Pemilu yang Memilukan
KEMPALAN: DI tengah isu perpanjangan masa jabatan presiden, baik melalui dekrit kembali ke UUD45, atau Perpu Penundaan Pemilu, muncul proposal agar Pileg diselenggarakan secara proporsional tertutup. Artinya, pemilih akan hanya mencoblos gambar Partai Politik, bukan nama calon anggota legislatif. Ini secara kognitif akan mempermudah pemilih namun akan mempersulit setiap calon Aleg.
Popularitas calon aleg menjadi tidak penting lagi. Di samping itu, elite parpol akan semakin berkuasa karena merekalah yang menentukan urutan calon aleg tersebut. Politik uang langsung ke pemilih akan berkurang, tapi lalu bergeser ke internal parpol.
Proposal ini sejalan dengan agenda penguatan parpol, serta para elitenya yang sejak pemberlakuan UUD2002 makin memonopoli secara radikal politik sebagai barang publik. Karena biaya politik yang lumayan besar, peran para bandar politik tetap besar, tapi mereka akan makin mudah mengendalikan partai politik karena jumlah agen politik makin terkonsolidasi ke elite partai politik saja. Fenomena jagad politik yang dikuasai para bandit dan badut politik serta didukung logistiknya oleh para bandar politik akan tetap kita saksikan di masa depan.
Skema proporsional tertutup akan mengakibatkan elite parpol mengambil peran makelar politik yang makin kuat. Sementara itu, yang dibutuhkan publik pemilih adalah wakil rakyat yang kompeten mewakili dan menyuarakan kepentingan mereka. Publik sebenarnya tidak membutuhkan parpol sebagai perantara permanen, apalagi parpol makin tidak punya ideologi, kecuali pragmatisme.
Kerumitan dan kemahalan pembentukan parpol tidak perlu terjadi. Partai politik seharusnya bersifat adhoc yang dibentuk hanya menjelang Pemilu, termasuk Pilpres. Setelah pemilu usai, Parpol sebagai panitya bisa dibubarkan. Anggota legislatif terpilih tidak perlu terancam recall oleh elite partai politik jika bersuara berbeda dengan elite parpol. Ini akan meningkatkan peran anggota legislatif sebagai kekuatan kontrol sekaligus penyeimbang atas eksekutif.
Jika parpol bersifat adhoc, maka Komisi Pemilihan Umum juga sebaiknya juga bersifat adhoc yang diadakan menjelang Pemilu saja sampai hasil2 Pemilu dipastikan sah secara hukum. Tantangan utamanya adalah menyiapkan Daftar Pemilih Tetap yang dapat dipercaya. Ini dapat dilakukan oleh KPU bila Kemendagri menyediakan data kependudukan yang layak dan dapat dipercaya pula.
Menjadikan KPU sebagai instansi yang nyaris permanen tidak saja membuat Pemilu menjadi mahal, namun juga melahirkan agen politik baru yang memperuwet Pemilu. Apalagi jika KPU diawaki oleh komisioner yang tidak memiliki integritas. Hasil2 Pemilu tidak akan dipercaya publik.
Untuk membangun Pemilu yang sederhana dan murah serta tidak memilukan publik, perlu diingat bahwa sejak awal kita tidak membutuhkan parpol yang memonopoli politik. Ini seperti kita tidak pernah membutuhkan sekolah yang memonopoli pendidikan. Publik bisa berpolitik kapan saja di mana saja, seperti publik bisa belajar di mana saja dan kapan saja.
Tidak hanya di bilik suara TPS. Formalisme pendidikan dan politik akan menyebabkan keduanya menjadi barang langka yang mahal namun tidak membantu menyediakan education and polity as public goods. Kita mesti segera hentikan praktek pemilu yang memilukan ini. (*)
Editor: DAD
