Oke Ganti dan People Power

waktu baca 5 menit
Demo mahasiswa 19 Mei 1998 di Gedung DPR/MPR menuntut Presiden Soeharto mundur. (istimewa)

KEMPALAN: Peringatan kepada Presiden Joko Widodo: Ingin mengakhiri kekuasaannya tahun depan dengan baik atau tidak. Jika ingin mengakhiri kekuasaan dengan baik, jawablah suara-suara rakyat, perluaslah ruang demokrasi, perkuatlah gerakan antikorupsi, dan taatlah pada konstitusi. Ketiadaan iktikad baik untuk hal-hal tersebut menciptakan akhir kekuasaan Presiden Jokowi yang tidak baik. Tahun ke depan adalah tahun ke-10 dan tahun terakhir. Mari kita lihat, apakah Presiden Jokowi ini mau mengakhiri kekuasaannya dengan baik atau dengan berdarah-darah.

Ultimatum itu bukan datang dari politisi atau aktivis oposisi melainkan dari Ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) UI (Universitas Indonesia) Melki Sedek Huang. Pernyataan itu langsung menjadi trending topic di Twitter sepanjang Kamis (22/6).

Pernyataan ini disampaikan menyusul surat yang dikirim kepada Presiden Jokowi. Dalam surat ini BEM UI menyoroti berbagai hal yang dianggap menjadi indikasi kemerosotan demokrasi. Salah satunya adalah disahkannya UU Omnibus Law dan lemahnya fungsi kontrol oleh DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). BEM UI juga menyoroti lemahnya komitmen terhadap pemberantasan korupsi.

Sehari sebelumnya mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo bicara soal kondisi politik bertajuk ‘Oke Ganti’. Dia mengatakan kondisi politik Indonesia saat ini semakin tidak terkontrol.
Riuhnya tempramen politik jelang pemilu semakin hari nampak tidak terkontrol, di mana-mana melontarkan provokasi hanya untuk kepentingan masing-masing, jauh dari edukasi. Begitu ungkap Gatot.

Narasi ‘’berdarah-darah’’ yang diungkapkan BEM UI seolah menjadi bensin yang bisa menyiram api. Beberapa waktu terakhir ini mulai bermunculan seruan supaya rakyat melakuan people power. Pertemuan para aktivis demokrasi di Solo yang menampikan Amien Rais dan kawan-kawan secara terang-terangan menyerukan rakyat bergerak untuk melakukan people power.

Jelang pilpres 2024 suhu demokrasi Indonesia makin panas. Pilpres akan menjadi ‘’moment of truth’’ untuk memastikan apakah demokrasi Indonesia berjalan pada rel yang benar atau terperosok kepada kediktatoran atau anarkisme.

Demokrasi adalah koridor sempit yang panjang dan berliku, harus dititi dengan cermat dan hati-hati supaya tidak terpeleset dan jatuh ke dalam jurang. Ibarat titian serambut dibelah tujuh, demokrasi terancam bahaya dari kiri dan kanan. Di sebelah kanan ada jurang otoritarianisme dan di sebelah kiri ada jurang anarkisme.

Jika demokrasi terpeleset dan jatuh ke sebelah kanan maka akan dilalap oleh jurang otoritarianisme. Pemerintahan yang terlalu kuat dan mendominasi lembaga legistalif dan judikatif akan menghilangkan keseimbangan yang dibutuhkan untuk melewati titian. Itulah yang disebut sebagai mekanisme checks and balances untuk menjaga keseimbangan demokrasi.

Lembaga legislatif dibutuhkan untuk mengawasi dan menyeimbangi kekuatan eksekutif yang cenderung kuat dan korup. Mahasiswa ilmu politik semester pertama suka mengutip Lord Acton ‘’power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely’’, kekuasaan akan cenderung korup dan kekuasaan yang mutlak akan korup secara mutlak. Karena itu kekuasaan tidak boleh dibiarkan berkuasa secara mutlak. Itulah pentingnya kekuatan penyeimbang dari legislatif.

Jika dua kekuatan itu kemudian melakukan kongkalikong, maka tidak ada kekuatan penyeimbang lagi, dan yang muncul adalah kekuatan mutlak yang akan membuat kondisi miring ke kanan dan tercebur ke jurang otoritarianisme.

Sebaliknya, pemerintahan yang lemah akan terancam oleh gerakan dari kiri dalam bentuk anarkisme publik. Kekuatan publik yang tidak terkendali akan menjatuhkan pemerintah ke jurang anarkisme.

Itulah gambaran yang diberikan oleh Daron Acemoglu dan James Anderson dalam buku ‘’The Narrow Corridor: State, Societies, and the Fate of Liberty’’ (2019). Kekuatan negara (state) dan kekuatan rakyat (society) berada pada posisi seimbang karena saling mengontrol dan mengawasi. Dalam posisi seimbang itulah akan terjadi kebebasan demokrasi (liberty), karena tidak ada dominasi dari satu kekuatan terhadap lainnya.

Jurang kanan oleh Acemoglu dan Anderson disebut sebagai ‘’Despotic Leviathan’’, jurang kiri disebut sebagai ‘’Absent Leviathan’’, dan keseimbangan di tengah adalah ‘’Shackled Leviathan’’.

Leviathan adalah hantu laut yang digambarkan dalam buku Thomas Hobbes (1588-1679) ‘’The Leviathan’’ yang terbit tahun 1651. Hantu laut itu punya wajah banyak. Ia bisa menjadi dewa penolong tapi bisa juga menjadi monster penghancur. Hobbes menggambarkan manusia hidup dalam kondisi saling memangsa satu sama lainnya. Hidup digambarkan sebagai “short, brutish, nasty, poor, solitary” (singkat, brutal, keji, melarat, dan sepi). Karena itu dibutuhkan kekuatan yang bisa mengatur kebrutalan itu, supaya masyarakat tenang dan bahagia. Maka diperlukanlah pemerintahan yang kuat seperti Leviathan.

Bagi Acemoglu dan Anderson kebebasan demokrasi dan kesejahteraan rakyat (prosperity) adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa dipertukarkan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa demokrasi hanya bisa berjalan ketika rakyat kenyang. Karena itu rakyat harus dikenyangkan dulu baru kemudian diberi demokrasi.

Indonesia—sebagaimana semua negara demokrasi di dunia—berada pada titian rambut di belah tujuh. Saat ini, ketika Indonesia sedang memasuki tahun politik menjelang suksesi 2024, dua monster Leviathan itu akan terlibat dalam pertarungan sengit.

Di satu sisi rezim yang berkuasa berusaha mempertahankan dan memperpanjang kekuasaan, dan di sisi lain kalangan oposisi ingin membuat perubahan. Luhut Binsar Panjaitan mengatakan bahwa program pembangunan Jokowi tidak bisa dihentikan, unstoppable, harus jalan terus dan wajib dilanjutkan oleh presiden berikutnya.

Jokowi harus melakukan cawe-cawe untuk menjamin keberlanjutan program-programnya. Ia menggagas koalisi besar untuk memastikan kemenangan jagoannya. Dalam perjalanannya, kekuatan legislatif, yang seharusnya menjadi penyeimbang, telah terkooptasi oleh kekuatan eksekutif. Keseimbangan untuk melewati titian serambut dibelah tujuh berada dalam ancaman.

Sebagian rakyat sudah gerah. Sebagian rakyat sudah ada yang menyerukan people power, lainnya menyerukan pemakzulan oleh DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) seperti yang dilakukan oleh Denny Indrayana.

Dari Melbourne, Denny Indrayana menyerukan impeachment, pemakzulan, Jokowi oleh DPR. Kata Denny, dosa-dosa politik Jokowi sudah cukup bertumpuk sehingga sudah layak bagi DPR untuk memakzulkannya. Denny membandingkan pemakzulan Presiden Richard Nixon di Amerika Serikat akibat dosa skandal Watergate dengan dosa Jokowi dalam kasus ‘’Moeldokogate’’.

Moeldokogate adalah sebutan Denny untuk menggambarkan upaya KSP (Kepala Staf Kepresiden) Moeldoko menjarah Partai Demokrat dari kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono. Di mata Denny Jokowi sudah melakukan dosa politik yang layak dimakzulkan.

Indonesia sudah punya pengalaman people power dalam proses kejatuhan Sukarno dan Soeharto. Indonesia juga sudah punya pengalaman memakzulkan Presiden Abdurrahman Wahid. Dalam politik berlaku sebuah hukum besi, iron law, sekali terjadi peralihan kekuasaan dengan kekerasan maka akan terjadi lagi dan lagi.

Hukum besi itu sangat mungkin akan terjadi lagi di Indonesia. ()

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *