Menakut-nakuti NasDem
KEMPALAN: Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, seperti ingin dibuat berjarak dengan kelompok nasionalis, atau partai politik berbasis nasionalis. Upaya mengesankan bahwa Anies bukanlah seorang nasionalis. Kelompok tertentu memang bekerja untuk itu. Anies “dikotak” seolah milik agama tertentu (Islam), dan itu politik identitas.
Dikesankan mencalonkan Anies menjadi capres dari partai politik berbasis nasionalis, itu merugikan partai bersangkutan. Anies dianggap tidak akan mampu menaikkan elektabilitas partai nasionalis yang mengusungnya. Suara jahat ini awalnya didengungkan para buzzer, khususnya lewat media sosial. Mengancam tidak akan memilih partai yang mengusung Anies.
Suara buzzer yang seuprit, itu memang cukup memekakkan telinga. Suara bisingnya makin menjadi-jadi, itu setelah Partai NasDem, yang dalam Rakernas nya mengindikasikan mengusung Anies Baswedan sebagai capres. Meski nama-nama lain juga disebut, Ganjar Pranowo dan Andika Perkasa.
Tampaknya nama-nama itu dimunculkan hanya sebagai “pemanis” saja, jika tidak ingin menghadirkan Anies Baswedan sebagai kandidat satu-satunya yang diusung NasDem. Maka tiga nama itu dimunculkan sebagai pilihan Dewan Pimpinan Wilayah (DPW).
Menguatnya Anies sebagai pilihan NasDem, tentu mengkhawatirkan kelompok yang tidak menghendaki Anies berkontestasi di 2024. Maka, perlu diupayakan menghentikan niatan NasDem untuk mengusungnya.
Upaya buzzer menggertak NasDem dengan tidak akan memilihnya di 2024, jika nekat mencalonkan Anies, itu menggelikan. Apa benar 2019 lalu para buzzer yang cuma seuprit itu memilih NasDem sebagai saluran politiknya, itu sulit dibuktikan. Sepertinya itu cuma menggigau saja, khas buzzer yang tak mau terjaga melihat apa yang telah dikerjakan Anies.
Mengganjal Anies perlu dibuat berlapis, dan tak henti-henti. Anies intoleran karenanya tak pantas mimpin negeri ini, bahkan Anies disebut gubernur tergoblok, itu jadi narasi keseharian yang dilempar ke publik. Menganggap publik bodoh, yang bisa digiring untuk tak melihat karya Anies dalam membangun Jakarta.
Surya Paloh Ketua Umum Partai NasDem, bukan politisi jadi-jadian, yang dibesarkan oleh warisan kekuasaan bapak dan kakeknya. _Humble_ sikapnya. Karenanya, Paloh mampu menakhkodai NasDem dengan tanpa riak ditimbulkan. Meski NasDem cuma partai papan tengah, tapi Paloh mampu memainkan peran menentukan arah politik nasional.
Surya Paloh bisa disebut salah satu pemain utama dalam percaturan peta politik Indonesia saat ini. Partai NasDem, yang dibesutnya, tidak sekadar partai pelengkap, tapi penentu. NasDem memang tidak bisa mencalonkan capres/cawapresnya tanpa berkoalisi, seperti PDI Perjuangan. NasDem mesti berkoalisi dengan partai politik papan tengah lainnya, dan bahkan tidak cukup satu partai politik.
Paloh tahu keberadaan partainya, dan karenanya tak hendak memaksa berkeras mencalonkan salah satu kadernya, baik menjadi capres maupun cawapres. Terpenting buatnya, calon yang dihadirkan dapat memenuhi ekspektasi memenangi kontestasi pilpres. Maka, pilihan pada capres/cawapres yang akan diusung tentu melalui tahapan menyapa masyarakat. Menyerap aspirasi dari bawah, siapa presiden yang dikehendaki, setidaknya kriteria yang diharap. Tidak asal-asalan memilih siapa yang akan dimajukan sebagai capres/cawapres.
Mengganjal Anies
Kehadiran Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), konon satu langkah atau cara mengganjal Anies Baswedan. Setidaknya jika melihat kehadiran dua partai di sana, yang konstituennya benar-benar Anies _banget_: Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional (PAN).
KIB merupakan koalisi tiga partai politik, Partai Golkar, PPP dan PAN. Setidaknya sampai saat ini belum punya capres/cawapres, yang akan diusungnya. Masih meraba-raba siapa nantinya yang akan diusung. Spekulasi menyebut, KIB dihadirkan untuk menyediakan tiket bagi Ganjar Pranowo. Itu jika PDIP tidak mencalonkannya. Sedang Erick Thohir–suara tipis sayup-sayup terdengar–disiapkan sebagai cawapres nya.
PPP dan PAN tampak nekat, mencoba keluar dari zona nyaman, yang penuh risiko untuk ditinggal konstituennya. PPP khususnya, seperti tak pernah mau belajar dari peristiwa yang pernah dialami. Pilkada DKI Jakarta 2017, harusnya sudah cukup jadi pelajaran untuk tidak diulang. Jika memaksa, maka tidak mustahil PPP, juga PAN, akan terlempar dari Senayan.
“Menakut-nakuti NasDem” sepertinya tidak cuma dilakukan para buzzer. Perlu juga ditambah lewat amunisi lembaga survei. Maka, muncul–bisa jadi dimunculkan–Centre for Political Comunication Studies (CPCS), sebuah lembaga survei yang merilis hasil survei terbarunya.
Hasilnya, Partai NasDem akan ditinggalkan pemilihnya, itu jika mengusung Anies Baswedan sebagai capresnya.
CPCS sebagai lembaga survei namanya memang tidak populer, atau bahkan baru terdengar. Tapi hasil surveinya ngeri-ngeri sedap. Terkesan nekat, yang tak dipunya lembaga survei lainnya. Kenekatan selangkah di depan. Dari hasil surveinya, Partai NasDem melorot tajam, 2,1 persen. Itu jika dibanding tiga bulan sebelumnya di mana NasDem mendapat 4%. Perolehan NasDem itu berbanding terbalik dengan partai nasionalis lain, yang justru perolehan suaranya meroket. PDIP 19,5 persen, Partai Gerindra 13,2 persen Golkar 8,8 persen.
Anies tersirat, menurut CPCS, jadi biang kerok yang memelorotkan suara NasDem. Hasil survei seperti menakut-nakuti NasDem, agar tidak mencapreskan Anies. Sebuah upaya bak buzzer, CPCS memang nekat. Tapi NasDem pastilah sudah pula melakukan survei internalnya, yang tidak perlu di-publish, bagaimana kans Anies untuk terpilih.
Apa yang dilakukan CPCS terhadap Anies itu sebenarnya bukan barang baru. Saat maju sebagai cagub/cawagub DKI Jakarta (2017), Anies-Sandi juga digempur dengan hal yang sama. Dua partai pengusungnya, Gerindra dan PKS, mendapat gempuran hampir dari seluruh lembaga survei. Di mana hasil surveinya memenangkan petahana Ahok-Djarot. Tapi hasil akhirnya justru berbalik, tidak sesuai dengan “ramalan” hampir semua lembaga survei populer. Bahkan dua partai pendukungnya, justru mendapat tambahan kursi DPRD DKI Jakarta cukup signifikan.
Jadi apalah arti lembaga survei semacam CPCS, yang coba “menakut-nakuti” NasDem dengan hasil surveinya. Itu bisa diibaratkan semut sedang menakut-nakuti gajah. Maka, tak perlulah heran jika kedepan akan muncul banyak lembaga survei, yang lakunya tak ubahnya buzzer “bertopeng”. Menggoda Anies, juga Partai NasDem dan partai pengusung lainnya, sepertinya jadi keharusan, yang akan terus diupayakan dengan berbagai cara. (*)