Beratnya Rinduku Tak Seberat Autonomous Consumption-ku

waktu baca 3 menit
Bambang Budiarto

KEMPALAN: Beratnya Muatanku Tak Seberat Rinduku. Kalimat yang tak tertulis di bak truk ini berkelebat di antara laju beberapa kendaraan yang lain. Kalimat sejenis sering kita jumpai pada body belakang truk yang kadang lucu, menyindir, kadang pula berisi nasihat.

Beratnya Muatanku Tak Seberat Rinduku, bisa jadi gambaran seorang sopir truck dengan tugas utama pengiriman barang yang  berjarak ratusan kilometer. Tentu saja memerlukan waktu beberapa hari perjalanan yang membuatnya lebih banyak menghabiskan waktu di jalan daripada di rumah. Beban truk itu sendiri sudah berat, namun masih lebih berat rindu yang ditanggung Mukidi sang sopir truk karena harus beberapa hari tidak di rumah.

Fakta yang demikian sepertinya sejalan dengan Work From Home (WFH) di masa pandemi Covid-19. Kok? Coba dicermati, sudah lebih dari setahun gerakan WFH terus-menerus diserukan pemerintah, bahkan dengan ditemukannya beberapa varian baru sekarang ini, gerakan WFH rasanya semakin kencang diteriakkan pemerintah.

Bekerja di rumah, belajar di rumah, berdoa di rumah. Dengan menerapkan protokol kesehatan 3M yang sekarang sudah berkembang biak menjadi 5M disertai syarat juga ketentuan dan sanksi atas pelanggaran pelarangan mobilitas, semua ini membuat masyarakat tidak berkutik.

Tanpa pergerakan tentu ekonomi babak-belur, namun apa daya semua harus dilalui. Produktivitas turun, pendapatan turun, tabungan turun, daya beli pun turun, tapi konsumsi sulit diajak turun. WFH telah memaksa siapapun orangnya untuk menanggung rindu yang seberat-beratnya karena tidak bertemu dengan orang-orang terbaik di lingkungan kerjanya ataupun di lingkungan sekolahnya.

Komunikasi dengan tatap maya melalui media sosial tentu tak dapat mewakili secara sempurna sebuah pertemuan tatap muka. Diiringi kejenuhan WFH yang luar biasa, rindu pun pada gilirannya semakin berat dan nyata. Ketika rindu itu semakin berat ternyata pada titik tertentu harus disadari bahwa ada yang lebih berat, yaitu autonomous consumption.

Konsumsi yang harus dilakukan pada saat orang tersebut pendapatannya sama dengan nol. Ketika orang tersebut berpendapatan tentu melakukan konsumsi, ketika orang itu pendapatannya turun tentu orang tersebut tetap melakukan konsumsi. Dan ketika orang tersebut tidak mempunyai pendapatan, ternyata orang itu harus tetap melakukan konsumsi.

Perolehan daya beli dapat dilakukan dengan menjual aset, menguras tabungan, ataupun  hutang sebagai pilihan terakhir. Oleh karenanya nilai  autonomous consumption sering dipahami sebesar hutang atau dis-saving.

Inilah fakta yang sebenarnya terjadi sekarang ini. Bagi kelompok masyarakat berpenghasilan tetap  tentu gerakan WFH  bukan sebuah masalah, namun bagi masyarakat ‘omah doro’ (baca: ber-rumah seperti burung dara) ini menjadi masalah besar.

Masyarakat kelompok ini, ‘nek ora uro ora mangan’, kalau tidak keluar rumah tidak makan. Artinya, untuk dapat memperoleh penghasilan atau dapat makan maka orang tersebut harus bekerja keluar rumah, contohnya persis seperti Mukidi kita yang berprofesi sopir tadi.

Kalau tidak ‘nyopir’ ya berarti Mukidi tidak makan. Profesi sopir seperti Mukidi ini adalah salah satunya, tentu masih banyak lagi profesi-profesi yang lain yang membuat masyarakat masuk dalam predikat ‘omah doro’ ini.

Bahkan dimungkinkan jumlahnya lebih banyak dibanding masyarakat berpenghasilan tetap yang dapat melakukan pekeraannya dari mana saja termasuk di rumah. Situasi yang demikian tentu berat, di sinilah permasalahan yang sebenarnya, ketika harus terus menerus melakukan konsumsi namun pendapatannya semakin lama semakin berkurang menuju titik nol.

Mencermati fakta yang demikian tentu dapat dipahami bahwa beratnya rindu untuk bertemu rekan sejawat yang harus ditanggung karena WFH ternyata masih tidak seberat konsumsi dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang harus dilakukan karena pendapatan terus menurun.

Beratnya sebuah kerinduan masih tak seberat autonomous consumption yang harus dilakukan, boleh angkat tangan acungkan jari telunjuk untuk masyarakat yang mengalami situasi ini. Terus yang merindu karena WFH namun pendapatannya tidak turun, silahkan angkat tangan acungkan jempol.

Dan, kamu termasuk yang mengacungkan yang mana? Salam. (Bambang Budiarto–Redaktur Tamu Kempalan.com, Dosen Ubaya, Pengamat Ekonomi ISEI Surabaya)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *