Azis Nurahman YouTuber Spesialis Rumah-Rumah Terpencil
KEMPALAN : Tentang dunia YouTube, boleh jadi cuma terdiri dari dua kategori, yaitu kategori bling- bling gemerlap cahaya kota seperti yang dimiliki Atta Halilintar, Baim Wong, Willy Salim, Deddy Corbuzier, Ria Ricis dan masih banyak lagi.
Kategori satunya adalah YouTuber keringet dleweran seperti Asian Survivor, Langkah Pii — keduanya spesialis liputan kawasan transmigrasi, Garut Turunan Kidul (spesialis desa-desa di Jawa Barat), Azis Nurahman (spesialis rumah-rumah terpencil di Jawa), Indoculture (spesialis liputan hujan di seputar pedalaman Kabupaten Pekalongan — sudah pernah saya turunkan feature-nya di Kempalan.com.).
Dan sekian YouTuber lainnya yang keringatnya selalu bercucuran saat menggali nara sumber yang lantas diolah menjadi sajian audio visual yang menghasilkan puluhan ribu views, bahkan sampai jutaan.
Kanal Azis Nurahman menarik untuk saya tampilkan, ya — karena spesialisasinya itu : rumah – rumah terpencil.
Tentu tidak sekadar faktor keterpencilan. Faktor lainnya adalah : unik — baik yang menyangkut lokasinya maupun penghuni rumah terpencil tersebut.
Kanal Azis memiliki 1,18 juta subscriber (pelanggan) dengan jumlah 984 vlog (video blog).
Rata-rata vlog yang dihadirkan Azis berdurasi 30 menit. Bahkan ada beberapa yang berdurasi lebih dari 40 menit.
Azis hunting materi vlog-nya sendirian. Hal tersebut terlihat cara ia pegang kamera. Juga pada saat pengambilan gambar. Namun hampir-hampir tak ada gambar yang bergoyang-goyang. Profesional sekali.
Adapun views vlog yang ada di kanal tersebut rata-rata ditonton sedikitnya 75 ribu views.
Salah satu konten yang banyak ditonton adalah yang berjudul : ‘Rumah Artis Senior Evie Tamala dan Penyanyi Dangdut yang Pilih Tinggal di Hutan’.
Sebagaimana saya tahu, Evie Tamala adalah salah satu penyanyi dangdut yang masuk hitungan elite dan jauh dari gaya seronok. Salah satu lagu yang pernah ngetop yang dinyanyikannya berjudul : ‘Selamat Malam’.
Mengapa konten ini paling banyak ditonton dengan views 1,6 juta? Apa karena berisi 2 hal tentang penyanyi dangdut, yang satu masuk jajaran “papan atas” dan satunya lagi “papan bawah”?
Bagi saya dua-duanya menarik. Bedanya, Azis Nurahman yang ketika sampai rumah Evie Tamala di Desa Cigalontang tidak berhasil menemui penyanyi berwajah melankolis itu.
Dimonologkan oleh Azis, ternyata itu rumah masa kecil Evie Tamala yang sekarang dihuni oleh kakaknya.
Kakak Evie yang berhasil ditemui, enggan diwawancara. “Silakan kalau mau foto-foto rumah ini,” ujar Azis mencoba menirukan omongan kakak Evie Tamala pada penggalan narasi. Tidak diinfokan, kakak Evie tersebut pria atau wanita.
Rumah ini sangat besar. Saya perkirakan ukuran lebar 15 meter panjang 40 meter. Full bangunan. Halaman yang tersisa cuma carport yang ada di bagian depan.
Kendati tidak bisa dibilang masuk gaya mutakhir, namun pada masanya –mungkin di seputar 1990-an– rumah ini modis.
Dimana Desa Cigalontang? Saya menduga ada di Kabupaten Tasikmalaya, mengingat nama belakang ‘Tamala’ pernah diilustrasikan adalah akronim dari ‘Tasikmalaya’. Begitulah umumnya penyanyi dangdut, mereka punya nama populer diharapkan agar kariernya hoki.
Nama asli Evie Tamala sebagaimana hasil search di Google adalah Cucu Suryaningsih. Pernah menggunakan nama panggung Uce Arifina.
Setelah menggunakan nama Evie Tamala, karier bungsu dari enam bersaudara ini makin melejit.
Tentang Cigalontang, setelah saya tanya ke Meta AI, platform ini menyebut :
Desa Cigalontang terletak di Kecamatan Cigalontang, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Desa Cigalontang sendiri terbagi menjadi beberapa kampung, seperti Babakan Saryo, Ciparanje, Babakan Kiara, Cigalontang Girang, Babakan Hamami, dan Babakan Ewong.
Selain itu, ada juga Desa Jayapura yang merupakan nama baru untuk pusat desa sebelumnya.
Sebetulnya keterpencilan rumah masa kecil Evie Tamala tidak ekstrem. Untuk menuju desa ini, Azis dengan motornya meliak-liuk melewati jalan selebar kurang lebih 4 meter dengan kiri kanan belukar yang tidak begitu rapat.
Pada ujung perjalanan, sampailah Azis pada “muara” berupa kampung dengan rumah-rumah penduduk : ada yang berdempetan, ada juga berjauhan dipisahkan oleh sawah-sawah.
Kesan saya tidak banyak pohon, hampir jatuh pada nuansa gersang.
Seandainya tidak ada persawahan, mungkin kawasan ini mirip perkampungan nelayan.
Azis Nurahman cukup cerdik untuk mensiasati situasi yang meleset dari ekspektasinya.
Saat kakak Evie tak mau memberi keterangan, maka tetangga yang jadi sasaran untuk mengorek informasi. Dan Azis sudah menyiapkan amplop. Cara menyerahkannya sopan, setidaknya mengacu pada etika setempat.
Kepada seorang ibu bernama Ikah berusia 70 tahun, Azis mendapat penjelasan bahwa benar ini rumah masa kecil Evie Tamala. Lantas ibu tadi bilang, saat lebaran kemarin Evie pulang. Diceritakan, Evie adalah sosok yang santun.
Sedangkan Teh (Mbak) Kokom yang membuka warung dekat rumah Evie mengatakan bahwa Evie adalah teman masa kecilnya, juga teman sekelas saat di SD.
Disebutnya bahwa ayah Evie (dulu) adalah seorang lurah.
“Evie itu anak pinter,” ujar Teh Kokom.
Saat Azis mengajak Teh Kokom bercanda dengan mengajukan pertanyaan: “Apa Teh Kokom dulu gak ada minat untuk jadi penyanyi dangdut?”
Wanita berambut pendek ini lantas menjawab : “Saya mah gak ada bakat. Lagian rezeki itu kan sudah diatur oleh Alloh…” — seolah mengilustrasikan bahwa manakala Evie Tamala saat ini sukses karier dan materi, itu semata karena kuasa Tuhan.
Lantas dimana Evie Tamala sekarang bermukim? Dari kolom komentar, diperoleh informasi bahwa saat ini Evie Tamala tinggal di salah satu kawasan di Bekasi.
Bagi saya, konten gabungan ini lebih banyak mengundang decak saat Azis Nurahman berproses menuju rumah (mantan) penyanyi dangdut kelas kampung bernama Dede Ceria, usianya sama dengan Evie Tamala : 56 tahun. Juga saat proses wawancara.
Saat berada di seputar lingkungan rumah Evie Tamala, Azis sudah menginformasikan bahwa setelah dari sini, sosok tangguh yang ternyata pintar main gitar ini (saya ketahui dari konten kanal lain) akan menuju penyanyi dangdut lainnya.
Saat tiba di jalan Desa Leuweng, Azis memberi ilustrasi dalam monolognya : “Setelah dari perjalanan cukup melelahkan, sampailah saya di desa dimana penyanyi dangdut yang akan saya jumpai ini tinggal.”
Jalan di desa ini beraspal, lebarnya kira-kira 6 meter. Lingkungan di situ terlihat rimbun.
Setelah meliak-liuk, lantas motor dilajukan ke jalan beton selebar 1 meter, menerobos rerimbunan dibalut senyap.
Baru kemudian masuk ke jalan setapak yang kanan-kiri adalah tanaman-tanaman keras menjulang tinggi dengan di bawahnya hamparan rapat semak-semak.
Nah, saat memasuki jalan setapak ini, laju pengambilan gambar tak secepat sebelumnya. Artinya Azis sudah tidak menggunakan motor, melainkan berjalan kaki.
Elevasi jalan setapak itupun naik turun berkelok-kelok. Terkadang di kanan kiri jalan terhampar jurang-jurang kecil.
Sesekali Azis berhenti. Ia seperti mikir, ‘setelah ini kemana. Semoga tidak salah jalan.’
Diperlihatkan juga, Azis dihadapkan pilihan. Sebab jalan setapak ada yang bercabang. Ke kiri atau ke kanan.
Azis tak kurang akal. Ia ambil HP satunya. Lantas ia zoom ke berbagai arah. Salah satu arah jalan setapak itu memperlihatkan remang-remang atap rumah, di situlah kaki Azis harus dilangkahkan.
Yang jadi pertanyaan saya, dimana motor Azis dititipkan?
Ada adegan yang filmis sekali. Pada salah satu pinggiran jalan setapak terlihat serumpun bambu yang diameternya kurang lebih 10 meter. Mungkin lantaran tertiup angin, barongan ini meliuk yang ujungnya hampir menyentuh pinggiran jalan setapak di seberang. Liukan barongan ini membentuk mirip terowongan. Tampak unik dan estetis !
Pada akhirnya, jalan setapak yang dilalui Azis kanan kirinya sudah berkurang semak-semaknya, tak serapat sebelumnya.
Tapi pohon-pohon besar yang rimbun masih mengawal perjalanannya hingga mendekati rumah tujuan, sebuah rumah tunggal tak berpagar. Itulah rumah Dede Ceria yang dituju Azis siang itu.
Arti ‘tunggal’ di sini, di kanan kiri tak ada tetangga. Entah jika ada tapi sangat jauh letaknya, rasanya sulit ditangkap indra mata. Kalau pun ada, mungkin terhalang oleh pohon besar dan rungkut — semak-semak padat.
Meski tak sebesar rumah Evie Tamala, tapi bagi orang kota macam saya, rumah Dede Ceria cukup besar, setidaknya 3 kali rumah saya yang tipe 45 meter persegi dengan lahan hanya 120 meter persegi.
Sedangkan halaman rumah penyanyi dangdut ini rasanya luas sekali. Di bagian dan samping rumah terhampar sawah (miliknya?) yang dikepung oleh hutan.
Pinjam istilah Azis Nurahman, rumah dan halaman serta sawah yang ada di dekat rumah Dede Ceria adalah “hutan yang dirapikan”.
Sebagaimana rumah saudara-saudara kita dari etnis Sunda, khususnya di pedalaman, rumah Dede Ceria juga berbentuk panggung. Di bagian teras bentuknya mirip joglo. Lantai dasar teras terbuat dari papan. Mungkin dimaksudkan untuk meredam hawa dingin.
Saat memulai wawancara, Azis menyerahkan bingkisan terbungkus kresek hitam.
Cara wawancara cukup strategis, dengan pancingan-pancingan yang bernada canda tapi sopan.
Selang kemudian Azis mengeluarkan amplop putih tebal (lebih tebal dari yang diberikan kepada Ibu Ikah tetangga Evie Tamala).
Wawanca pun makin gayeng.
Dede Ceria jadi penyanyi dangdut saat usia belasan. Kemudian tahun 1987 ia menikah.
Saat menyebut tahun 1987, Dede menyela : “Waduh ibu, saya tahun segitu belum lahir … , ” disertai tawa sedikit keras.
Tiga belas tahun kemudian yaitu pada 1999, Dede berhenti sebagai penyanyi.
Sedangkan suaminya meninggal dua tahun lalu.
Ketika dipancing dengan, “kenapa ibu gak pindah ke dekat-dekat jalan raya?”
“Duitnya dari mana? Mending kalau punya duit digunakan untuk beli persediaan dapur,” jawabnya, yang lantas ditambahkan, “kasihan suami saya, sudah mendirikan rumah ini dengan susah payah… “
Dari tangkapan kamera Azis, tak tampak tiang atau kabel listrik di atap atau sekitar rumah Ibu Dede Ceria yang tingginya sedikit di atas rata-rata wanita Indonesia. Sisa-sisa kecantikan wajah manisnya masih terlihat.
Dede Ceria mengaku dulunya adalah penyanyi dangdut, tapi kelas kampung. “Yang kenal saya sebagai sebagai penyanyi cuma 3-4 kampung dari rumah saya ini. Saya bukan penyanyi dangdut terkenal. Gak sampai ke tingkat kabupaten.”
Sebagai rumah yang realitasnya terpencil, di kepung hutan dan rerimbunan, ia saat ditanya mengaku bahwa jika malam-malam ada suara ketuk-ketuk, dibiarkan saja.
“Kalau misalnya itu hantu, yang penting jangan menampakkan wajah hantu,” tutur Dede yang cara menjawab pertanyaan senantiasa logis itu.
Beberapa kali pintu atau dinding rumahnya terdengar seperti ada yang mengetuk-ngetuk. Dan itu dibiarkannya. “Mudah-mudahan itu cuma kucing atau tokek yang lagi merayap.”
Di rumah ini, Dede Ceria tinggal bersama ibunya.
Dimana letak Desa Leuweung?
Lagi-lagi saya minta bantuan Meta AI. Ini jawabnya :
Desa Leuweng terletak di Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Desa ini memiliki beberapa kampung, seperti Kampung Cipakel yang dikenal karena program-program pembangunan infrastruktur dan kesehatan masyarakat.
(Amang Mawardi).









