Butet (dalam) Keranjang Sampah
Menjadi masalah saat menyebut capres yang diusung partai lain (NasDem, PKS, dan Demokrat/Koalisi Perubahan untuk Persatuan), itu dengan sebutan “pandir” dan “nyolong” jelas ditujukan untuk Anies, itu tidak sekadar nyinyir, tapi jahat dan fitnah. Karenanya, Butet bisa diibaratkan ada dalam keranjang sampah, tentu bersama mereka yang memilih buzzer jadi jalan hidup.
KEMPALAN: Butet Kartaredjasa tidak lagi bisa dilihat sebagai seniman yang kritis pada rezim yang tengah berkuasa. Seperti beda era beda Butet. Di era Orde Baru lewat Teater Gandrik, Yogyakarta–teater tradisional tapi disajikan secara modern, yang kritis pada persoalan ketimpangan sosial, terutama pada nasib wong cilik–tak ada lagi muncul kritikan tajam, yang diselingi humor cerdas menghibur. Di era represif, Teater Gandrik tampil di banyak tempat, dan mendapat sambutan cukup meriah. Memang belum bisa mengungguli jumlah penonton Teater Koma, besutan N. Riantiarno, yang bisa tampil berhari-hari dengan tiket tidak murah, dan selalu sold out.
Di Teater Gandrik, Butet memang berperan lebih menonjol dibanding kawan seniman lainnya. Butet biasa tampil juga monolog. Tampil seorang diri memainkan peran beberapa orang sekaligus. Kemampuan menirukan beberapa suara dan gaya petinggi negeri, menjadikan Butet jadi langganan untuk tampil monolog, dan itu tanpa menyertakan Teater Gandrik. Setidaknya suara ikonik Presiden Soeharto paling kerap dibawakannya. Penggunaan idiom kata yang sering digunakan Presiden Soeharto, itu diucapkan dengan baik. Intonasi suara Butet nyaris serupa. Juga suara Habibie dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bisa ditirukan, nyaris serupa.
Butet tampil lucu dan menghibur. Acap lebih lucu dari Srimulat. Butet seperti agen penjual jasa menghibur dengan kelucuan-kelucuan segar. Butet layaknya seniman lawak yang bermain teater. Teater Gandrik menjadi identik dengan Butet, seperti gudang tawa menghibur. Saat ini Teater Gandrik dan juga teater yang lain, seperti sulit manggung sulit bisa menghadirkan penonton dengan jumlah besar. Sepertinya tahun-tahun keemasan teater semacam Gandrik, itu sudah berakhir.
Di era kritik sudah terasa agak longgar, dimana politisi dan penguasa sudah mampu buat kelucuannya sendiri, yang tak malu-malu dipertontonkan di ruang publik. Memunculkan manusia semacam Butet kehilangan periuk melucunya. Konsekuensi era keterbukaan, kritik yang diselingi humor pun tidak dilirik sebagai sesuatu yang bisa menghibur, dan apalagi menghangatkan jiwa yang terkungkung.
Karenanya, jika Butet lalu bermetamorfosa menjadi atau serasa buzzer, itu lazim bagi mereka yang putus asa tanpa bisa beradaptasi memilih arah positif di jalan yang telah berubah. Bisa dimengerti pilihan menjadi buzzer jadi pilihan pragmatisme, agar dompet tak mengempis dan dapur pun tetap mengepul.
Tidak salah jika politisi Gerindra Fadli Zon pun menyentil balik ocehan Butet–saat perayaan Bulan Bung Karno (BBK), yang diadakan PDIP, di Stadion Bung Karno Jakarta, Sabtu (24 Juni)–di mana Butet membawakan puisi bercorak pantun tak berkelas, yang itu sekadar menyenangkan pihak pengundang. Kedekatan Butet dengan Megawati Soekarnoputri menjadikannya seniman partisan.
Butet tak mampu menjaga jarak dan larut seolah politisi PDIP–beda jauh dengan budayawan Emha Ainun Nadjib, yang tetap kritis meski bicara di hadapan pimpinan dan unsur PDIP. Mbah Nun, panggilan akrabnya, tak kehilangan marwahnya untuk bersikap kritis tanpa sekat mampu menahannya. Berikut sentilan Fadli Zon pada Butet, yang juga memilih gaya pantun seadanya.
Butet lagi kepepet, biarlah dia sedikit cerewet untuk mengisi dompet.
Itu setelah Butet di acara puncak peringatan BBK, bicara ngelantur lewat pantunnya. Meski tidak menyebut nama, tapi pantun sampahnya–layak disebut sampah alias tidak bermutu, khas celoteh buzzer sekenanya–itu mengindikasikan ia menyasar Anies, yang disebutnya “pandir (bodoh) dan nyolong(mencuri)”. Satu nama lagi disebutnya dengan “hobi menculik”, itu pastilah ditujukan pada Prabowo Subianto.
Ya, begitulah kalau otaknya pandir. Pepes ikan dengan sambal terong, semakin nikmat tambah daging empal
Orangnya diteropong KPK karena nyolong eeehhh lah kok koar-koar mau dijegal.
Butet lalu melanjutkan monolognya, membahas calon presiden pilihan Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang menurutnya, Capres pilihan Jokowi adalah sosok pekerja keras.
Jagoan Pak Jokowi rambutnya warna putih, gigih bekerja sampai jungkir balik.
Butet lalu berujar, Indonesia akan sedih, jika kelak ada presiden tukang culik. Dan, yang menang dengan politik transaksional.
Hati seluruh rakyat Indonesia pasti akan sedih, jika kelak ada presiden hobinya kok menculik.
Ini yang terakhir, cucu komodo mengkerek kadal. Tak lezat digulai walaupun pakai santen.
Kalau pemimpin modalnya cuma transaksional dijamin bukan tauladan.
Butet tampil benar-benar seniman partisan, yang tampil memenuhi pesanan pihak yang menanggapnya. Tapi, bisa jadi itu juga bukan pesanan Megawati atau PDIP. Itu mau-maunya Butet, yang ingin menunjukkan bahwa ia tampil tidak sekadar dibayar. Tapi ia tegak lurus bersama capres pilihan PDIP. Tidak masalah dengan pilihannya itu.
Menjadi masalah saat menyebut capres yang diusung partai lain (NasDem, PKS, dan Demokrat/Koalisi Perubahan untuk Persatuan), itu dengan sebutan “pandir” dan “nyolong” jelas ditujukan untuk Anies, itu tidak sekadar nyinyir, tapi jahat dan fitnah. Karenanya, Butet bisa diibaratkan ada dalam keranjang sampah, tentu bersama mereka yang memilih buzzer jadi jalan hidup.**