JIS, Realisasi Janji yang Terpenuhi
KEMPALAN: Bekerja dalam sunyi itu nikmat. Tidak perlu repot-repot harus bayar tim sorak untuk menunjukkan ia pemimpin yang tengah bekerja. Karenanya, ia butuh tepuk sorak bergemuruh. Biasanya yang memulai bekerja dengan koar-koar, itu cuma sekadar kerja menancapkan tiang pancang, dan lalu merasa sudah selesai. Tanpa ada progres kelanjutan.
Maka tiang-tiang pancang tampak berserakan di kota sekadar menghibur, bahwa ia bekerja, dan pekerjaan memang belum selesai. Perlu waktu untuk menyelesaikannya. Banyak yang baru dikerjakan di awal, dan ditinggal begitu saja, jadi bongkahan bangkai beton yang tak sedap di pandang mata.
Karakter pemimpin bisa dilihat dari yang akrab dengan seremonial di awal memulai menggarap pekerjaannya. Cenderung kerja yang tidak fokus pada apa yang digagasnya. Belum selesai satu yang dikerjakan, lalu lompat menggagas lainnya dan ingin memulainya. Tidak ada yang tampak selesai dikerjakan.
Ada pula corak pemimpin yang fokus pada satu pekerjaan besar, dan pekerjaan lain yang digagasnya pun tetap dijalankan, tanpa perlu seremonial berlebihan. Bahkan apa yang dikerjakan tidak terdengar. Terkesan bekerja dalam sunyi. Tapi menjelang pekerjaan selesai progres yang dikerjakan itu bisa dilihat, yang buat publik terperanjat.
Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, tipe yang bekerja dalam sunyi. Tidak memilih ingar-bingar di awalnya. Bukan pemimpin jenis yang belum bekerja, bahkan baru menggagas saja, sudah merasa berhasil dan butuh tepuk tangan segala. Anies tidak memilih itu.
Bekerja dalam sunyi itu tampak saat pembangunan Jakarta International Stadium (JIS). Proyek besar yang bisa dibanggakan sebagai karya anak bangsa. Semua pekerjanya asli lokal dalam negeri. Tidak perlu harus repot-repot impor pekerja sampai ke Cina segala.
Anies mulai mengerjakan stadion sepak bola megah itu, bahkan lebih megah dari Old Trafford, markaz Manchester United (MU)–yang disebut stadion termegah di Inggris, itu dengan diam-diam. Anies seolah menyihir kita semua. Tiba-tiba hampir saja stadion itu selesai dibangun, wujud proyek itu mulai ditampakkan ke permukaan. Tidak sedikit yang melongo dan terkagum. Itu wajar.
Anies ibarat Pangeran Bandung Bondowoso dalam legenda pendirian Candi Prambanan, yang ditarget Roro Jongrang, yang sudi disunting jika syarat membuat candi dalam semalam bisa dipenuhi.
Seperti juga pembangunan JIS yang punya target mesti dirampungkan, tentu bukan kerja semalam seperti kisah legenda yang sulit dinalar tadi. Janji telah dipenuhi untuk menghadirkan pada warga Jakarta, terutama klub Persija, sebuah stadion bertaraf internasional. Dan dengan pengerjaan fantastis.
Anies tidak sekadar buat janji, sepertinya ia tidak terbiasa membual. Tidak seperti pemimpin yang penuh janji, tapi tanpa realisasi pemenuhan atas janjinya. Itu khianat namanya. Terbiasa memainkan kata berkebalikan, yang jadi model membual. Kata meroket yang boleh dimaknai berkebalikan, yaitu kata lain dari merosot atau terjungkal. Kerap melebih-lebihkan, dan itu bermakna berkebalikan.
Kata “tidak” pun bisa menjadi berkebalikan dalam pandangannya. Tidak mengimpor, ternyata mengimpor. Dan seterusnya. Tanpa protes keras publik atas janji yang tidak ditepati, menjadikan ia tidak bosan-bosannya asyik berakrobat dengan makna berkebalikan.
Maka, menghadirkan seorang Anies Baswedan sebagai alternatif pemimpin masa depan, itu upaya rasional. Mestinya ke depan tidak boleh lagi muncul pemimpin pansos, yang hanya pandai membuat janji tanpa mampu pemenuhan akan janjinya.
Anies sudah memiliki modal sebagai pemimpin penuh amanah. Ia tunaikan janji-janji kampanyenya satu persatu. Tampaknya Anies punya modal di atas rata-rata pemimpin yang akan dihadirkan berkontestasi di 2024. Meski satu periode memimpin ibu kota, ia tampil sarat prestasi. Hasil kerjanya tampak terang benderang, tentu bagi siapa saja yang mampu melihatnya dengan mata dan hati bersih.
Amat pantas jika Anies dapat kesempatan lebih dari jabatan yang selama ini dijalankan dengan baik. Pemimpin demikian bisa dihadirkan, jika rakyat ingin adanya perubahan di negeri ini ke arah yang lebih baik. (*)
Editor: Reza Maulana Hikam