Nietzsche, Terorisme, dan HRS (Bagian I)

waktu baca 5 menit

KEMPALAN: Sosok yang akhir hayatnya mengalami kegilaan itu bernama Nietzsche. Friedrich Wilhelm Nietzsche. Meski hidupnya singkat, pikirannya memengaruhi gerak zaman-zaman setelahnya.

Nihilisme

Nietzsche menegaskan batas duniawi. Ketika dia mengatakan bahwa Gott ist Tot. Tuhan sudah mati.

Nietzsche bukanlah seorang ateis. Dia percaya ada Tuhan, tetapi Dia sudah mati. Namun bukan Nietzsche yang membunuhNya. Dia hanya menyampaikan kabar kejadian kematian Tuhan.

Siapa yang membunuh Tuhan? Dia adalah manusia. Manusia Eropa, orang Barat. Kala itu, manusia mengalami masa krisis ketidakpercayaan akan Tuhan. Karena Tuhan melalui perwakilannNya, melalui kitab suciNya, tidak mampu membantah fakta yang disuguhkan oleh para ilmuwan.

Namun kemudian kematian Tuhan itu dinilai sebagai kematian atas nilai-nilai mutlak, nilai-nilai transden. Dan kemudian menggloirifkasi nilai-nilai profan, sebuah langkah profanasi.

Revaluasi Semua Nilai

Nietzshce seolah menjadi wakil orang Eropa kala itu, yang berbondong-bondong menahbiskan supremasi sains atas keyakinan, bahwa kita telah membunuh Tuhan. Dan bau busuknya sudah mulai terasa, dengan orang-orang berbondong-bondong merevaluasi atas semua nilai yang dianut sebelumnya.

Ja sagen. Katakan ya pada kehidupan. Amini kehidupan. Karenanya ia menerima kematian Tuhan itu, yang ia pun merayakannya bersama-sama.

Revaluasi nilai menjadi gerak langkah baru bagi kehidupan di Barat yang telah mematikan Tuhan, yang kemudian menjalar.

Meninggalkan nilai lama, orang mengonstruksi nilai baru. Nilai yang kemudian dibangun atas dasar kemanusiaan, tanpa melibatkan yang ilahi, yang transenden. Nilai yang membumi tanpa intervensi langit. Era itu kemudian disebut era Modern yang mengagungkan positivisme, rasionalisme, dan empirisme.

Ibarat budak dengan tuannya yang memiliki nilai-nilai agung, para budak pun mengagungkan nilai-nilainya sendiri. Jika tuan memiliki nilai sikap parlente dan formal, maka budak mengglorifikasi selengekan dan menjadi nilai “kebebasan.” Jika para tuan mengagungkan musik klasik, maka para budak memuja musiknya sendri yang disebut para tuan sebagai musik lolongan anjing yang kemudian menjadi blues dan jazz. Jika para tuan menggunakan medis untuk kesehatan, para budak menggunakan obat tradisional yang kemudian disebut herbal.

Kehendak Untuk Menguasai

Modernitas mengagungkan mekanisme efektivitas dan efisiensi. Jarak terpendek dari dua titik adalah sebuah garis lurus. Karenanya bentuk-bentuk dasar garis, segitiga, kotak, dan lingkaran, menjadi dasar kreasi seni modern. Kursi dan meja pun menjadi minimalis dengan menyisakan ruang kosong di antara kaki-kainya. Benda-benda yang tidak bermanfaat dalam suatu ruangan, masuk keranjang sampah. Semua serba minimalis. Di ruangan itu menyisakan banyak ruang kosong. Efektif dan efisien.

Manusia modern adalah manusia yang teknologis. Manusia yang menanamkan pikirannya pada alam. Menjadi alat-alat untuk memudahkan dan meningkatkan level kehidupan.

Manusia kemudian dipacu untuk terus mengalahkan, melampaui apa yang telah dicapai. Ibarat sebuah balapan yang diawali dengan posisi belakang, di nomor 10. Dia harus bisa lebih cepat untuk menjadi nomor 9. Dari nomor 9 dia harus mengalahkannya dan menjadi nomor 8. Demikian seterusnya hingga menjadi nomor 2. Dia pun harus menjadi yang tercepat untuk menjadi nomor 1. Dia pun dipacu untuk terus mengalahkan kecepatannya sendiri yang bahkan pada akhirnya untuk mungkin mengalahkan waktu.

Perusahaan dipacu untuk terus meningkat. Bahwa pertumbuhan dan perkembangan untuk mewujudkan kemakmuran. Modal/kapital menjadi standar; bahwa yang maju adalah yang mampu melampaui penumpukan modal sebelumnya. Manajer dipaksa untuk terus kreatif menciptakan mekanisme pengerukan modal. Buruh diperas untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan. Perusahaan bersaing ingin menjadi yang  terbaik dengan pertumbuhan, yang akhirnya untuk mengalahkan ketakterbatasan modal.

Keterulangan Abadi Hal yang Sama

Modernitas meniscayakan eliminasi, peminggiran, eksklusi atas yang berbeda, menolak yang tidak sama; menciptakan hierakhi manusia modern dan ilmiah adalah yang supreme; yang berbeda adalah yang primitive/terbelakang.

Namun disadari era modern itu menyisakan ruang hampa dalam diri manusia. Sisi manusia ada banyak yang perlu diisi. Bahwa modernitas hanya menciptakan monolitisitas, manusia satu dimensi. Manusia modern manusia yang gersang terhadap spritualitas. Buruh yang diperas hanya untuk diambil profitabilitas. Menjadikan manusia terasing, aneh. Dunia hanya diisi oleh target-target untuk melampaui ketakterbatasan. Manusia menjadi robot, menjadi roda dalam mesin. Menjadi manusia yang sepi.

Ruang-ruang kosong perasaan diisi kembali. Menghubungkan dua titik tidak lagi dengan sebuah garis lurus, tetapi dengan banyak cara, bahkan dengan membatik. Karenanya kemudian konstruksi baru bernama modenritas itu perlu mengalami revaluasi. Bahwa manusia harus mengisi ruang-ruang kosong dalam diri dan sosialnya.

Untuk merayakan perbedaan, untuk menerima yang berbeda, menjadi multicultural, menerima pluralitas. Era ini bernama era pasca modern, postmodern. Pengotaban Medis yang berdampingan dengan herbal; musik klasik berdampingan dengan blues dan jazz; saintifik berdampingan klenik. Ini kemudian menjadi glorifikasi baru dalam kemanusiaan.

Ubermensch

Inilah kejadian manusia dalam pandangan Nietzsche. Manusia menihilkan nilai yang mutlak, yang kemudian merevaluasi nilai lama, yang mengejar kebaruan, yang mengalami keterulangan yang sama. Ibarat mite Sisifus yang naik gunung untuk membawa batu besar ke puncaknya. Sesampai di puncak, batu itu terguling jatuh di kaki gunung. Diambilnya lagi batu itu untuk dibawa kembali ke puncak. Batu itu jatuh lagi. Dan diambil lagi untuk dibawa ke puncak. Demikian seterusnya.

Ubermensch berarti overman, beyond man, adi manusia. Manusia yang melampaui manusia adalah manusia yang kemudian mengamini hidupnya. Manusia yang senantiasa mengulangi untuk terus merevaluasi apa yang telah menjadi capaiannya. Kemampuan untuk menerima fakta bahwa manusia merubah nilai hidupanya. Tidak ada keabadian. (bersambung).

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *