Yaman

waktu baca 6 menit

KEMPALAN: RASISME diperangi dimana-mana di seluruh dunia. Di Indonesia gejala rasisme semakin meluas tapi hanya dilihat sebagai hal yang biasa-biasa saja. Di Eropa, penonton sepak bola yang menirukan suara monyet untuk menghina pemain berkulit hitam akan dicekal masuk stadion seumur hidup. Di Indonesia seseorang yang melakukan rasisme di media sosial terlihat tenang-tenang saja dan malah merasa seperti tidak bersalah.

Sebuah video viral menunjukkan seorang pemuda berkaos kuning menyindir baliho Gubernur DKI Anies Baswedan sambil menyebutnya ‘’orang Yaman’’. Seorang netizen menyebut Tsamara Amany Alatas sebagai orang Yaman yang harus dikembalikan ke negara asalnya seperti proyek ‘’Final Solution’’ yang dilakukan Hitler terhadap Yahudi.

Dua kasus itu akan menggegerkan publik, dan aparat keamanan akan bertindak cepat menangkap pelakunya. Itu akan dilakukan oleh polisi Eropa. Tapi di Indonesia hal itu berlalu begitu saja. Ada janji-janji untuk menindaklanjuti, tapi sampai sejauh ini tidak ada tindak dan tidak ada lanjut.

Banyak yang suka beteriak  mengklaim paling Pancasila dan paling mencintai NKRI dan menyebutnya sebagai harga mati. Tapi klaim itu kosong, tidak berarti, karena hanya sekadar slogan tanpa mengerti maksudnya, apalagi memahami filosofinya.

BACA JUGA: Manusia Gurun

Orang-orang pandir dan tolol itu tidak paham betapa komentar dan tindakan rasis itu merusak sendi utama kemanusiaan yang paling dasar. Rasisme juga merusak pondasi dasar negara Indonesia, Pancasila.

Sendi utama NKRI adalah Pancasila. Dan “core of the core” Pancasila adalah “Bhineka Tunggal Ika,” keberagaman yang terikat dalam kebersamaan yang satu. Dari Merauke sampai ke Banda Aceh berjajar belasan ribu pulau dengan ratusan suku, adat, dan budaya. Tidak ada yang bisa menyatukan keberagaman itu kecuali kesamaan cita-cita untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bersama.

Komunitas yang bersatu itu berada dalam angan-angan semua anggotanya yang oleh Ben Anderson disebut sebagai “Imagined Commumity”. Atas konsensus bersama para bapak bangsa dibentuklah negara Republik Indonesia yang berdaulat pada 17 Agustus 1945. Tidak ada satu suku, ras, atau agama yang boleh mendominasi lainnya. Bung Karno suka menyebut semboyan ala The Three Musketeers “All for One and One for All, semua untuk satu dan satu untuk semua.

Dibanding dengan respons terhadap radikalisme, respons negara terhadap rasisme bisa disebut minim. Program-program anti-radikalisme disusun dengan strategi yang rapi dengan anggaran yang mencukupi. Semua kekuatan dan lini digerakkan, mulai dari kementerian, kepolisian, dan TNI.

Negara bertindak tegas terhadap organisasi yang dianggap radikal dan langsung memberangusnya. Negara sigap menghadang organisasi yang dianggap mengancam eksistensi NKRI dan Pancasila dan dengan sangat cekatan membubarkannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *