Kebijakan Neoliberal, Banyak Perusahaan Untung karena Covid-19

waktu baca 3 menit

KEMPALAN-SURABAYA: Buku “Matinya Epidemiolog” karya Rob Wallace, akademisi kesehatan masyarakat asal Amerika Serikat, yang diterbitkan oleh Penerbit Independen, dibedah oleh Klub Seri Buku pada Sabtu (30/1) melalui Zoom meeting.

Acara ini diisi oleh Chaerul Anwar Nidom, dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga yang juga menjadi Ketua Tim Riset Corona dan Formulasi Vaksin di Profesor Nidom Foundation, bersama dengan Roy Murtadho, Koordinator Komite Nasional Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA).

Pembahasan dibuka oleh moderator, A. Faricha Mantika, mahasiswa Ilmu Politik Universitas Airlangga yang juga merupakan penerjemah buku. Acara ini turut dihadiri oleh penulis buku yang menyampaikan sambutan/pembuka di awal diskusi.

Adapun Rob Wallace menjelaskan secara singkat mengenai asal mula pandemi ini yang berkaitan dengan kepentingan korporat. “Banyak pemerintah memiliki kesulitan dalam menghadapi hal ini (Covid-19). Pemerintah lainnya yang menggunakan model neoliberal malah membantu perusahaan untuk mendapatkan lebih banyak keuntungan,” tutur Rob.

Lebih lanjut, ia mengutarakan bahwa para “borjuis” bekerjasama untuk mendapat lebih banyak uang. “Kapitalisme sebagai sebuah sistem pada esensinya memperlakukan manusia dan lanskap sebagai objek,” tuturnya.

Kerusakan yang telah dilakukan para perusahaan yang dibantu oleh pemerintah berusaha mencuci tangan dari berbagai kerusakan yang telah mereka lakukan. “Jika kita bersama, kita bisa melawan pandemi,” tutup Rob dalam sambutannya.

Masuk dalam pembahasan pertama, Prof. Nidom memberikan pandangan dari sisi ahli kesehatan. “Virus Covid memiliki kecerdikan yang tidak dimiliki virus lainnya. Covid merupakan koreksi alam terhadap perilaku-perilaku kita di bumi ini,” ujar Guru Besar Biologi Molekuler tersebut.

Ia mengutarakan bahwa virus ini bekerjasama dengan comorbid manusia, sementara comorbid berkaitan dengan pola makan (perilaku) manusia, seperti diabetes melitus. Nidom juga menyampaikan pentingnya menggunakan hal-hal yang ada di sekitar kita sebagai pengobatnya. “Harus memperhatikan kearifan lokal bahwa ada hal-hal di sekitar kita untuk bisa mengobati kita,” tambahnya.

“Pada pandemi inilah saya melihat pemerintah tidak melihat aspek-aspek sains,” tuturnya. Selain itu Nidom juga membahas bahwa buku Wallace memberikan pencerahan tentang bidang-bidang yang didalaminya dengan sisi lain seperti kebijakan publik.

Setelah Nidom menyampaikan sesinya, pemaparan selanjutnya diberikan oleh Roy Murtadho. “Ada tiga poin dari buku ini: pertama soal ekspansi modal, politik perubahan ruang, dan dampak dari keduanya,” tutur Roy.

Ia menjelaskan kaitan antara buku ini dengan buku David Harvey, di mana kapital akan mati kalau tidak bergerak, maka dia akan mencari tempat-tempat baru. “Melekat di dalamnya adalah kerusakan ruang hidup,” tambah peneliti agraria tersebut.

Ia juga menyampaikan kekecewaan kepada wakil presiden Indonesia yang berlatar belakang sama dengannya yakni latar belakang santri, K. H. Ma’ruf Amin, karena menyepelekan Covid-19. Setelah itu ia kembali membahas politik perubahan ruang yang menurutnya hanya membawa kerusakan dan disebabkan oleh manusia. Kerusakan ini utamanya adalah para pemilik modal yang berkonsolidasi dengan pemerintah.

Penyampaian Roy Murtadho mengaitkan antara dalil akademis dengan dalil agama. Ia pun mengajukan kerja sama antar-agama dengan akademis.

Usai pemaparan dari kedua pembedah, acara dilanjutkan dengan tanya jawab. Pertanyaan disampaikan melalui chat Zoom dan akan disampaikan oleh moderator. Diskusi dimulai dari pukul 10.00 WIB (pukul 9.00 P.M. untuk Rob Wallace di Minneasota, Amerika Serikat) dengan partisipan sekitar 60 orang. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *