Pasca Krisis Partai Demokrat
KEMPALAN: KRISIS yang kini melanda Partai Demokrat menyita perhatian publik. Ada banyak yang hal yang menarik dari pengambilalihan secara paksa (hostile takeover) partai ini. Yang pertama, adalah ini kali pertama sebuah parpol bisa direbut sedemikian rupa oleh orang luar.
Dulu memang ada beberapa rebutan parpol, tapi biasanya dilakukan oleh kader internal sendiri. Bahkan pengambilalihan PDI Megawati oleh Orde Baru yang fenomenal itu (karena dianggap titik balik tumbangnya Orba), juga dilakukan menggunakan kader internal. Yakni, Soerjadi yang juga mantan ketua umum sebelum Megawati Soekarnoputri.
Inilah kenapa saya kurang setuju dengan analisa seperti karma SBY terhadap Gus Dur atau sebagainya. Karena pelaku dan modus perebutannya berbeda jauh. Untuk kasus Demokrat ini terlihat sangat vulgar, bagaimana kekuasaan dan uang bisa membuat parpol mungkin bisa diambilalih paksa (kata mungkin saya pakai, karena legalitas Moeldoko sebagai ketua umum masih panjang jalannya). Bagaimana mungkin, Kongres Luar Biasa sebuah partai terjadi, dan orang yang berkongres alih-alih mengajukan calon dari kader sendiri, malah meminta Moeldoko –yang notabene orang luar, dan bahkan sempat berbaju Hanura.
Tapi, tulisan ini tidak akan membahas mengenai etis atau tidaknya pengambilalihan paksa. Karena hal itu sudah jelas. Pengambilalihan paksa bagaimanapun juga sulit dibenarkan dalam alam demokrasi.
Yang jelas, jika hostile takeover ini memang berjalan mulus, maka koalisi pemerintah kini menguasai 83 persen dukungan politik. Itulah politik Indonesia, dan ini ada beberapa hal yang mungkin terjadi pasca KLB:
1. Pertarungan Dualisme Kepengurusan yang Bakal Ramai
Geger gede pasti akan terjadi. Cikeas bakal strikes back. Bagaimanapun SBY adalah mantan presiden yang punya sumber daya yang cukup untuk bertarung. Pertarungan pertama tentu terjadi di Kemenkumham soal legalitas.
SBY sendiri sudah membeberkan strateginya, dan menunjukkan sejumlah aturan AD/ART yang menunjukkan kecacatan KLB di Deli Serdang tersebut. Namun, tentu saja, Moeldoko sebagai pihak perebut tentu sudah berhitung itu pula. Jika tidak, tentu saja dia tidak akan menerima permintaan peserta Kongres sebagai Ketua Umum. Bunuh diri namanya. Lalu siapa yang akan menang?
Jika berdasar pada aturan murni, tentu KLB posisinya sangat lemah. Tidak ada DPD yang hadir, DPC yang datang pun hanya tujuh, serta tidak ada urgensi yang membutuhkan KLB di Demokrat.
Namun, jika berdasar pada nalar kekuasaan, tentu Moeldoko jauh di atas angin posisinya. Pengalaman selalu membuktikan bahwa dualisme partai selalu keputusan pemerintah yang jadi penentu. Dengan posisi Moeldoko sebagai Kepala Staf Kepresidenan dan termasuk salah satu orang kuat di negeri ini, siapa yang berani bertaruh kelak nanti SK Kemenkumham tidak akan jatuh kepadanya.
Yang lebih repot lagi adalah para pengurus daerah. Dalam waktu dekat, tentu Moeldoko akan menyusun kepengurusan hingga ke tingkat-tingkat daerah. Tentu akan terjadi saling klaim, dan bisa jadi nanti di satu atau dua daerah terjadi saling serobot kantor partai.
Belum lagi faktor logistik yang jadi penentu. Pengurus DPC ke bawah, biasanya akan menanti siapa yang akan unggul di tingkat pusat. Jika Moeldoko di atas angin, siapa yang akan menjamin? Bukankah lebih aman jika ikut ke pengurus versi pemerintah, yang lebih jelas masa depannya.
Sebaliknya, SBY tentu juga harus bisa memberikan insentif yang menjanjikan. Ini bukan berupa uang saja, tetapi juga masa depan karir yang lebih menjanjikan. Sesuatu yang saat ini masih gamang di bawah kepengurusan SBY. Dengan tidak menjadi partai pendukung maupun partai oposisi, menjadi seorang anggota Demokrat kurang terasa prospektif. Hanya mengandalkan pada kharisma dan sejarah saja, tampaknya masih kurang untuk menahan kesetiaan.
2. Menghilangnya Demokrat sebagai Parpol untuk Sementara Waktu
Bisa dipastikan, hingga satu atau dua tahun ke depan, Demokrat tak akan bisa berfungsi sebagaimana layaknya parpol. Lebih disibukkan dengan agenda-agenda konsolidasi dan pertarungan terkait dualism tersebut.
Tidak bisa dipungkiri, hal ini akan menguntungkan pemerintah. Karena meski bukan oposisi yang agresif, kepentingan Demokrat di bawah AHY tentu saja berseberangan dengan pemerintah.
Apalagi dalam konteks agenda puncak politik: Pileg dan Pilpres 2024 mendatang. Nama Demokrat sudah bisa dicoret. Segenap energi dan sumber daya SBY dan AHY tentu akan habis untuk mengurusi dualisme ini. Kalau pun menang, mereka akan sangat berdarah-darah. Akan sulit untuk bisa melakukan konsolidasi untuk menyongsong dua agenda itu pada waktunya. Bahkan tak mungkin, perolehan 7,7 persen pada Pileg 2019 lalu akan turun tajam. Bisa-bisa tidak lolos parliamentary threshold.
3. Menjadi Kendaraan Rezim untuk Agenda Politik
Semua sudah menduga bahwa Moeldoko melakukan pengambilalihan ini tentu setelah mendapat lampu hijau dari bosnya. Tapi, apakah itu berdasar pertimbangan strategis oligarkhi yang kini tengah berkuasa di pemerintahan, itu yang masih menjadi perdebatan.
Tapi apa pun itu, kini koalisi pemerintahan sudah mencapai 83 persen (jika memang Demokrat berhasil mulus diraih). Dengan menguasai 83 persen dukungan politik, anda bisa melakukan apa saja. Karena ya memang sistem politik kita seperti itu. Semua kebijakan dan keputusan apa pun, sekali lagi saya ulangi, apa pun, menyangkut publik selalu diputuskan dalam wilayah politik.
Mau melakukan amandemen konstitusi terkait durasi jabatan presiden menjadi tiga kali, empat kali, seumur hidup pun bisa. Mau membuat aturan terkait parliamentary threshold maupun presidential threshold menjadi 50 persen pun kini terbuka lebar. Mau memutuskan UU sekontroversial apa pun, bisa saja. Apa pun itu.
Paling-paling yang dihadapi hanyalah demo dari masyarakat. Pengalaman modern juga menyebutkan demo sebesar saat penolakan Omnibus Law tetap saja gagal –jika dilihat dari konteks berhasil tidaknya gugatan itu didesakkan. Selain itu, toh pemerintah juga punya barisan buzzer yang siap memecah opini dan melakukan pembelahan di masyarakat.
4. Menjadi Kendaraan Moeldoko
Kembali ke poin tiga, bisa jadi ini memang inisiatif Moeldoko sendiri. Sejak tiga tahun lalu, Moeldoko memang dikenal sebagai salah satu tokoh yang paling agresif maju untuk bursa pilpres 2024 mendatang. Entah sebagai capres, atau cawapres.
Tentu dengan posisinya yang sebelum pengambilalihan paksa Demokrat, sosok Moeldoko gampang untuk disingkirkan. Elektabilitas rendah, popularitas juga tak terlalu menonjol, dan tak punya bargaining position di bidang politik.
Tapi, situasi ini bakal berubah jika Moeldoko bisa membajak Demokrat dengan mulus. Dengan punya satu parpol yang mengantongi 7,7 persen suara, tentu saja Moeldko punya daya tawar yang kuat.
5. Moeldoko Bisa Segera Direshuffle
Meski mungkin mengetahui, dan bahkan memberi lampu hijau, Jokowi sendiri pasti dilematis dengan posisi Moeldoko sejauh ini. Sejak lama Jokowi menjadi bulan-bulanan karena ucapannya sendiri yang diingkari. Kali pertama menjabat pada 2014, Jokowi menegaskan bahwa menteri dan pejabat setingkat menteri tak boleh dari pengurus parpol. Salah satu yang membuat nama Muhaimin Iskandar terpental dari bursa menteri karena dia tidak mau melepaskan jabatan ketua umum DPP PKB.
Waktu berjalan, dan ternyata Jokowi menjilat ludah sendiri. Salah satu yang terlihat tentu saja Airlangga Hartato yang kini malah memegang jabatan Ketua DPP Partai Golkar.
Maka, dengan adanya Moeldoko yang membajak Demokrat dan menjadi ketua umum, maka Jokowi akan semakin terpuruk citranya. Apalagi, banyak orang yang sudah mengkaitkan dirinya dengan pengambilalihan paksa Partai Demokrat dengan dirinya.
Satu-satunya jalan paling rasional bagi Jokowi tentunya adalah mencopot Moeldoko. Tapi, tentunya setelah ada kesepakatan di bawah tangan, karena Moeldoko termasuk salah satu die harder-nya yang punya peran penting dalam konsolidasi kekuasaan Jokowi. Bisa jadi, dilepas namun dengan barter SK Kemenkumham Partai Demokrat.
Suatu barter yang menguntungkan Moeldoko pastinya jika seperti ini. Karena, tak murah dan tak mudah untuk membangun parpol. Apalagi, parpol yang sudah jadi seperti Demokrat. Belum lagi jaringan kepala daerah yang berasal dari Demokrat, tentu bukan sesuatu yang bisa dibangun dalam waktu setahun-dua tahun.
6. Peringatan Keras Agar Parpol Berbenah
Hostile takeover yang terjadi ini seperti menampar segenap semua insan politik di tanah air. Sebab, menunjukkan bahwa ada yang tidak benar pada dasar sistem politik kita: partai politik. Menggunakan sistem demokrasi berdasar kepartaian, ternyata banyak parpol kita yang dibentuk hanya berdasar kepentingan pragmatis saja. Paling jauh hanya berdasarkan pada sosok saja.
Padahal, parpol seharusnya dibentuk berdasar ideologi yang kuat. Sehingga, benar-benar bisa menjadi representasi aliran politik mainstream yang berkembang di masyarakat. Bagaimana mungkin sebuah parpol bisa dibajak, sejumlah kadernya menggelar KLB, dan kemudian meminta orang luar partai untuk memimpinnya. Jelas terlihat betul pragmatismenya.
Sebagai ilustrasi, coba bayangkan saja misalnya sejumlah kader Partai Komunis Tiongkok yang tidak puas, menggelar KLB, dan akan meminta Elon Musk sebagai ketuanya? Jelas ini memang ilustrasi yang melebih-lebihkan, tapi gambarannya memang seperti itu. Jika parpol mempunyai garis ideologi yang jelas, tentu tidak akan mudah terjadi hal-hal seperti ini.
7. Cikeas Harus Segera Manuver atau Mundur dari Politik
Poin yang terakhir ini memang sangat pahit bagi Cikeas. Boleh dibilang, bahwa ini adalah pertaruhan paling menentukan bagi mereka di dunia politik. Hidup atau mati. Jika mau survive, mereka harus mengeluarkan semua energi dan sumber dayanya. Jika berhasil, mereka tentu saja tidak akan melenggang mudah, dan harus melakukan konsolidasi ulang hingga nyaris mulai dari nol untuk membangun Demokrat.
Jika gagal, maka Cikeas tampaknya harus serius mempertimbangkan opsi jelek ini: mundur dari politik. Mundur, memilih masa sabbatical, dan menikmati hidup.
Memang ada opsi untuk tetap berbicara dalam konteks politik sebagai outsider. Toh, mereka masih punya cukup sumber daya untuk melakukan apa pun hasil dari sepuluh tahun SBY memimpin. Namun, sudah ada contoh bagus untuk itu: Keluarga Cendana.
Setelah memimpin dan menjarah selama 32 tahun, tentu saja keluarga ini masih memiliki cukup sumber daya untuk melakukan apa pun di negeri ini. Belum lagi barisan orang yang loyal juga masih cukup banyak.
Tapi, bisa dilihat sendiri, sejauh mana pengaruh Cendana sekarang. Mereka masih kaya, namun praktis tidak ada orang yang takut lagi kepada mereka. Partai Berkarya besutan Tommy Soeharto saja berhasil diacak-acak. Mereka pun juga tak pernah lagi jadi faktor penentu lagi. Yang terakhir, bahkan Kementerian Keuangan berhasil menang dalam gugatan yang dilayangkan oleh Bambang Trihatmodjo. Negara tetap akan menagih utang terkait dana konsorsium Sea Games ke salah satu konglomerat di era Orde Baru tersebut.
Eh, masih ada satu lagi opsi sebenarnya. AHY dan SBY bisa memilih membentuk Partai Demokrat Perjuangan. Seperti Megawati dengan PDIP-nya. Strategi ini memang terlihat lembek, tidak praktis, dan mengulang dari nol. Namun, itu justru pilihan yang logis karena murah, tidak perlu menghabiskan sumber daya yang banyak, dan bisa mengumpulkan orang-orang loyalnya lagi.
Tapi, apa pun semua opsi yang tersedia, semuanya tidak akan enak bagi Cikeas. (*)
