Prof Bill vs Prof. Mahbubani

waktu baca 6 menit
Joko Widodo. (Kominfo)

Analisis Pak Bill berbalik 180 derajat dari Prof. Mahbubani. Dalam artikel 15 halaman itu Pak Bill menampilkan sejumlah fakta hasil penelitian, yang menunjukkan bahwa selama tujuh tahun memerintah Indonesia Jokowi tidak ada jenius-jeniusnya dalam mengelola demokrasi. Malah sebaliknya, demokrasi di Indonesia jeblok dan mundur.

Tentu, Pak Bill tidak merespons artikel Prof. Mahbubani. Pak Bill juga tidak menyebut-nyebut satu katapun mengenai jenius atau jeblok. Pak Bill sangat berhati-hati dalam membuat diksi, dan menghindari penggunaan istilah yang bombastis seperti yang dilakukan Prof. Mahbubani.

Pak Bill berusaha keras untuk menghindari serangan terhadap Jokowi. Karena itu narasi yang dipilihnya sangat netral dan hati-hati, khas seorang intelektual kelas dewa. Toh begitu, kesimpulannya sangat menohok dan bisa membuat KO di rode pertama.

Pada kalimat pembuka, Pak Bill menulis, ‘’Ada kesepakatan luas bahwa demokrasi sedang merosot. Demokrasi liberal berubah menjadi demokrasi illiberal atau demokrasi elektoral, sementara demokrasi elektoral tergelincir menuju autokrasi, dan autokrasi menjadi makin dalam menjadi otoritarian. Pelaku utamanya adalah para elite politik yang justru dipilih secara demokratis’’.

Kalimat pembuka ini tajam dan tanpa ‘’tedeng aling-aling’’, tapi netral dan tidak mengadili, karena tidak menyebutkan siapa dan dimana. Tidak disebutkan apakah atribusi negatif itu terjadi di Indonesia atau Uganda.

Tapi, di alenia kedua Pak Bill sudah langsung menukik, menyebut Indonesia sebagai salah satu contoh negara yang sedang mengalami kemerosotan demokrasi. Selama tujuh tahun memimpin Indonesia, Jokowi secara sengaja mengekang kebebasan sipil (civil liberty) dan melemahkan mekanisme ‘’checks and balances’’ di parlemen, sambil mengklaim dia melindungi demokrasi elektoral.

Bahkan, klaimnya bahwa dia melindungi demoktasi elektoral menunjukkan bukti sebaliknya, karena demokrasi elektoral pun sedang mengalami ketergelinciran. Fenomena itu bisa ditelusuri sejak Jokowi memenangkan pilpres pertama melawan Prabowo Subianto pada 2014 dengan kemenangan 53 persen.

Sejak itu, Jokowi sudah terlihat lebih memprioritaskan pembangunan ekonomi dengan membangun berbagai sarana infrastruktur di seluruh Indonesia. Jokowi berkeyakinan bahwa pembangunan ekonomi yang mantap akan menjadi pondasi yang kokoh bagi demokrasi yang sehat.

karena itu, Jokowi meminggirkan demokrasi dan membiarkannya menunggu sampai pembangunan ekonomi yang modern selesai. Dari situ baru demokrasi diyakini akan tumbuh kuat. Peminggiran demokrasi dan prioritasi ekonomi ini menghadapi risiko, terutama karena semakin luasnya polarisasi beragama dan munculnya ancaman pandemi sejak awal 2020.

Para pendukung demokrasi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *