Memperingati 1 Juni, Saat-saat untuk Merenung
KEMPALAN: Tanggal 1 Juni selalu diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila, waktu dimana Presiden Sukarno, pada saat itu belum jadi Presiden Indonesia, memberikan pencerahan mengenai apa yang ia sebut sebagai Pancasila (lima sila) yang nantinya akan diadopsi sebagai falsafah hidup bangsa, negara, dan pemerintah Indonesia. Namun muncul banyak tantangan terhadap Pancasila, mulai dari pemikiran lainnya (Islam, beberapa menganggap komunisme, sosialisme, dan -isme lainnya).
Tantangan itu berupa wacana Islam sebagai dasar negara, mendirikan negara komunis, sosialis, bahkan ada yang mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) di Jawa Barat dan membangun koneksi dengan Aceh (Teuku Daud Beureueh), Kalimantan (Ibnu Hadjar), Jawa Tengah (Amir Fatah Wijayakusuma), dan Sulawesi (Abdul Qahar Muzakkar). NII menjadi tantangan besar bagi Republik Indonesia yang menggunakan Pancasila baik sebagai dasar negara atau falsafah hidupnya.
Usai keruntuhan Sukarno dan bangkitnya Orde Baru, Pancasila justru digunakan sebagai landasan rezim untuk memperkuat posisinya, bahkan ada Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan azas tunggal Pancasila yang memaksa masyarakat sipil, organisasi kemasyarakatan dan partai politik untuk tunduk kepada rezim yang mengatasnamakan Pancasila. Suharto memang tidak sepandai Sukarno dalam perkara membangun narasi, namun pastinya ia pengatur strategi yang ulung yang dapat berkuasa 32 tahun di Indonesia.
Setelah Suharto mengundurkan diri dan Orde Baru runtuh, muncul Indonesia yang “bingung”, karena demokrasi menjadi “ujung tombak” dalam pertarungan wacana di Indonesia, maka semua pemikiran boleh berkembang di masyarakat, mau komunisme (asal jangan sebut PKI), mau Islam, mau sosialisme, mau kapitalisme, sampai liberalisme yang digadang-gadang Freedom Institute juga boleh disebarluaskan, asal tidak mengganggu kekuasaan pemerintah. Lebih baik bahas komunisme tapi tidak menyerempet ke pemerintah daripada bahas Islam tapi berkaitan dengan Khilafah.
Dalam sebuah obrolan warung kopi, banyak perdebatan tentang Pancasila, “enggak kanan enggak kiri, jadinya yang enggak-enggak, kanan ada kiri ada, jadinya mengada-ada.” Nampaknya kebingungan mengenai harus kemana arah Indonesia pun meresap hingga ke bawah.
Salah satu dosen di universitas ternama di Surabaya juga pernah menyatakan, “jika seseorang menolong nenek menyeberang jalan, apakah ia sedang memikirkan bahwa ia mengimplementasikan sila kedua?” Ini adalah pertanyaan menarik, karena tidak selalu orang memikirkan Pancasila saat menolong orang lain, mereka menolong, karena, menurut Rutger Bregman dalam bukunya Human Kind, manusia pada dasarnya baik.
Sifat dasar manusia inilah yang disarikan ke dalam Pancasila, mungkin beberapa di antaranya memuat kandungan politis seperti sila ketiga yang dapat digunakan untuk menuding seseorang separatis ketika ingin memisahkan diri dari Indonesia.
Nampaknya posisi Pancasila ini cukup dilematis, di satu sisi ia mencakup hal-hal yang mustahil, seperti sila kelima, tapi di satu sisi karena silanya jelas, seperti sila ketiga dan keempat, dasar negara ini juga praktis bisa diterapkan (meskipun entah diterapkan karena memikirkan Pancasila atau dengan sendirinya tanpa memikirkan falsafah hidup itu).
Bukan ranah tulisan ini untuk mengkritik Pancasila, hanya mengajak berpikir ulang, apakah Pancasila sudah meresap? Apakah kita, setidaknya, hafal kelima sila? Apakah Pancasila akan terus bertahan atau hanya untuk diperingati dan dipajang bersama Lambang Garuda di kantor. Mungkin pakar Pancasila seperti Yudi Latif yang bisa menjawab renungan semacam ini. (*)