Muncikari

waktu baca 6 menit
Seorang tersangka muncikari dari prostitusi daring artis ketika ungkap kasus di Subdit V Siber Ditreskrimsus Polda Jawa Timur, Kamis (10/01/2019). (Antara)

KEMPALAN: Dulu orang menyebutnya sebagai germo, induk semang yang punya tempat untuk menampung perempuan-permpuan yang memberi layanan seksual berbayar. Sekarang, sebutan germo dianggap terlalu kasar dan diperhalus menjadi muncikari. Meski ganti casing tapi pekerjaannya tetap sama, menjadi broker laki-laki iseng yang mencari hiburan.

Muncikari—banyak orang menyebutnya mucikari—berasal dari paduan dua kata Bahasa Jawa, ‘’munci’’ yang berarti gundik atau wanita simpanan, dan ‘’kari’’ yang berarti ketinggalan, tidak dibawa, atau tidak disertakan. Muncikari kemudian diartikan sebagai germo penyedia perempuan pelayan laki-laki iseng.

Para perempuan yang menjadi anak asuh muncikari dulu disebut sebagai pelacur yang berarti seseorang yang buruk laku. Kemudian istilah itu dihaluskan dengan sebutan ‘’wanita tuna-susila’’ atau WTS. Tuna berarti ‘’tidak punya’’ dan susila berarti ‘’perilaku baik’’. Wanita tuna susila berarti wanita yang tidak punya perilaku baik.

Istilah itu sekarang sudah tidak terdengar lagi. Anak-anak milenial yang lahir pada era 2000-an hampir pasti tidak mengenal istilah itu. Sebagai ganti sekarang muncul istilah ‘’pekerja seks komersial’’ alias PSK. Para perempuan yang dulu dianggap lacur dan tidak punya susila sekarang disebut sebagai pekerja seks profesional, sama dengan pekerja yang bekerja di pabrik atau di dunia industri lain.

Penyebutan pelacur dan WTS dianggap diskriminatif dan seksis yang melecehkan perempuan. Sementara para lelaki yang menjadi pelanggan tempat pelacuran hanya disebut sebagai ‘’pria hidung belang’’ (tidak pernah disingkat PHB). Entah mengapa disebut sebagai hidung belang, padahal tidak ada indikasi fisik yang menunjukkan belang di hidung laki-laki yang habis melacur.

Para germo atau muncikari biasanya dipanggil ‘’mami’’ oleh anak semang maupun para pelanggannya. Ini berarti profesi germo lebih melekat kepada kaum perempuan, meskipun pada praktiknya banyak juga germo laki-laki, atau yang biasa disebut ‘’papi’’.

Sejarah pelacuran sudah membentang jauh sampai seumur peradaban manusia. Masyarakat kuno di Sumeria atau Mesir Kuno mempunyai kebiasaan memberi persembahan kepada dewa-dewa untuk mengungkapkan rasa syukur atas keberhasilan panen mereka. Dalam kesempatan itu para lelaki menempatkan istri atau anak perempuan mereka di kuil besar, dan lelaki-lelaki lain kemudian melakukan hubungan seksual dengan perempuan-perempuan itu.

Peradaban pelacuran kuno ini berlangsung dan berkembang semakin canggih sampai sekarang. Para lelaki Sumeria Kuno yang menyediakan perempuan di kuil itu sekarang bertransformasi menjadi germo atau muncikari profesional. Kuil persembahan itu di era modern berubah wujud menjadi lokalisasi pelacuran yang tersebar di seluruh dunia.

Salah satu lokalisasi terbesar yang pernah dikenal di Indonesia adalah ‘’Dolly’’ di Surabaya. Sebelum resmi ditutup pada 2014 lokalisasi ini disebut-sebut sebagai tempat pelacuran terbesar di Asia Tenggara. Diperkirakan hampir seribu rumah bordil berdiri di lokalisasi itu dengan jumlah pekerja mencapai angka 10 ribu.

Rumah bordil itu dikenal dengan sebutan ‘’wisma’’. Sebuah wisma besar dan paling terkenal seperti ‘’Wisma Barbara’’ bisa menyediakan sampai 50 perempuan, dan wisma-wisma kecil biasanya punya lima atau enam perempuan.

Bisa dibayangkan berapa jumlah perempuan yang bekerja di Dolly. Belum lagi para pekerja yang melayani sektor-sektor pendukung, seperti warung, tempat parkir, penjagaan keamanan, dan para penjual minuman keras dan operator perjudian.

Dolly menjadi legenda. Menurut sejarah lisan yang beredar dari mulut ke mulut Tante Dolly adalah wanita keturunan Belanda bekas pelacur yang pada 1960-an menyediakan rumah yang berisi perempuan untuk melayani orang-orang Belanda. Awalnya hanya beberapa orang Belanda yang mampir ke rumah Dolly. Tapi, lambat laun semakin banyak orang yang mengetahui rumah Dolly dan kemudian menjadi pelanggannya. Perempuan yang disediakan pun semakin banyak.

Pelanggan Dolly pun berkembang, dan orang-orang pribumi ikut menjadi pelanggan. Peluang bisnis itu dimanfaatkan juga oleh orang-orang pribumi. Maka jadilah wilayah Jl Girilaya, Putat Jaya, di Surabaya itu menjadi pusat layanan syahwat laki-laki yang populer.

Studi mengenai Dolly ditulis oleh Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar dalam buku ‘’Dolly: Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly’’ (1982). Menurut penelitian itu, dahulu daerah Putat Jaya merupakan kompleks makam Cina. Setelah peristiwa PKI 1965 lokasi itu mulai ditempati oleh para pendatang yang kemudian menghancurkan bangunan-bangunan makam.

Para pendatang itu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *