Peluru Itu Bernama BSU
SURABAYA-KEMPALAN: Sudah banyak cerita sudah banyak analisis dan sudah banyak pula kajian yang akhirnya mengerucut pada pemahaman bahwa Covid-19 sifatnya simultan dan memiliki multiplier effect semua lini. Yang utama tentu saja adalah keberadaan pandemi Covid19 yang pada gilirannya memunculkan pandemi ekonomi.
Situasi demikian tentu tidak mudah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). MBR sendiri sesuai PP No. 64 Tahun 2016 sebenarnya adalah istilah yang diperuntukkan bagi masyarakat yang tidak memiliki daya beli dan memerlukan bantuan untuk membeli rumah. Namun, di masa pandemi ini istilah MBR lebih sering digunakan untuk pemahaman yang lebih luas. Pada gilirannya, dengan begitu banyaknya indikator makro ekonomi yang babak belur ditambah semangat pemulihan ekonomi nasional, terbitlah bantuan subsidi upah (BSU) berdasar Permenaker No 14 Tahun 2020.
Peruntukannya adalah untuk pekerja berpendapatan di bawah Rp5 juta dengan target penerima 12.403.896 tenaga kerja yang diberikan langsung ke rekening penerima serta beberapa syarat yang sudah ditentukan. Senilai Rp 600.000 diberikan selama 4 bulan dengan 2 kali pembayaran. Program sudah dibuat rencana sudah disusun dan pembayaran sudah dilakukan, tapi ternyata tidak maksimal.
Terungkap di agenda pertemuan Komisi IX DPR dengan Kemenaker. Beberapa kendala, tenaga kerja tidak terdaftar dalam BPJS Ketenagakerjaan, juga karena rekening pekerja yang ternyata bermasalah; terblokir, mati, pasif, dan lain-lain.
Berikutnya, dengan 6 dasar hukum, muncullah BSU bagi tenaga pendidik non-PNS senilai Rp1,8 juta dengan anggaran yang telah disiapkan sebesar Rp3.662.517.600.000. Kekhawatiran akan tidak maksimal pencairannya juga mulai membayangi seperti halnya BSU sebelumnya.
Mengapa hal demikian dapat terjadi? Tidak maksimal pencairannya. Pertanyaan ini sederhana namun bisa menjadi bahan webinar, diskusi, dan perdebatan panjang. Syarat dan ketentuan bagi penerima memang telah ditetapkan, didukung bahwa program ini adalah sebagai bagian dari agenda pemulihan ekonomi nasional di masa pandemi.
Namun, yang terjadi tidaklah seindah yang direncanakan. Pekerja yang tidak terdaftar Program BPJS Ketenagakerjaan, demikianlah faktanya, bahwa tenaga kerja berpendapatan di bawah Rp 5 juta atau di bawah UMR lebih sering berada di unit-unit kegiatan ekonomi yang kecil. Mereka yang tentu saja tidak atau belum berpikir untuk tergabung di BPJS Ketenagakerjaan.
Fokus mereka adalah bagaimana mempertahankan unit kegiatan ekonominya. Pekerja memiliki rekening bermasalah. Demikianlah faktanya bahwa tenaga kerja berpendapatan dibawah Rp5 juta atau di bawah UMR sehari-hari sudah dibelenggu dengan berbagai kebutuhan, tentu saja tidak akan sempat berpikir untuk melakukan saving.
Jangankan saving, sekadar untuk memenuhi kebutuhan hidup layak saja sudah sulit. Tentu saja kepemilikan rekening tidakĀ menjadi hal utama. Mencermati situasi yang demikian, ibarat peluru yang ditembakkan, BSU sebenarnya adalah sebuah peluru tajam. Namun, saat ditembakkan sedikit meleset. (Bambang Budiarto adalah pengamat ekonomi ISEI Surabaya)
