De-Sukarno-isasi’’.

Setelah rezim Suharto berakhir dan Megawati membawa PDIP menjadi partai pemenang maka proyek Re-Sukarno-isasi dimulai dengan berbagai program. Patung-patung Bung Karno dibangun di banyak tempat, dan bulan Juni ditetapkan sebagai Bulan Bung Karno.

Puncak acara di Stadion Bung Karno menjadi statemen politik PDIP untuk menunjukkan kebesarannya. Megawati Sukarnoputri juga menunjukkan semangat yang menggebu-gebu untuk menegakkan kembali legasi Bung Karno.

Kontroversi tanggal lahir Pancasila masih tetap menjadi isu politik yang hangat sampai sekarang. Kalangan Islam politik masih tetap percaya bahwa hari lahir Pancasila adalah 22 Juni. Ketika itu tim sembilan yang dipimpin Sukarno menyepakati susunan final Pancasila yang disebut sebagai Piagam Jakarta.

Dalam versi 1 Juni Sukarno menempatkan sila ketuhanan pada urutan kelima. Pada susunan versi Piagam Jakarta sila ketuhanan dinaikkan ke posisi pertama dan menambahi 7 kata ‘’disertai kewajiban menjalankan syariat Isam bagi pemeluknya’’. Rumusan ini ditandatangani oleh anggota tim sembilan, termasuk A.A Maramis sebagai perwakilan masyarakat Kristen.

Tetapi pada rapat 18 Agustus 1945 tujuh kata itu dihapus dan diganti dengan ‘’Yang Mahaesa’’. Mohamad Hatta adalah pemrakarsa penghapusan 7 kata itu, karena pada malam harinya ia didatangi tiga orang yang memberi informasi intelijen bahwa wilayah Indonesia bagian timur akan memisahkan diri jika 7 kata itu tetap dicantumkan.

Ki Bagus Hadikusumo, pimpinan Muhammadiyah yang menjadi wakil Islam di BPUPKI, paling gigih menolak penghapusan itu. Ia luluh setelah dibujuk oleh Kasman Singodimejo yang sama-sama berasal dari Muhammadiyah. Dengan berat hati Ki Bagus Hadikusumo menyepakati penghapusan itu.

Sampai sekarang Piagam Jakarta masih tetap diakui absah oleh kalangan Islam politik. Mereka percaya bahwa versi final Pancasila adalah versi Piagam Jakarta, bukan vers lainnya.

Perdebatan tajam masih tetap berlangsung sampai sekarang. Megawati mengecam mereka yang tidak sepakat dengan versi 1 Juni, dan mengatakan agar mereka yang tidak sepakat tidak usah tinggal di Indonesia.

Megawati menyindir mereka yang mempertanyakan penetapan hari lahir Pancasila yang disebut dilakukan secara sepihak tanpa berembuk terlebih dahulu. Megawati kemudian memperbandingkan Pancasila dengan The Declaration of Independence di Amerika yang disepakati dan disetujui oleh semua komponen bangsa Amerika tanpa kontroversi.

Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat disusun oleh Komite Lima, terdiri dari John Adams, Thomas Jefferson, Benjamin Franklin, Roger Sherman, dan Robert Livingston, yang kemudian mempersembahkannya kepada Kongres Kontinental 4 Juli 1776 yang kemudian ditetapkan sebagai hari kemerdekaan Amerika Serikat.

Deklarasi Kemerdekaan Amerika lebih tepat diperbandingkan dengan Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ditandatangani oleh Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945. Pada pertemuan malam hari sebelum proklamasi, ada usul supaya semua peserta rapat menandatangani naskah proklamasi sebagaimana yang dilakukan oleh founding fathers Amerika. Tetapi peserta rapat sepakat untuk mewakilkannya kepada Sukarno dan Hatta, yang kemudian secara aklamasi diangkat sebagai presiden dan wakilnya.

Sejarah menunjukkan bahwa Pancasila dan Naskah Proklamasi adalah hasil kesepakatan bersama yang dicapai melalui proses perdebatan yang panjang dan seringkali panas. Pada akhirnya jiwa kenegarawanan para founding fathers itu lebih menonjol ketimbang kepentingan pribadi.

Spirit kenegarawanan itu yang sekarang terasa tergerus. Terasa sekali ada upaya untuk mempertahankan satu pendapat secara eksklusif, dengan menegasikan eksistensi kelompok lain yang dianggap sebagai ‘’liyan’’. ()

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *