Thailand, Invasi, dan Perdamaian Afghanistan
KEMPALAN: Dari namanya Thailand bermakna negara yang belum pernah dijajah. Thailand menjadi satu-satunya negara Asia Tenggara yang tidak dijajah atau diambil alih oleh bangsa Eropa. Dari buku History of Each Country around the World (2018) karya Nam H Nguyen kerajaan Thailand sebelumnya dikenal sebagai Siam sampai tahun 1939.
Lalu pada abad ke-19, Kerajaan Siam sadar bahwa negaranya berada pada posisi yang sulit karena berada di antara negara jajahan Perancis dan jajahan Inggris. Akhirnya raja Siam Rama V berhasil melakukan diplomasi dengan pihak Perancis dan Inggris. Raja Siam Rama V berhasil mengadopsi teknologi dan kebiasaan Eropa untuk melindungi kekuasaan Thailand. Hal itu membuat Thailand terkenal sebagai pemerintahan yang sudah terbuka dengan negara-negara asing.
Selain itu, Thailand tidak memiliki tanah yang begitu subur seperti negara-negara Asia Tenggara yang lain. Sehingga negara lain tidak tertarik untuk menjajahnya dan menganggap tidak ada hasil bumi yang bisa diambil oleh penjajah.
Namun Afghanistan, meski tidak ada hasil bumi yang bisa diambil oleh penjajah, di era modern ini telah mengalami tiga periode penjajahan. Dimulai dengan Invasi Inggris (1839, 1878, dan 1919), dilanjutkan dengan Invasi Uni Soviet (1979-1989), dan terakhir Invasi AS ke Afghanistan (2001-2021). Namun Afghanistan terus kembali merdeka.
Perang Inggris-Afganistan adalah perang yang berlangsung antara Imperium Britania melawan Keamiran Afganistan kala itu. Kerajaan Inggris menjadi satu-satunya negara modern yang pernah menginvasi Afghanistan sebanyak tiga kali. Alasan utama Inggris menyerang dan menduduki Afghanistan adalah untuk mengantisipasi ekspansi Kekaisaran Rusia ke wilayah India–yang saat itu sedang berada di bawah pengaruh Inggris.
Dikutip dari Brittanica.com, kekhawatiran Inggris terhadap Rusia membuatnya menginvasi Afghanistan untuk pertama kali pada 1839. Saat itu, Inggris berusaha menumbangkan Emirat Islam Afghanistan yang dinilai tidak mendukung kepentingan Inggris.
Sedangkan serangan Uni Soviet ke Afghanistan dikarenakan motif Uni Soviet berusaha mempertahankan pemerintahan Marxis-Leninis di Afganistan dari gempuran mujahidin. Para mujahidin mendapat dukungan dari banyak negara, antara lain Amerika Serikat dan Pakistan. Pasukan Uni Soviet pertama kali memasuki Afganistan pada tanggal 25 Desember 1979, dan penarikan pasukan terakhir terjadi pada tanggal 2 Februari 1989. Uni Soviet lalu mengumumkan bahwa semua pasukan mereka sudah ditarik dari Afganistan pada tanggal 15 Februari 1989. Akibat banyaknya biaya yang dikeluarkan dan kesia-siaan konflik ini, Perang Soviet–Afganistan sering dianggap sebagai “Perang Vietnam-nya Uni Soviet.” Perang ini memiliki dampak yang sangat besar, dan merupakan salah satu faktor yang memicu pembubaran Uni Soviet pada tahun 1991.
Sementara invasi Amerika Serikat ke Afghanistan karena kejadian Serangan 11 September 2001 yang dipelopori oleh kelompok teroris Al-Qaeda. Berdirinya Negara Islam Afghanistan pasca tumbangnya Negara Demokratik Afghanistan pada 1992, dipercaya banyak ahli, menjadikan Afghanistan sebagai tempat perlindungan utama teroris-teroris di dunia. Pemerintah AS yang percaya bahwa Negara Islam Afghanistan di bawah Taliban memberi perlindungan terhadap anggota teroris Al-Qaeda, memutuskan untuk melakukan invasi pada Oktober 2001. Sebagai pemenang Perang Dingin dan negara adidaya, Washington beranggapan operasi militer mereka di Afghanistan tidak akan berlangsung lama. Minimnya perlawanan konvensional terhadap pasukan AS, membuat mereka dapat dengan cepat menguasai Afghanistan dari pengaruh Taliban. Namun, semua berubah ketika AS tidak lagi menyerang, melainkan harus mempertahankan posisi mereka dari serangan gerilya yang dilancarkan pejuang Taliban.
Konflik berkepanjangan dengan Taliban yang ingin kembali “mengislamkan” Afghanistan dari pengaruh liberal dan kebarat-baratan, menyebabkan ribuan prajurit AS serta sekutunya harus gugur. Sampai hari ini, AS masih terus mendukung operasi tempur yang dilancarkan militer Afganistan.Washington sendiri sudah menandatangani pakta perdamaian dengan Taliban pada Februari 2020 dan mulai menarik pasukannya sedikit demi sedikit dari Afganistan sejak awal tahun 2021. Namun, AS masih memberi sokongan kepada militer Afghanistan bentukannya guna melawan ekspansi Taliban.
Tidak seperti Thailand yang boleh jadi mayoritas adalah suku Thai, Afghansitan secara etnis tidak monolitik, tetapi ia adalah mozaik dari berbagai bahasa dan budaya dan etnis dan pendekatan terhadap Islam. Ada 14 kelompok etnis yang diakui dalam lagu kebangsaan Aghanista – Pashtun, Tajik, Hazara, Uzbek, Balochis, Turkmens, Nooristanis, Pamiris, Arab, Gujars, Brahuis, Qizilbash, Aimaq dan Pashai. Mereka juga memiliki Muslim Sunni, Sufi dan Syiah. Muslim di Afghanstan adalah 90 persen.
Di bawah kepemimpian raja terakhir Afghanistan, Mohammed Zahir Shah, memerintah mulai dari 8 November 1933 sampai ia digulingkan pada 17 Juli 1973, negara ini relatif damai. Orang melihatnya sebagai sebagai simbol pemersatu. Namun ini berakhir sampai sepupunya menggulingkannya.
Di era kini, bisa dilihat sebenarnya Taliban hanya mewakili satu elemen dalam mosaik Afghanistan- Islamisme Sunni Pashtun. Sejak mereka digulingkan oleh Amerika 20 tahun yang lalu, yang mereka pikirkan hanyalah bagaimana memiliki kembali Afghanistan yang hilang, bukan bagaimana mengatur kembali Afghanistan yang ada saat ini.
Lebih dari 70 persen penduduk Afghanistan berusia di bawah 25 tahun. Kebanyakan dari mereka tidak tahu apa-apa tentang Taliban dan belum pernah mendengar tentang Mullah Omar — sama seperti semua orang berusia 20-an di Iran yang belum pernah mendengar tentang Shah dan membuat para penguasa Islam Iran berduka setiap hari. Mereka dibesarkan di Afghanistan yang berbeda, di usia yang berbeda, dan mereka tidak akan dengan mudah melepaskan kebebasan yang mereka nikmati selama 20 tahun terakhir ini, bahkan jika negara itu berantakan.
Suku-suku di belahan dunia ini, memiliki pepatah: Saya dan saudara saya melawan sepupu saya. Saya dan saudara saya dan sepupu saya melawan orang luar.
Orang Amerika adalah orang luar, dan Taliban selalu bisa menemukan banyak sepupu pasif dan aktif untuk proyeknya mengeluarkan Anda. Tetapi sekarang mereka dan saudara-saudara mereka harus berurusan dengan semua sepupu mereka di dalam — dari 14 etnis yang berbeda itu — dan itu akan menjadi cerita yang berbeda. Taliban tidak tahu bagaimana mengatur negara modern. Pemimpin nasionalis Vietnam, Ho Chi Minh, menghabiskan pengasingannya di Paris. Orang-orang Taliban ini belajar, paling banter, di madrasah di Pakistan, di mana mereka bahkan tidak mengajarkan sains.
Dan kemudian ada uang. Pendudukan Amerika bagi Afghanistan sama dengan minyak bagi Arab Saudi. Kamu seperti sumur minyak yang tidak mengering. Tapi sekarang setelah AS pergi, begitu juga semua pendapatan untuk menjalankan pemerintahan dan membayar gaji. Bagaimana Taliban akan menggantikannya?
Afghanistan boleh jadi hanya dapat menyelundupkan begitu banyak narkoba ke Eropa. Tentu, orang Cina akan melemparkan mereka remah-remah untuk menjauhkan mereka dari orang Uyghur. Tetapi tidak ada lagi negara adidaya pengisap di luar sana yang ingin masuk dan menjalankan tempat ini, karena mereka semua sekarang tahu bahwa yang akan mereka menangkan hanyalah tagihan.
Diperkirakan, Taliban akan membentuk pemerintah persatuan nasional dengan semua kelompok etnis dan suku utama, di bawah kendali terpusat yang longgar — dan itu akan menyatukan negara dan dapat meminta bantuan asing — atau mereka tidak akan melakukannya. . Jika mereka melakukannya, taruhan Presiden Biden untuk keluar akan terbukti benar—bahwa kehadiran Amerika sebenarnya mencegah warga Afghanistan untuk berkompromi dan bersatu untuk mengatur diri mereka sendiri. Mungkin mereka bahkan akan menemukan salah satu keturunan keluarga Mohammed Zahir Shah sebagai pemersatu simbolis. Pemerintahan Mohammed Zahir Shah berhubungan dengan salah satu era paling damai dalam sejarah Afghanistan.
Tetapi jika Taliban mencoba mempertahankan kekuasaan sendirian, tanpa sepupu, tentu mereka harus hati-hati. Negara itu pada akhirnya akan melawannya, Taliban akan menindak lebih keras, dan Afghanistan tidak akan meledak ke dalam— tapi ia akan meledak keluar. Ini akan pecah menjadi wilayah yang berbeda dan pengungsi perdarahan dan ketidakstabilan. Itu akan sangat buruk, dan Amerika dan Biden akan disalahkan atas kekacauan itu. Tapi Amerika juga akan pergi. Afghanistan kemudian akan menjadi masalah besar bagi tetangganya, khususnya Pakistan, Cina, Rusia dan Iran.
Afghanistan terbukti menjadi mimpi buruk bagi banyak negara yang memang berambisi menduduki wilayah ini tanpa tujuan jangka panjang. Sekarang perang di Afghanistan masih akan terus berlanjut. Hanya sebuah kesepakatan damai antara setiap kelompok masyarakatnya tanpa campur tangan pihak asinglah yang dapat menyelamatkan masa depan Afghanistan, seperti apa yang telah dicontohkan pendahulu mereka.
(Dr. Kumara Adji Kusuma adalah Redaktur kempalan.com dan dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo)